PENYAKIT ASKARIASIS
Apa itu penyakit askariasis?
- Askariasis adalah penyakit cacingan yang disebabkan oleh parasit cacing dari nematoda usus dari spesies Ascaris lumbricoides yang oleh masyarakat umum di kenal sebagai cacing gelang atau cacing perut. Hospes atau inang dari Askariasis adalah manusia. Di manusia, larva Ascaris akan berkembang menjadi dewasa dan mengadakan kopulasi atau perkawinan serta akhirnya bertelur diusus manusia.
Apa Penyebab penyakit asakiriasis?
- Penyebab penyakit askariasis adalah spesies cacing Ascaris lumbricoides atau dalam bahasa awam dikenal sebagai cacing gelang atau cacing perut. Ascaris lumbricoides merupakan cacing yang termasuk salah satu kelas nematoda usus yaitu cacing yang hidup di usus manusia dan cacing ini termasuk Soil Transmitted Helminths yaitu mengacu pada cacingan menginfeksi manusia yang ditularkan melalui tanah yang terkontaminasi ("cacing" berarti cacing parasit)
- Penyakit ini hanya akan menginfeksi manusia jika manusia yang sebagai inang atau hospes dari penyakit ini menelan telur matang (infektif) dari cacing Ascaris lumbricoides. Telur yang matang ini perlu diketahui, sebab jika menelan telur yang belum matang, maka manusia tidak akan terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides. Telur matang atau infektif berarti telur yang mengandung larva, sedangkan telur non infektif berarti telurnya hanya berisi sel telur, tidak ada larvanya.
Distribusi Geografik
- Parasit ini ditemukan kosmopolit, yaitu tersebar diseluruh Indonesia dengan prevalensi infeksi tertinggi pada negara beriklimpanas dan lembab. Survei yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970 – 1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah dilakukan pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Prevalensi Ascaris sebesar 16,8% di beberapa sekolah di Jakarta Timur pada tahun 1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000. Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya antara 60 – 90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencernaan tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan sampah. Hal ini akan memudahkan terjadinya reinfeksi. Di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. Prevalensi infeksi pada anak lebih tinggi daripada orang dewasa, karena mereka belum mengerti arti kesehatan.
- Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara 25° – 30°C merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur A.lumricoides menjadi bentuk infektif. Penyebarannya terutama melalui tangan ke mulut (hand to mouth) dapat juga melalui sayuran atau buah yang terkontaminasi. Telur askaris dapat bertahan selama 2 tahun pada suhu 5-10 ÂșC. Anjuran mencuci tangan sebelum makan, menggunting kuku secara teratur, pemakaian jamban keluarga serta pemeliharaan kesehatan pribadi dan lingkungan dapat mencegah askariasis.
Bagaimana bentuk cacing Ascaris Lumbricoides atau cacing gelang penyebab askariasis??
- Cacing jantan berukuran 10 – 30 cm, sedangkan yang betina 22 – 35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000 – 200.000 butir sehari; terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Pada cacing jantan ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung ekornya (posterior). Pada cacing betina, pada sepertiga depan terdapat bagian yang disebut cincin atau gelang kopulasi.
- Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 60 x 45 mikron dan yang tidak dibuahi 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Telur yang telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia.
Bagaimana daur hidup Ascaris Lumbricoides
- Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita, didalam tanah yang lembab dan suhu yang optimal akan berkembang menjadi telur infektif, yang mengandung larva cacing. Infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang infektif kedalam mulut melalui makanan atau minuman yang tercemar tanah yang mengandung tinja penderita askariasis.
- Bentuk infektif ini, bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, masuk kedalam vena portae hati, mengikuti aliran darah masuk ke jantung kanan dan selanjutnya menuju paru-paru mengikuri aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena ransangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini membuang tinjanya tidak pada tempatnya.
- Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan.
Bagaimana Penularan Penyakit askariasis?
- Penularan Askariasis terjadi apabila telur infektif masuk kedalam tubuh. Telur fertil jika jatuh pada kondisi tanah yang sesuai, dalam waktu 5-10 hari telur tersebut dapat menginfeksi manusia. Telur infektif dapat masuk kedalam tubuh melalui beberapa media, yaitu melalui debu,tanah, air, dan tanaman. Debu dan tanah dapat menjadi media penularan Askariasis karena kebiasaan masyarakat membuang kotoran/ tinja sembarangan. Telur yang keluar bersama tinja tahan terhadap pengaruh cuaca buruk, berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup bertahun-tahun di tempat yang lembab.
- Kebiasaan bermain tanah dan tidak mencuci tangan sampai bersih menyebabkan telur infektif tertelan bersama makanan. Air menjadi media penularan Askariasis karena kebiasaan masyarakat yang tinggal disepanjang pinggir sungai membuang tinja di sungai. Telur berpindah bersama aliran sungai menuju tempat lain dan menginfeksi masyarakat yang memanfaatkan air sungai untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya untuk masak, mencuci, dan mandi. Tanaman dapat menjadi media penularan Askarasis karena tempat penanaman di sepanjang aliran sungai atau menggunakan air sungai untuk menyiram tanaman. Kebiasaan mengkonsumsi sayur mentah merupakan media efektif penularan Askariasis, misalnya sebagai lalapan.
- Manifestasi klinis tergantung pada intensitas infeksi dan organ yang terlibat. Pada sebagian besar penderita dengan infeksi rendah sampai sedang gejalanya asimtomatis atau simtomatis. Gejala yang tiimbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva.
- Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, batuk darah, demam dan eosinofilia, sesak napas dan pneumonitis askaris. Pada foto toraks tampak infiltrat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler.
- Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Gangguan ini paling sering di usus, karena cacing ini dewasa hidupnya diusus kecil sampai cacing ini mati. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
- Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi yang dapat menimbulkan gangguan pencernaan dan penyerapan protein sehingga penderita mengalami gangguan pertumbuhan dan anemia akibat kurang gizi akibatnya memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).
- Cairan tubuh cacing yang toksik dapat menimbulkan gejala mirip demam tifoid, disertai tanda-tanda alergi misalnya urtikaria, edema pada wajah, konjungtivitas dan iritasi pernafasan bagian atas. Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau ke bronkus, dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan operatif.
Cara melakukan Diagnosis penyakit Askariasis
- Pada anamnesis dapat ditemukan gejala berupa, Batuk kering,sesak napas, Demam yang sedang, Adanya cacing dalam tinja, Rasa kembung atau mules pada perut bagian atas, Nyeri epigastrium menyerupai ulkus peptikum, Kolik abdomen, Ada riwayat berak atau muntah cacing,dan Anoreksia
- Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung, maupun melalui tinja.
- Tes darah juga dapat dilakukan untuk mendiagnosis askariasis walaupun tidak spesifik. Pada Ascariasis dapat dijumpai peningkatan jenis tertentu dari sel darah putih yaitu eusinofil. Eusinofil ini meningkat terutama pada saat larva cacing ada di paru-paru. Walaupun demikian peningkatan eusinofil juga dapat disebabkan oleh penyakit lain.
- Pemeriksaan radiologi pencitraan berupa foto polos, CT-scan juga dapat memperlihatkan adanya infeksi cacing pada perut ataupun infiltrat pada paru-paru.
- Askariasis harus dibedakan dengan kelainan alergi lainya seperti utikaria, loffler syndrome dan asma. Pneumonitis yang disebabkan oleh cacing Ascaris Lumbricoides menyerupai gejala pneumonitis yang disebabkan oleh cacing tambang atau strongiloides. Cacing ini dapat merupakan pencetus untuk terjadinya pankreatitis, apendisitis, divertikulitis dan lainnya.
Bagaimana Cara Pengobatan
- Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal pada masyarakat.
- Untuk perorangan dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya piperasin dosis tunggal untuk 10 mg/kgBB, mebendazol 2 x 100 mg/hari selama 3 hari atau 500 mg dosis tunggal, albendazol dosis tunggal 400 mg. Oksantel-pirantel pamoat adalah obat yang dapat digunakan untuk infeksi campuran A.lumbricoides dan T.trichiura.
- Untuk pengobatan masal perlu beberapa syarat, yaitu :
- Obat mudah diterima masyarakat
- Aturan pemakaian sederhana
- Mempunyai efek samping yang minim
- Bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing
- Harganya murah
- Spoilative action. Anak yang menderita askariasis umumnya dalam keadaan distrofi. Pada penyelidikan ternyata askariasis hanya mengambil sedikit karbohidrat ”hospes”, sedangkan protein dan lemak tidak diambilnya. Juga askariasis tidak mengambil darah hospes. Dapat ditarik kesimpulan bahwa distrofi pada penderita askariasis disebabkan oleh diare dan anoreksia.
- Toksin. Chimura dan Fuji berhasil membuat ekstrak askaris yang disebut askaron yang kemudian ketika disuntikkan pada binatang percobaan (kuda) menyebabkan renjatan dan kematian, tetapi kemudian pada penyelidikan berikutnya tidak ditemukan toksin yang spesifik dari askaris. Mungkin renjatan yang terjadi tersebut disebabkan oleh protein asing.
- Alergi. Terutama disebabkan larva yang dalam siklusnya masuk kedalam darah, sehingga sesudah siklus pertama timbul alergi terhadap protein askaris. Karenanya pada siklus berikut dapat timbul manifestasi alergi berupa asma bronkiale, ultikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loffler. Simdrom Loffler merupakan kelainan dimana terdapat infiltrat (eosinofil) dalam paru yang menyerupai bronkopneumonia atipik. Infiltrat cepat menghilang sendiri dan cepat timbul lagi dibagian paru lain. Gambaran radiologisnya menyerupai tuberkulosis miliaris.Disamping itu terdapat hiperesinofilia (40-70%). Sindrom ini diduga disebabkan oleh larva yang masuk ke dalam lumen alveolus, diikuti oleh sel eosinofil. Tetapi masih diragukan, karena misalnya di indonesia dengan infeksi askaris yang sangat banyak, sindrom ini sangat jarang terdapat, sedangkan di daerah denagn jumlah penderita askariasis yang rendah, kadang-kadang juga ditemukan sindrom ini.
- Traumatik action. Askaris dapat menyebabkan abses di dinding usus, perforasi dan kemudian peritonitis. Yang lebih sering terjadi cacing-cacing askaris ini berkumpul dalam usus, menyebabkan obstuksi usus dengan segala akibatnya. Anak dengan gejala demikian segera dikirim ke bagian radiologi untuk dilakukan pemeriksaan dengan barium enema guna mengetahui letak obstruksi. Biasanya dengan tindakan ini cacing-cacing juga dapat terlepas dari gumpalannya sehingga obstruksi dapat dihilangkan. Jika cara ini tidak menolong, maka dilakukan tindakan operatif. Pada foto rontgen akan tampak gambaran garis-garis panjang dan gelap (filling defect).
- Errantic action. Askaris dapat berada dalam lambung sehingga menimbulkan gejala mual, muntah, nyeri perut terutama di daerah epigastrium, kolik. Gejala hilang bila cacing dapat keluar bersama muntah. Dari nasofaring cacing dapat ke tuba Eustachii sehingga dapat timbul otitis media akut (OMA) kemudian bila terjadi perforasi, cacing akan keluar. Selain melalui jalan tersebut cacing dari nasofaring dapat menuju laring, kemudian trakea dan bronkus sehingga terjadi afiksia. Askaris dapat menetap di dalam duktus koledopus dan bila menyumbat saluran tersebut, dapat terjadi ikterus obstruktif. Cacing dapat juga menyebabkan iritasi dan infeksi sekunder hati jika terdapat dalam jumlah banyak dalam kolon maka dapat merangsang dan menyebabkan diare yang berat sehingga dapat timbul apendisitis akut.
- Irritative Action. Terutama terjadi jika terdapat banyak cacing dalam usus halus maupun kolon. Akibat hal ini dapat terjadi diare dan muntah sehingga dapat terjadi dehidrasi dan asidosis dan bila berlangsung menahun dapat terjadi malnutrisi.
- Komplikasi lain. Dalam siklusnya larva dapat masuk ke otak sehingga timbul abses-abses kecil; ke ginjal menyebabkan nefritis; ke hati menyebabkan abses-abses kecil dan hepatitis. Di indonesia komplikasi ini jarang terjadi tetapi di srilangka dan Filipina banyak menyebabkan kematian.
Prognosis
- Pada umumnya askariasis mempunyai prognosisn baik. Tanpa pengobatan, infeksi cacing ini dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatan, kesembuhan diperoleh antara 70 – 99%.
BACA
JUGA
|
DAFTAR PUSTAKA
- Ngastiah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
- Mansjoer Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Medika Aesculapius
- Soegijanto, Soegeng.2005.Kumpulan Makalah Penyakit Tropis Dan Infeksi Di Indonesia Jilid 4. Surabaya: Airlangga University Press
- Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2002. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2.Jakarta :Percetakan Info Medika Jakarta
- Gandahusada, Srisasi, Prof. dr. 2006. Parasitologi Kedokteran. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
- Padmasutra, Leshmana, dr. 2007. Catatan Kuliah:Ascaris lumbricoides. Jakarta:Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta
- Diemert DJ. Intestinal nematode infections. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman’s Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2011: chap 365
- Maguire JH. Intestinal nematodes (roundworms). In: Mandell GL, Bennett JE, Dolan R, eds. Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Diseases. 7th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Churchill-Livingstone; 2009:chap 287