PASCA IMUNISASI
PENDAHULUAN
Pemberian imunisasi aktif dan pasif bisa diberikan secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. Contoh pemberian bersama-sama adalah pada kasus infeksi tetanus. Pemberian serum antitetanus diperlukan agar tubuh dapat segera melawan bibit penyakit, tapi vaksin antitetanus juga harus diberikan agar tubuh dapat membentuk sendiri sistem pertahanan tubuh terhadap tetanus. Pada saat daya kerja serum antitetanus telah habis, sistem kekebalan tubuh penderita telah siap menggantikannya
Ada berbagai ragam jenis imunisasi yang dapat diberikan. Tidak semua orang memerlukan pemberian imunisasi tersebut. Faktor epidemiologi harus dipertimbangkan untuk menentukan imunisasi apa yang harus diberikan pada seseorang. Jenis-jenis imunisasi itu antara lain: BCG, DPT, Polio, Campak , Hepatitis B, DT, Tetanus, Hemophylus influensa B, MMR, dan Tifoid
Mendapatkan imunisasi bukan jaminan terhindar dari penyakit. Walau demikian, biasanya penyakit yang diderita menjadi lebih ringan dan cepat membaik. Yang paling penting, ancaman terhadap jiwa jauh berkurang. Kebanyakan orangtua merasa khawatir terhadap berbagai gejala klinis yang muncul, misalnya demam, setelah anak mendapat vaksinasi. Kekhawatiran ini membuat sebagian dari mereka memutuskan untuk tidak memberikan imunisasi kepada si buah hati tercinta. Bila Anda kebetulan berpikir demikian, ingatlah bahwa keputusan tersebut bisa menghadapkan anak pada bahaya yang jauh lebih besar di kemudian hari. Bila ingin memberikan imunisasi kepada si buah hati, jangan lupa mengingat waktu pemberian yang tepat. Bila Anda rajin memeriksakan si buah hati, dokter biasanya akan mengingatkan waktu pemberian imunisasi yang akan datang.
KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI (KIPI)
Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI=adverse events associated with vaccines,adverse events following immunization) didefinisikan sebagai semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse effects), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologis, efek samping (side effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin.
Faktor penyebab
- Pokja KIPI Depkes RI membagi penyebab kejadian ikutan pasca imunisasi menjadi 4 kelompok, yaitu karena kesalahan program/teknik pelaksanaan imunisasi, induksi vaksin, faktor kebetulan, dan penyebab tidak atau belum diketahui.
Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka KN PP KIPI memakai kriteria WHO Western Pasific untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu :
- Kesalahan program
- Reaksi suntikan
- Reaksi vaksin
- Koinsiden, dan
- Sebab tidak diketahui
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut misalnya dapat terjadi pada :
- Dosis antigen (terlalu banyak)
- Lokasi dan cara menyuntik
- Sterilisasi semprit dan jarum suntik
- Jarum bekas pakai
- Tindakan a dan antiseptik
- Kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
- Penyimpanan vaksin
- Pemakaian sisa vaksin
- Jenis dan jumlah pelarut vaksin
- Tidak memperhatikan petunjuk prosedur (petunjuk pemakaian, indikasi kontra)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin, dan secara klinis biasanya ringan.Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengna baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus,atau berbagai tindakan dan perhatian lainya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi. Sbagai acuan dan perbandingan dapat dipakai rekomendasi dari Advisory Committee on Immunization Practices dan Committee on Infectious Disease of the American Academy of Pediatrics.
Faktor kebetulan (coincidental)
Seperti telah disebutkan di atas, maka kejadian yang timbul ini terjadi secra kebetulan saja setelah imunisasi. Indikator kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa yangtidak mendapat imunisasi pada saat bersamaan.
Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokan ke dalam salah satu penyebab lain maka untuk sementara dimasukkan ke dalam kelompok ini. Tetapi biasannya dengan kelengkapan informasi lebih lanjut maka akan dapat ditentukan masih dalam kelompok mana yang sesuai.
Pemberian Parasetamol sebelum dan sesudah imunisasi
- Kepada orangtua atau pengantar diberitahukan bahwa 30 menit sebelum imunisasi DPT/DT. MMR, Hib, hepatitis B dianjurkan memberikan parasetamol 15 mg/kgbb kepada bayi/anak untuk mengurangi ketidaknyamanan pasca vaksinasi. Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam sesuai kebutuhan, maksimal 6 kali dalam 24 jam. Jika keluhan masih berlanjut, diminta segera kembali kepada dokter.
Reaksi KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)
Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi dapat timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan atau reaksi umum berupa keluhan dan gejala tertentu, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan akan hilang dalam 1-2 hari. Di tempat suntikan kadang- kadang timbul kemerahan, pembengkakan, gatal, nyeri selama 1-2 hari. Kompres hangat dapat mengurangi kedaan tersebut. Kadang-kadang teraba benjolan kecil yang agak keras selama beberapa minggu atau lebih, tetapi umumnya tidak perlu dilakukan tindakan apapun.
- BCG
- Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa 2 minggu setelah imunisasi BCG dapat timbul bisul kecil ( papula ) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi dalam waktu 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut tanpa pengobatan khusus. Bila ulkus mengeluarkan cairan orangtua dapat mengompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau koreng semakin membesar orangtua harus membawanya ke dokter.
- Hepatitis B
- Kejadian ikutan pasca imunisasi hepatitis B jarang terjadi. Segera setelah imunisasi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan nyeri sendi. Orangtua atau pengasuh dianjurkan untuk memberi minum lebih banyak ( ASI atau air buah ), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin. Jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi tersebut menjadi berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter.
- DPT
- Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain demam tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan terjadi dalamn 2 hari.
- DT
- Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi DT antara lain kemerahan, pembengkakan dan nyeri pada bekas suntikan. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres dengan air dingin. Biasanya tidak perlu tindakan khusus.
- Polio Oral
- Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi polio, oleh karena itu orangtua/pengasuh tidak perlu melakukan tindakan apapun.
- Campak dan MMR
- Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 5-12 hari setelah penyuntikan selama kurang dari 48 jam yaitu demam tidak tinggi, erupsi kulit kemerahan halus/tipis yang tidak menular, pilek. Pembengkakan kelenjar getah bening kepala dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR.
Klasifikasi
Tuntutan keamanan vaksin dan faktor risiko yang tetap ada dapat menimbulkan keengganan yang potensial dapat mengancam kegagalan program imunisasi. Karena ini perlu suatu usaha perlindungan, antara lain dengan berbagai upaya peningkatan keamanan pembuatan, penyediaan, dan distribui vaksin, serta peningkatan kualitas program dari teknik pelaksanaan imunisasi. Beberapa produsen vaksin misalnya telah melakukan perbaikan antigenisitas dan purifikasi vaksin meminimalkar, benda asing dalam vaksin untuk mengurangi kemungkinan reaksi simpang.
Dari pengalaman di USA terlihat bahwa walaupun vaksin yang beredar terbukti aman dan efektif ternyata tetap saja dapat timbul reaksi simpang yang menimbulkan reaksi masyarakat serta tuntutan ganti rugi. Reaksi simpang tersebut dapat berupa gejala minimal yang tidak memerlukan tindakan sampai dengan kelainan berat yang bahkan dapat menyebabkan kematian.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa vaksin hidup lebih potensial menimbulkan efek berbahaya dibandingkan dengan bukan vaksin hidup. Risiko berbahaya tersebut terutama dapat terjadi pada individui dengan defisiensi imun atau bayi dalam kandungan,dan bahkan dapat terjadi pada orang sehat. Selain karena organismenya sendiri, vaksin hidup dapat mengandung kontaminan yang sulit terdeteksi.
Deteksi dan Pelaporan KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)
Kejadian ikutan pasca imunisasi adalah insiden medik yang terjadi setelah imunisasi dan dianggap disebabkan oleh imunisasi. KIPI menetapkan semua kejadian penyakit atau kematian dalam kurun waktu 1 bulan setelah imunisasi. Meskipun masyarakat seringkali beranggapan bahwa insiden medik setelah imunisasi selalu disebabkan oleh imunisasi, insiden umumnya terjadi secara kebetulan. Sebagian yang beranggapan bahwa vaksin sebagai penyebab KIPI juga keliru. Penyebab sebenarnya adalah kesalahan program yang sebetulnya dapat dicegah. Untuk menemukan penyebab KIPI kejadian tersebut harus dideteksi dan dilaporkan.
KIPI yang harus dilaporkan
Semua kejadian yang berhubungan dengan imunisasi seperti,
- Abses pada tempat suntikan
- Semua kasus limfadenitis BCG
- Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi.
- Semua kasus rawat inap, yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi.
- Insiden medik berat atau tidak lazim yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi.
Lima kategori KIPI di atas kadang disebut sebagai pencetus kejadian oleh karena adanya reaksi tersebut merangsang atau mencetuskan respons.
Data yang harus dilaporkan
- Data pasien
- Riwayat perjalanan penyakit
- Riwayat penyakit sebelumnya
- Riwayat imunisasi
- Pemeriksaan penunjang yang berhubungan
- Data pemberian vaksin
- Nomor lot
- Masa kadaluarsa
- Pabrik pembuat vaksin
- Kapan dan dari mana vaksin dikirim
- Pemeriksaan penunjang tentang vaksin, apabila ada atau berhubungan
- Data yang berhubungan dengan program
- Perlakuan umum petugas kesehatan terhadap rantai dingin vaksin seperti:
- Penyimpanan vaksin, apakah memebeku atau kadarluwarsa?
- Perlakuan terhadap vaksin, apakah dikocok lebih dahulu?
- Perlakuan setelah vaksinasi, misalnya apakah vaksin dibuang setelah selesai pelaksanan imunisasi?
- Perlakuan mencampur serta melakukan imunisasi
- Apakah pelarut yang dipakai sudah benar?
- Apakah pelarut steril?
- Apakah dosis sudah benar?
- Apakah vaksin diberikan dengan cara dan tempat yang benar?
- Ketersediaan jarum dan semprit
- Apakah setiap semprit steril digunakan oleh satu orang?
- Perlakuan sterilasi peralatan apakah telah dilakukan?
- Data sasaran lain
- Jumlah pasien yang menerima imunisasi dengan vaksin nomor lot sama atau pada masa yang sama atau keduanya, dan berapa pasien yang sakit serta gejalanya.
- Jumlah sasaran yang diimunisasi dengan lot lain atau masyarakat yang tidak diimunisasi tetapi penyakit dengan gejala yang sama.
Bacaan selanjutnya
- Jadwal pemberian imunisasi
|
Bacaan sebelumnya
- Imunisasi dan vaksinasi sebagai upaya pencegahan primer
- Tata cara pemberian imunisasi
|