MEKANISME DASAR TERATOGENISITAS OBAT ANTI EPILEPSI (OAE) DAN FAKTOR LAINNYA PADA WANITA DENGAN EPILEPSI
Pendahuluan
Dalam dua dekade terakhir ini, telah dan sedang dilakukan penelitian berkesinambungan tentang OAE (obat anti epilepsi) dan faktor faktor lain yang berhubungan secara langsung ataupun tidak langsung dengan OAE tersebut . Tujuan penelitian itu, adalah untuk mengetahui efikasi, farmakologis, efek samping termasuk efek teratogenisitas OAE agar kualitas hidup orang dengan epilepsi yang diharuskan minum OAE tersebut dalam waktu lama, tetaplah baik.
Teratogenisitas dapat disebabkan oleh OAE ataupun faktor lainnya dari seorang wanita dengan epilepsi saat mengandung janin. Dengan berkembangnya penelitian diatas, maka rasa takut akan efek terotogenik OAE ataupun faktor lain tidak lagi menjadi persoalan.
Dilaporkan bahwa frekuensi serangan akan meningkat sekitar 30% pada wanita dengan epilepsi yang sedang mengandung. Peningkatan serangan ini dapat menyebabkan peningkatan risiko komplikasi baik untuk ibu maupun janinnya. Penyebab peningkatan serangan ini antara lain adalah penghentian OAE saat kehamilan oleh karena takut akan efek teratogenisitas. Dilaporkan juga bahwa sebenarnya minum OAE secara teratur saat kehamilan akan menurunkan risiko komplikasi baik untuk ibu maupun janin. Tetapi tentu saja dengan mempertimbangkan efek teratogenisitas OAE dengan cara pemberian OAE yang tepat dan akurat dengan dosis terarapeutik secukupnya.
Mekanisme teratogenisitas sendiri, baik dari OAE ataupun faktor lainnya dari hasil penelitian yang panjang tersebut, belumlah sangat jelas ataupun dapat menjawab isu yang kritis, tetapi tetap ada hasil hasil yang menjanjikan di masa datang.
Makalah ini akan mencoba membahas efek teratogenisitas OEA dan faktor lainnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan janin dalam kandungan.
Apakah Teratogenisitas itu?
- Teratogenisitas merujuk pada pengertian : keracunan saat pertumbuhan janin, deviasi saat proses pertumbuhan yang dimulai dari masa pertumbuhan sampai kelahiran, termasuk didalamnya kematian, malformasi, retardasi dan defisiensi fungsi organ.
Faktor penyebab teratogenisitas dari obat adalah :
- Tipe obat (properti kimia dan farmakologis)
- Level dan durasi dosis
- Modulasi ‘ibu / maternal’ dari dosis
- Akses pada konsepsi
- Tahap pertumbuhan pada saat dosis (teratogenik) diberikan
- Disposisi selama masa konsepsi
- Kerentanan individual / species
Sejarah Teratogenisitas
Dari dekade ke dekade, insiden malformasi mayor pada anak anak yang dilahirkan oleh wanita dengan epilepsi di estimasikan sekitar 4 – 6% dengan angka antara yang lebar yaitu 1,25 – 18,6%.
Laporan pertama malformasi akibat OAE adalah janin yang terpapar mephenytoin dengan mikrosefali, malrotasi usus halus, celah palatum, gangguan bicara dan IQ rendah. Kehamilannya sendiri juga dengan komplikasi perdarahan vaginal.
Tahun 1964, Janz dan Fuchs dari Jerman Barat melakukan studi survei retrospektif pada 426 kehamilan dari 246 wanita dengan epilepsi. Hasilnya terdapat peningkatan angka keguguran dan kematian bayi baru lahir, tetapi untuk malformasinya tidak berbeda dengan populasi umum yaitu sekitar 2,2%. Kesimpulannya, OAE tidak berhubungan dengan peningkatan malformasi pada bayi.
Pantaroto dkk mendapatkan neonatus dengan aplasia sumsum tulang belakang pada pajanan phenytoin saat dalam kandungan. Centa dan Rasore-Quartino melaporkan kasus pertama penyakit jantung kongenital pada pajanan phenytoin dan phenobarbital intra uterin. Melchior dkk, mendapatkan defek orofasial pada pajanan primidone atau phenobarbital. Tahun 1968, SR Meadow melaporkan 6 kasus anak yang terpapar OAE saat di dalam kandungan, dengan defek orofasial dimana 4 diantaranya juga terdapat abnormalitas pada jantung serta dismorfik wajah. Namun tidak disebutkan OAE apa yang berefek teratogenik tersebut. Hanya, dilaporkan juga adanya hal serupa pada anak yang kekurangan asam folat.
Kasus pertama laporan malformasi yang berkaitan dengan OAE spesifik dipublikasi pada tahun 1970. Trimethadione yang diminum pada trimester pertama, mempunyai efek teratogenik pada 8 dari 14 kehamilan. Tahun 1968, Meadow, melaporkan secara lebih jelas 30 kasus hasil dari penelitian retrospektif pada 427 kehamilan dari 186 wanita dengan epilepsi.
Kesimpulan yang didapat adalah :
- Terjadinya malformasi kongenital dua kali lebih sering pada wanita dengan epilepsi dibandingkan dengan populasi normal;
- Abnormalitas tersebut tidak ada yang spesifik terkait dengan OAE tertentu;
- Anak anak ini mempunyai ciri anomali yang khas, termasuk trigonosefali, mikrosefali, hipertelorisme, telinga kecil, leher pendek, garis tangan menyilang dan abnormalitas pada tulang.
Kelainan malformasi juga tidak ada satupun yang spesifik yang disebabkan oleh satu obat anti epilepsi tertentu. Yang dikatakan kemungkinan ada korelasi adalah valproat dengan Neural Tube Defects (NTDs) sesuai dengan laporan dari Robert dan Guibaud. Pada analisa lanjutan, didapatkan Spina Bifida Aperta yang merupakan kelainan spesifik dari NTDs pada wanita dengan epilepsi yang saat kehamilannya minum valproat. Prevalensi spina bifida dengan valproat diperkirakan sekitar 1-2% sedangkan dengan karbamasepin sekitar 0,5%. Dosis valproat 1,640 kurang lebih 136 mg/hari lebih tinggi kemungkinannya untuk terjadinya spina bifida dibandingkan dengan yang minum dosis yang lebih rendah yaitu kurang dari 1000 mg/hari (941 kurang lebih 48 mg/hari).
Mekanisme Teratogenik Obat Anti Epilepsi
Beberapa faktor yang diperkirakan menyumbang peningkatan terjadinya malformasi pada anak anak dari wanita dengan epilepsi adalah
- Obat anti epilepsi yang diminum oleh wanita dengan epilepsi selama kehamilannya, tergantung dari jenis obat, level dosis dan kerentanan individu
- Serangan selama kehamilan
- Predisposisi genetik yang terkait pada kejadian epilepsi
- Jatuh dan luka saat serangan
- Status sosial ekonomi rendah dan hubungannya dengan kontrol kehamilan yang tidak teratur / tidak kontrol sama sekali
- Adanya efek teratogenisitas obat anti epilepsi ada kaitannya dengan metabolisme asam folat.
- Rasionalnya, pada manusia dengan level asam folat dan vitamin B1 yang rendah disertai dengan level homosistein tinggi berhubungan dengan tingginya risiko untuk terjadinya NTDs. Level asam folat yang rendah ini, biasanya didapatkan pada wanita hamil yang minum obat anti epilepsi. Kombinasi tingginya level obat anti epilepsi dan rendahnya level asam folat, akan meningkatkan kejadian malformasi.
- Detail hubungan antara OAE dan NTDs serta antara OAE dengan Asam Folat belum sepenuhnya jelas. Masih ada pertanyaan seperti
- Mengapa pemberian multivitamin yang mengandung asam folat dapat mengurangi malformasi dan bukan oleh karena pengendalian dosis OAE?
- Mengapa risiko NTDs lebih berkorelasi pada pemberian valproat dan tidak oleh karena phenytoin ataupun phenobarbital, padahal semuanya juga menyebabkan pengurangan level asam folat dalam darah?.
- Konsep hipotesa lainnya adalah Bioaktivasi OAE oleh embrionik sitokhrom P450 (CYP) sistem.
- Ada hasil jadi antara yaitu, oksidatif arene reaktif yang diduga berefek teratogenik. Ini dibuktikan dengan pemberian politerapi kombinasi antara karbamasepin, phenobarbital dan valproat. Pemberian formula ER (extended release) karbamasepin atau valproat dikatakan dapat menurunkan risiko terjadinya malformasi. Tetapi hal ini masih perlu penelitian lagi.
- Postulat lainnya, bioaktivasi ensim sitokhrom P450 ini berefek teratogenik lewat hasil antara adanya penurunan ensim free radical scanveger yang mengeliminasi reactive oxygen species (ROS) berhubungan dengan terjadinya malformasi pada bayi dari wanita dengan epilepsi.
- Hipotesa lainnya lagi yang diajukan adalah reaktif antara yang dihasilkan oleh OAE dapat menginduksi embrionik bradikardia / aritmia.
- Aritmia ini dapat mengganggu pasokan oksigen dan menggenerasi peningkatan toksisitas ROS pada jaringan embrio saat fase reoksigenasi / reperfusi.
- Hipotesa lainnya lagi, mengatakan terjadinya hambatan pertumbuhan atau kerusakan jaringan ini akibat dari perdarahan fetus oleh karena defisiensi vitamin K atau interferensi dengan transpor karnitin di plasenta.
- Akhir akhir ini muncul hipotesa lainnya lagi, yaitu adanya gen homeobox (HOX) yang berhubungan dengan OAE.
Teratogenik Anatomis
Di beberapa negara telah dilakukan penelitian yang hasilnya berbeda untuk kejadian malformasi sebagai efek teratogenitas dari OAE. Hasil yang berbeda ini adalah akibat dari perbedaan metodologi maupun besar sampel.
Holmes dkk, 2001, melaporkan angka kejadian teratogenisitas yang terkait dengan pertumbuhan anatomi janin, untuk monoterapi sebesar 4,5% sedangkan untuk politerapi meningkat tajam menjadi 8,6% .
Malformasi mayor yang sering didapatkan sehubungan dengan penggunaan OAE adalah malformasi jantung (ventrikular septal defek), defek orofaring (bibir sumbing dan celah palatum), defek urologi (hipospadius), abnormalitas skeletal (hipoplasia phalangeal) dan neural tube defects (spina bifida).
Registri dari North America melaporkan secara keseluruhan, malformasi akibat phenobarbital 6,5%, valproat 10,7%. Risiko spesifik terjadinya bibir sumbing dan celah palatum didapatkan sebesar 0,89% untuk lamotrigin dan 0,57% karbamasepin.
Laporan Australia, dengan monoterapi, risiko malformasi sebesar 3,8% (6/155) untuk karbamasepin, 0% (0/61) untuk lamotrigin, 5,9% (1/17) untuk phenitoin dan 16,8% (19/113) untuk valproat.
Swedia dan Finlandia melaporkan terjadinya malformasi yang tinggi yaitu 9,7% dan 10,7% untuk valproat. Penelitian prospektif di UK dan USA (multisenter), mendapatkan data keluaran gejala sisa serius, seperti kematian janin atau malformasi mayor untuk valproat sebesar 20% dengan CI 95% 12-32 dan karbamasepin 8% .
Dari UK dilaporkan malformasi valproat 6,2%. Dosis besar lamotrigin, dapat terjadi peningkatan risiko, tetapi peneliti lainnya menyatakan seluruh risiko terjadinya malformasi pada penggunaan lamotrigin sebesar 2,9% dan tidak tergantung dosis. Laporan lainnya dari UK dengan sampel kecil, leviteracetam mempunyai kemungkinan terjadinya malformasi sebesar 2,7% (3/117) tetapi CI 95% sangat besar (0,9%-7,7%). Registri UK epilepsi dan kehamilan, dari 3500 wanita dengan 72% diantaranya diber monoterapi OAE, kejadian malformasi kongenital mayor 4,2%, sedangkan wanita dengan epilepsi yang tidak mendapat OAE, kejadian malformasi kongenital mayornya sebesar 3,5%. Usia bayi 3 bulan, didapatkan frekuensi mayor kongenital sebesar 6,2% pada yang selama didalam rahim ibu terpajan monoterapi sodium valproat. Hasil dari Uk ini sama dengan yang didapatkan di Australia. Frekuensi malformasi kongenital terjadi pada 3,2% monoterapi lamotrigin. Risiko terjadinya malformasi kongenital antara lamotrigin dengan dosis lebih dari 200 mg/hari sama dengan valproat dengan dosis kurang lebih 1000 mg/hari.
Politerapi secara bermakna berhubungan dengan peningkatan frekuensi terjadinya malformasi mayor dibandingkan monoterapi (6% vs 3,7%). Politerapi yang berhubungan dengan peningkatan kejadian malformasi NTDs adalah kombinasi karbamasepin, phenitoin dan asam valproat.
Di populasi normal, kejadian spina bifida sekitar 0,2-0,5%, sedangkan pada valproat meningkat menjadi 1-2% dan pada karbamasepin 0,5-1%. Hipospadia berhubungan dengan OAE baik valproat maupun karbamasepin.
Dari seluruh hasil yang telah disebut diatas, kesimpulan sementara yang dapat diambil adalah laporan tingginya angka kejadian malformasi untuk valproat dibandingkan dengan OAE lainnya.
Meskipun masih banyak timbul pertanyaan tentang mekanisme dasar yang akurat terjadinya efek teratogenisitas OAE ini, tetapi pilihan OAE yang tepat untuk mengatasi serangan dan sekaligus menghindari kemungkinan terjadinya malformasi pada baya dari wanita dengan epilepsi, perlu mendapatkan perhatian khusus.
Teratogenik Behavioral
Defek behavioral akibat efek teratogenik OAE, pada studi di binatang, menunjukkan adanya kemungkinan kejadian yang sama dengan defek anatomikal, bahkan dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan untuk kejadian defek anatomikal tersebut.
Suatu penelitian kohort, anak yang terpajan phenitoin, menunjukkan 5 angka lebih rendah dibandingkan nilai IQ dari kontrol. Studi retrospektif, menghasilkan data adanya penurunan IQ verbal pada anak yang terpajan valproat in utero. Hasil ini, bermakna ada hubungannya dengan dosis yang diberikan pada ibu saat hamil. Hasil studi awal, juga mendapatkan adany kognitif yang rendah dari anak-anak berusia 2 tahun yang terpajan valproat in utero.
Dari hasil studi binatang, terdapat hasil adanya efek teratogenik behavioral. Akan tetapi, hasil penelitian ini belum memuaskan dan masih perlu dilanjutkan.
Fetal Antikonvulsan Sindrom
- Kelainan kelainan yang dapat terjadi akibat pemberian OAE, baik minor maupun mayor kongenital malformasi adalah
- Perinatal growth deficiency
- Postnatal growth deficiency
- Microcephaly
- Short Nose, Low Cranial Bridge
- Hipertelorism
- Epicanthus folds
- Strabismus and other ocular abnormalities
- Low set ears and other aural abnormalities
- Wide mouth dan prominent lips
- Wide fontanelles
- Cleft lip and cleft palate
- Hypoplasia of nails
- Tranverse palmar crease
- Short fingers
- Mild learning disability
- Development delay
- Short neck, Low hairline
- Rib, sternal or spinal anomalies
- Widely spaced hypoplastic nipples
- Hernias
- Undecended testicles
- Neuroblastoma and neural ridge tumour
- Cardiac and renal abnormalities
Patogenesis hubungan antara OAE dengan kejadian anomali sindrom ini masih kontroversial, oleh karena ada yang berpendapat kejadian ini lebih mungkin disebabkan adanya peranan genetik ketimbang efek teratogenik OAE. Pendapat ini diperkuat oleh kenyataan adanya anomali ini sebelum OAE yang dikatakan ada hubungannya itu ditemukan. Anomali ini (bila ringan), kebanyakan dapat dikoreksi dengan operasi.
Penggunaan OAE Baru pada kehamilan
Gabapentin
- Gabapentin, suatu asam amino, adalah OAE yang bersifat ringan, biasanya digunakan sebagai tambahan terapi (add-on) untuk epilepsi parsial.
- Tersedia dalam bentuk tablet. Dosis untuk epilepsi 2400 -4800 mg/hr. Keunggulan gabapentin adalah tidak ada interaksi dengan obat lain.
- Belum cukup data terkait pada efek teratogenik dan harus hati hati bila diberikan pada wanita hamil. Dari penelitian pasca penjualan (post marketing) pada 3100 orang Inggris, dan 11 diantaranya hamil, tidak ada satupun yang ada malformasi mayor.
- Studi lainnya, retrospektif dan prospektik pada 44 anak yang dilahirkan oleh 39 wanita dengan epilepsi, terdapat 2 orang (4,5%) ada malformasi mayor. Satu orang terpajan gabapentin dan asam valproat, ada hipospadia. Lainnya punya satu ginjal, terpajan gabapentin sebagai monoterapi sampai umur kehamilan 16 minggu dan kemudian beralih ke phenobarbital. Satu kasus dengan anomali minor pada saluran telinga luar kiri dan terdapat kulit yang menggelambir di dagu akibat pajanan gabapentin dan lamotrigin.
- Lamotrigin beraksi sebagai antifolat lemah dan modulasi kanal natrium. Merupakan lini pertama untuk epilepsi umum dan partial dan juga bersifat spektrum luas.
- Tersedia dalam bentuk tablet dan dispersible tablet. Dosis pemeliharaan sebagai monoterapi sebesar 100 – 400 mg/hari. Lamotrigin melalui plasenta dan konsentrasi plasma pada fetus dan ibu sama. Tujuh puluh dua jam setelah lahir, plasma konsentrasi lamotrigin pada bayi baru lahir sebesar 75% dari konsentrasi ibu.
- Penelitian Swedia, mendapatkan hasil malformasi akibat pajanan lamotrigin secara bermakna, adalah hal hal sebagai berikut :
- Monoterapi 2,8% (20 dari 707 dengan 95% CI 1,8%-4,9%);
- Politerapi dengan asam valproat 11,8% (14 dari 119 dengan CI 6,8%-19,3%);
- Politerapi tanpa asam valproat 2,7% (7 dari 256 dengan CI 1,2%-5,8%).
- Dari Inggris dilaporkan malformasi lebih tinggi pada bayi terpajan lamotrigin dosis lebih dari 200 mg/hari (5,4%) dibandingkan yang terpajan dosis rendah yaitu 1,9% pada dosis 100-200mg dan 1,5% pada dosis kurang dari 100mg.
- Oxcarbazepin adalah varian dari karbamasepin dengan efikasi yang sama. Dipergunakan sebagai OAE lini pertama pada pasien baru tonik klonik dan parsial epilepsi, serta tambahan (add-on) untuk refraktori epilepsi parsial. Cara kerjanya melalui modulasi kanal Natrium.
- Tersedia dalam kemasan tablet dan suspensi oral. Dosis antara 600 – 2400 mg/hari. Oxcarbazepin diberikan mulai dosis rendah dan di titrasi bertahap tiap minggu sampai tercapai dosis yang diinginkan.
- Efek teratogenik oxcarbazepin, dari 12 laporan awal didapatkan 9 lahir hidup dan 3 abortus spontan. Prospektif studi pada 11 kehamilan, hanya satu lahir dengan spina bifida yang terpajan oxcarbazepin politerapi. Selama post marketing surveillance, didaptkan 5 kasus, satu dengan defek kardiak, dengan celah palatum dan satu lagi dengan facial dysmorphism. Tetapi 3 dari 5 kasus ini minum oxcarbazepin politerapi. Penelitian prospektif di Buenos Aires, dari 25 kelahiran terpajan oxcarbazepin monoterapi, tidak ada satupun yang lahir dengan malformasi. Satu anak dengan septal defek terpajan oxcarbazepin dan phenobarbital. Studi retrospektif dari Finlandia, dari 133 wanita dengan epilepsi ,dan 101 diantaranya terpajan monoterapi oxcarbazepin, dan tidak ada satupun yang lahir dengan malformasi. Dari 17 kasus politerapi, hanya satu yang lahir dengan ventrikuloseptal defek. Oxcarbazepin melalui plasenta dan level obat di tali pusat dan ibu sama. Laporan terakhir menyatakan, kejadian malformasi akibat pajanan oxcarbazepin sama dengan populasi umum.
- Topiramat, suatu sulfamate-substituted monosaccharida, secara kimiawi tidak sama dengan OAE lainnya. Ia merupakan strong blocker of voltage-activited sodium channels dan berefek sebagai GABA-A receptors. Juga menghambat kainate/AMPA type dari glutamat receptors dan inhibitor lemah carbonic anhydrase. Topiramat adalah OAE berspektrum luas untuk parsial dan epilepsi umum sekunder.
- Tersedia dalam bentuk tablet dan sprinkle capsules. Dosis harian 75 – 400 mg/hari. Topiramat melalui plasenta dan plasma level antara tali pusat dan ibu sama.
- Saat ini masih sangat sedikit informasi tentang penggunaan topiramat pada wanita hamil. Dari laporan post marketing surveillance yang mengidentifikasi 76 kehamilan, diamati secara prospektif, dimana 57 diantaranya adalah wanita dengan epilepsi. Delapan dari 76 (10,5%) lahir dengan malformasi, dengan tujuh diantaranya minum OAE politerapi.
- Dari Inggris dilaporkan adanya 2 malformasi dari 35 kehamilan yang terpajan topiramat. Laporan lainnya dari Inggris, dari 203 kehamilan dengan 178 kelahiran hidup, 16 bayi baru lahir dengan malformasi mayor. Hanya 3 orang dari 70 dengan monoterapi topiramat. Tigabelas orang (11,2%) lainnya minum topiramat politerapi. Dari 13 ini, 4 orang dengan bibir sumbing atau celah palatum dan 4 kasus (5,1%) dengan hipospadia.
- Zonisamide, suatu sulfonamide, adalah OAE berspektrum luas yang efektif untuk parsial epilepsi dan epilepsi umum refrakter.
- Kemasan yang tersedia dalam bentuk kapsul. Dosis pemeliharaan 150-500mg/hari.
- Belum banyak data yang ada terkait dengan teratogenisitas obat. Yang ada baru laporan dari 26 kehamilan dengan zonisamide dan 2 diantaranya (7,7%) lahir dengan malformasi mayor. Keduanya dengan zonisamide politerapi, satu dengan phenitoin dan satu lagi dengan asam valproat.
Guideline Kehamilan dengan Epilepsi
Sebelum hamil {Strong Evidence (Class I)}
- Terapi diberikan optimal sebelum konsepsi
- Bila memungkinkan perubahan terapi antiepilepsi diselesaikan sekurang kurangnya 6 bulan sebelum konsepsi
- Diberikan asam folat (lebih dari 0,4 mg/hari) selama masa reproduksi dan dianjurkan sepanjang kehamilan
- Jenis obat antiepilepsi jangan diganti bila tujuannya hanya untuk mengurangi risiko teratogenik
- Pada pasien yang menggunakan karbamasepin, divalproex sodium atau asam valproat perlu dilakukan:
- Pemeriksaan kadar alpha-fetoprotein serum (minggu 14-16 kehamilan)
- Pemeriksaan ultrasonografi level II (struktural) (minggu 16-20 kehamilan)
- Amniosintesis untuk pemeriksaan kadar alpha-fetoprotein dan asetilkolinesterase dalam cairan amnion
- Dilakukan pemantauan kadar obat antiepilepsi yang tidak terikat protein. Untuk pasien yang stabil, kadar obat diperiksa sebelum konsepsi, awal tiap trimester, dan pada bulan terakhir kehamilan. Juga dapat dipantau bila ada indikasi (misalnya setelah serangan atau ragu dengan kepatuhan minum OAE dari pasien)
- Vitamin K 10 mg/hari dalam bulan terakhir kehamilan pada pasien yang menggunakan antiepilepsi yang menginduksi enzim.
- ASI tetap diberikan
- Diperhatikan apakah ada kesulitan minum dan efek sedasi pada bayi
- Dipantau kadar antiepilepsi sampai minggu ke 8 postpartum. Bila dosis OAE dinaikkan selama kehamilan, turunkan kembali ke kadar dosis sebelum kehamilan untuk menghindari toksisitas
KESIMPULAN
- Perlu diingat, 90 % wanita dengan epilepsy melahirkan bayi normal dan sehat.\
- Estimasi tepat dari risiko individu dan efek genetik serta lingkungan belum sepenuhnya diketahui
- Optimalisasi farmakoterapi sebelum kehamilan adalah salah satu cara untuk meminimalkan kejadian malformasi dengan cara konseling sebelum hamil termasuk diskusi tentang pemberian asam folat saat prekonsepsi dan gestasi, serta genetik konseling bila memungkinkan
- Beberapa OAE dapat mengurangi level asam folat, oleh karena itu dianjurkan pemberian asam folat minimum 3 bulan sebelum kehamilan sam semester pertama. Dosis optimum asam folat belum diketahui pasti, akan tetapi rekomendasi dari hasil penelitian adalah 1-4 mg/hari, ada yang menganjurkan 0,4-4 mg/hr
- Monoterapi OAE dengan pilihan jenis obat yang berefek samping terkecil, dan dosis terapeutik seminimal mungkin yang sudah cukup untuk mengontrol serangan, adalah anjuran yang tepat bagi wanita hamil dengan epilepsi, misalnya Oxcarbasepine, Karbamasepin
- Masih perlu studi lanjutan untuk menjawab pertanyaan yang belum jelas
Kepustakaan