DERMATOTERAPI TOPIKAL
DASAR-DASAR PENGOBATAN TOPIKAL
1. Vehikulum
Vehikulum atau basis obat luar adalah bahan dasar obat luar yang dipakai untuk membawa bahan aktif pada kulit dan mampu meningkatkan penetrasi obat pada kulit.
Vehikulum yang ideal haruslah stabil baik fisis maupun khemis, non iritatif, non alergenik baik secara kosmetis dan mudah digunakan dengan sesedikit mungkin efek samping.
Oleh karena itu pemilihan vehikulum merupakan hal yang sangat penting dalam pengobatan topikal.
Secara garis besar dikenal 3 vehikulum dasar yaitu: bedak, salep dan cairan. Dari ketiga vehikulum tersebut dapat dibuat kombinasi diantaranya yaitu bedak kocok, pasta dan krim.
Bedak
adalah bahan dasar padat berupa serbuk yang dapat berasal dari amilum, seng oksida, talkum venetum, kalamin dan titan dioksid. Pada bedak dapat ditambahkan bahan aktif seperti asam salisilat, menthol, antibakteri atau antijamur.
Bedak digunakan untuk lesi-lesi akut non eksudatif untuk pendingin atau untuk lesi di lipatan
sebagai penyerap keringat atau pelicin. Tidak dianjurkan penggunaannya pada lesi-lesi yang eksudatif karena dapat timbul krusta yang sangat tebal.
contoh bedak yang di pakai untuk pengobatan kulit
Salep
Adalah vehikulum semipadat yang terbuat dari lemak. Biasanya dipakai lemak mineral yaitu vaselin (putih atau kuning) dan polietilen glikol. Bahan aktif pada salap tidak boleh melebihi 15%. Salep bersifat oklusif sehingga dipakai untuk lesi-lesi kronik yang memerlukan penetrasi lebih baik.
Modifikasi salap adalah linimentum yaitu jika lemak yang dipakai bersifat encer seperti : minyak kacang, minyak wijen dsb.
Cairan (losio)
Adalah vehikulum dengan bahan dasar cair sebagai pelarut bahan aktif. Biasanya dipakai air biasa, air suling atau alkohol. Jika bahan dasarnya air disebut solusio, jika alkohol disebut tinctura.
Contoh solusio adalah solusio kalium permanganat, solusio Burowi.
Pasta
Merupakan kombinasi salep dengan serbuk, dengan kandungan serbuk lebih dari 40%. Pasta ini dipakai pada lesi yang memerlukan proteksi. Jangan dipakai pada daerah intertrigo karena dapat berakibat maserasi.
Contoh: pasta Lassar.
Bedak kocok
Merupakan kombinasi antara serbuk dengan zat cair. Biasanya dipakai untuk pendingin atau pengering lesi-lesi akut. Kejelekannya sama dengan bedak yaitu membuat krusta yang tebal jika diberikan pada lesi eksudatif. Contoh : Caladin, Calamed
Bedak dingin merupakan kombinasi antara bedak kocok dan lemak. Berefek untuk mendinginkan dan melunakkan kelainan kulit yang akut.
Krim
Merupakan kombinasi antara lemak dan zat cair dengan suatu emulgator. Tergantung dari macam dan konsentrasi lemak yang dipakai dapat terjadi suatu bentuk krim minyak dalam air (M/A) atau oil in water (O/W) dan air dalam minyak (A/M) atau water in oil (W/O).
Krim M/A biasanya dipakai untuk lesi subakut atau pada pemakaian siang hari karena lebih mudah dicuci, sedangkan bentuk A/M lebih cocok untuk lesi subkronik atau pada malam hari karena lebih berlemak.
Secara umum dapat dipakai sebagai pedoman yaitu untuk lesi yang basah dipakai bahan dasar basah seperti solosio atau krim M/A, sedangakan untuk lesi kering dipakai bahan dasar kering atau padat seperti salap, pasta atau krim A/M.
BAHAN-BAHAN AKTIF OBAT TOPIKAL
1. KORTIKOSTEROID
Merupakan obat topikal yang paling banyak digunakan dalam pengobatan penyakit kulit. Hal ini disebabkan karena kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi, antimitosis dan antiproliferasi.
Indikasi penggunaan
kortikosteroid topikal pada bayi dan anak tidak banyak berbeda dengan dewasa.
Yang perlu diingat adalah bahwa dengan konsentrasi yang sama dengan dewasa absorpsi
kortikosteroid ke kulit anak dan bayi lebih besar.
Pada umumnya golongan ekzema atau dermatitis merupakan golongan penyakit yang responsif terhadap steroid, sedangkan psoriasis palmo-plantar, lupus eritematosus diskoid dan likhen planus termasuk golongan yang kurang responsif.
Sejak diketahui bahwa penambahan atom fluor pada salah satu gugus karbon steroid dapat meningkatkan potensinya, sekarang telah banyak sediaan steroid topikal dengan berbagai potensi.
Seperti diketahui kortikosteroid topikal dibagi menjadi 4 golongan menurut potensi klinisnya.
Sayangnya peningkatan potensi steroid ini hampir selalu diikuti dengan peningkatan risiko efek samping. Dan efek samping ini akan lebih cepat timbul pada bayi dan anak. Oleh karena itu pertimbangan yang matang harus selalu dipikirkan sebelum memilih jenis steroid topikal.
Efek samping kortikosteroid topikal
Sistemik : - Supresi AHA
- Sindrom Cushing Iatrogenik
- Gangguan pertumbuhan
Lokal :
a. Katabolik:
- atrofi kulit - akne steroid
- telangiektasia - gangguan penyembuhan luka
- purpura/ ekimosis - rosasea
- hipertrikosis - dermatitis perioral
- striae
Perubahan respon lokal :
- tinea inkognito - hipopigmentasi
- glaukoma
contoh salep kulit yang mengandung kortikosteroid
c. Dermatitis kontak alergi
Pemakaian steroid sebaiknya dimulai dengan potensi lemah, apabila betul-betul diperlukan dapat dipakai steroid yang lebih poten dengan dosis minimal yang efektif untuk jangka waktu pendek dan segera diganti dengan potensi lemah bila efek yang diinginkan telah tercapai.
Di samping itu jenis vehikulum dan stadium penyakit juga perlu diperhatikan. Jumlah pengolesan dianjurkan cukup 2-3 kali sehari, tidak perlu terlalu sering karena tak ada beda efek terapeutiknya antara pengolesan 2-3 kali dengan beberapa kali sehari, bahkan dapat cepat terjadi efek takhipilaksis. Sedangkan jumlah total yang dianjurkan maksimal 13 g sehari seluas 1 m2 atau 2 g tiap 9% luas tubuh sehari, berarti antara 20-30 g sehari.
Lama pemakaian steroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu untuk potensi lemah dan untuk potensi kuat tidak lebih dari 2 minggu.
Harus selalu diingat bahwa steroid bukan obat kausatif melainkan lebih bersifat paliatif dan supresif.
2. ANTIJAMUR
Merupakan salah satu dari obat-obat yang banyak digunakan dalam dermatologi. Obat ini sangat bervariasi baik dalam spektrum, sediaan maupun harganya.
Obat antijamur lama atau konvensional umumnya mempunyai spektrum sempit dan mekanisme kerjanya tidak jelas, diperkirakan melalui efek keratolitik.
Beberapa obat konvensional yang sampai saat ini masih banyak dipakai dan berkhasiat baik, misalnya; salep Whitfield, sulfur dan asam undeselinat.
Antijamur generasi baru spektrumnya lebih luas, baik terhadap golongan Dermatofita. Kandida atau Pytirosprum.
Kerjanya melaui gangguan sintesis atau integritas membran sel. Termasuk golongan antijamur baru yaitu: golongan imidazol. Siklopiroksilamin dan alilamin.
Salep Whitfield.
Mengandung asam salisilat 3-6% dan asam benzoat 6-12%. Pada anak-anak sebaiknya dipakai konsentrasi asam salisilat 3% dan asam benzoat 6%. Penurunan konsentrasi asam salisilat sampai 2% dapat mengurangi iritasi.
Senyawa Sulfur.
Hanya dipakai untuk mengobati Pitiriasis versikolor. Biasanya berupa cairan natrium tiosulfat 20% atau selenium sulfit 2,5%. Keuntungan obat ini murah dan praktis pemakaiannya tetapi dapat mengiritasi kulit terutama pada wajah dan kelamin, serta baunya tidak enak. Pemakaiannya dengan dioleskan1/4-1/2 jam sebelum mandi setiap hari selama 5-7 hari.
Asam Undesilinat
Kurang iritatif dibanding dengan kedua obat di atas. Biasanya terdapat dalam bentuk campuran dengan garamnya, misalnya salep Undecyl. Cukup efektif untuk Dermatofita tapi tidak untuk Kandida.
Siklopiroksilamin
Merupakan antijamur generasi baru yang efektif terhadap Dermatofita maupun Kandida. Tersedia dalam bentuk krim dan losio dengan konsentrasi 1%.
Imidazol.
Merupakan antijamur spektrum luas yang kerjanya menghambat sintesis ergosterol pada membran sel. Yang termasuk golongan imidazol yaitu: klotrimasol, mikonasol, ekonasol, ketokonasol dll. Tersedia dalam bentuk bedak, krim dan losio. Angka kesembuhan untuk pemakaian golongan ini berkisar antara 60-100% dengan lama pengobatan antara 3-4 minggu dan pemakaian 2 kali sehari.
Alilamin.
Bekerja sebagai inhibitor sintesis ergosterol melalui hambatan epoksidase skualen dari sel jamur. Golongan ini sangat baik untuk semua Dermatofita tetapi kurang untuk Kandida.
Termasuk golongan ini adalah naftifin dan terbenafin.
3. ANTIBIOTIK
Pemakaian antibiotik topikal biasanya atas indikasi infeksi-infeksi pioderma primer dengan luas terbatas seperti impetigo, ektima, folikulitis atau furunkel maupun infeksi bakterial sekunder.
Dalam memilih jenis antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor sensitivitas kuman terhadap antibiotik dan faktor biaya.
Pada infeksi kulit yang luas pemakaian antibiotika topikal saja tidak cukup, harus bersamaan dengan antibiotika sistemik. Berbagai macam antibiotika yang tersedia dan sering digunakan yaitu:
Tetrasiklin.
Golongan obat ini bersifat bakteriostatik dengan spektrum luas terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif, aerob dan anaerob. Golongan ini sekarang tak lagi diindikasikan pada infeksi oleh Streptokokus maupun Stafilokokus karena sering dijumpai resistensi. Tersedia dalam bentuk salep yang mengandung tetrasiklin 3%, klortetrasiklin 3% dan oksitetrasiklin 3%.
Neomisin.
Merupakan golongan aminoglikosida yang aktif terhadap beberapa kuman Gram positif seperti Stafilokokus aureus, H.influensa, E.coli, Proteus dan hanya sedikit efektif untuk Streptokokus. Sedangkan Pseudomonas biasanya resisten. Kebanyakan neomisin terdapat dalam bentuk kombinasi dengan antibiotika lain, antijamur atau kortikosteroid.
Di beberapa negara neomisin dilaporkan banyak menyebabkan alergi kontak.
Gentamisin.
Termasuk golongan aminoglikosida . Mempunyai aktivitas bakterisid terhadap kuman Gram negatif dan beberapa Gram positif. Digunakan secara topikal karena efektif terhadap Pseudomonas tetapi tidak efektif untuk Streptokokus sehingga kurang baik untuk Impetigo. Tersedia dalam bentuk salep dan krim dengan konsentrasi 0,1%.
Basitrasin.
Bersifat bakterisid hanya terhadap kuman Gram positif seperti Stafilokokus, Streptokokus dan Corynbacterium. Umumnya tersedia dalam bentuk kombinasi dengan neomisin dan polimiksin-B sulfat dalam konsentrasi 4-6%. Kombinasi dengan neomisin relatif aman dan dianggap rasional karena masing-masing bekerja secara sinergis.
Digunakan pada ektima, impetigo dan folikulitis dengan dosis 3-4 kali sehari dan sebelum tidur.
Silver sulfadiazine.
Merupakan hasil reaksi antara silver nitrat dengan sodium sulfadiazine. Obat ini efektif
terhadap bakteri-bakteri Gram positif dan Gram negatif dan biasanya digunakan sebagai profilaksi atau terapi pada luka bakar. Tersedia dalam bentuk krim yang mengandung silver sulvadiazine 1%.
Asam fusidat.
Mempunyai spektrum aktivitas antibakteri yang sempit. Sangat efektif terhadap Stafilokokus aureus, termasuk galur penghasil penisilinase, juga terhadap bakteri Gram positif, anaerob dan aerob. Tersedia dalam bentuk salep dan krim Natrium fusidat dengan konsentrasi 2%.
Mupirosin.
Merupakan antibiotika topikal baru, sangat efektif terhadap Stafilokokus dan sebagian Streptokokus. Digunakan terutama pada impetigo, folikulitis, ekzema infektif, luka bakar atau ulkus kruris. Tersedia dalam bentuk salep dengan konsentrasi 1-3%.
4. ANTISEPTIK PADA KULIT
Sebenarnya indikasi pemakaian antiseptik lebih banyak ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi pada kulit, seperti tindakan-tindakan preoperatif, mengurangi infeksi nosokomial selama perawatan dan perawatan luka bakar. Namun sering kita lihat terjadi pemakaian antiseptik yang tidak semestinya misalnya penggunaan pada semua penyakit atau kelainan kulit yang sebenarnya tidak perlu.
Ada beberapa antiseptik a.l: sabun , rivanol, kalium permanganat, povidon iodin dan alkohol.
Sabun antiseptik.
Selain sebagai pembersih sabun mempunyai sifat antiseptik ringan. Sabun bayi dan anak biasanya mengandung alkali yang lebih lemah sehingga mengurangi iritasi. Untuk memperoleh sifat antibakteri yang lebih besar beberapa sabun menambahkan bahan bersifat antiseptik seperti triklorokarbonilid atau tribromosalisilanida. Sayangnya kedua bahan tersebut menyebabkan sensitisasi sehingga harus waspada dalam penggunaannya.
Rivanol.
Merupakan serbuk berwarna kuning yang larut dalam air. Biasanya digunakan sebagai kompres luka atau lesi yang eksudatif dalam larutan 0,5-1%.
Kalium permanganat. Selain sebagai antiseptik larutan kalium permanganat mempunyai sifat sebagai oksidator sehingga baik untuk membersihkan luka yang kotor. Digunakan dalam konsentrasi 1:10000, dalam bentuk kristal yang dilarutkan dalam air, yang akan memberikan warna merah jambu .
Povidon iodin.
Merupakan kompleks yodium dengan polivinyl pyrolidon. Bahan ini lebih disenangi karena tidak toksik dan tidak iritatif, walaupun pada beberapa orang dapat timbul alergi. Selain pada kulit dapat juga digunakan untuk selaput lendir jalan lahir. Tersedia dalam konsentrasi 1-10% dalam bentuk salep dan solosio.
Alkohol.
Biasanya dipakai etilalkohol atau isopropilalkohol. Sifat antiseptiknya paling besar pada konsentrasi 70%. Penggunaannya hanya dioleskan atau kompres. Pada luka sayat tidak dianjurkan karena dapat terjadi
presipitasi protein jaringan sehingga akan membentuk massa bergumpal yang memungkinkan bakteri lebih
mudah tumbuh. Selain itu penggunaan alkohol pada luka sayat akan menimbulkan rasa pedih dan panas.
5. ANTIPRURITUS
Preparat ini merupakan obat simtomatik, digunakan hanya untuk mengurangi gejala, bukan untuk menyembuhkan. Banyak keluhan gatal yang bersumber tidak jelas sehingga memerlukan pengobatan simtomatik.
Beberapa preparat antigatal yaitu: kalamin, urea, phenol, mentol dan kamfor serta antihistamin.
Kalamin.
Merupakan kombinasi dari seng oksida dan ferri oksida. Biasanya terdapat dalam bentuk bedak, bedak kocok, krim serta salep.
Urea.
Dapat bekerja sebagai antigatal karena efek hidrasi kulit dan emolient. Digunakan pada konsentrasi 2-10% pada basis krim. Sebaiknya digunakan pada kulit yang utuh karena dapat menyebabkan rasa panas atau terbakar.
Fenol, mentol dan kamfor.
Merupakan derivat fraksi oleoresin dari tumbuh-tumbuhan. Penggunaannya dengan
konsentrasi 0,5-1% yang ditambahkan pada lotio atau krim dan berefek sebagai pendingin. Bila konsentrasi lebih dari 2% dapat berakibat iritasi dan nekrosis lokal, terutama bila dipakai pada kulit yang tidak utuh.
Antihistamin.
Walaupun antihistamin topikal tersedia dalam bentuk krim, namun perlu diingat bahwa
antihistamin merupakan bahan pemeka atau sensitizer yang poten sehingga menyebabkan dermatitis kontak alergi.
Oleh karena itu tidak dianjurkan penggunaannya dalam klinik.
REFERENSI
1. Hamzah M. Dermatoterapi. Dalam Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. 342-52.
2. Jacoeb TNA. Dermatoterapi topikal. Disampaikan pada: Kuliah Umum Modul Kulit dan Jaringan
Penunjang. Jakarta: FKUI. 23 November 2011.