Epilepsi Post Trauma Kapitis
I. PENDAHULUAN
Epilepsi post trauma merupakan teka-teki yang masih dilingkupi misteri. Epilepsi post traumatik atau Post Traumatic Epilepsy (PTE) adalah sindroma klinik dimana seseorang menderita bangkitan berulang setelah trauma/post traumatic seizures (PTS) akibat dari cedera otak traumatik /traumatic brain injury (TBI) atau kerusakan otak yang disebabkan trauma fisik.
Epilepsi post trauma merupakan kelainan kronik berulang, diduga penyebabnya adalah adanya trauma otak. Trauma ini dapat disebabkan oleh trauma kepala atau gejala sisa (sequele) dari operasi otak. Istilah epilepsi post trauma harus dibedakan dengan bangkitan post trauma, yaitu bangkitan yang merupakan sequele dari trauma otak. Jika bangkitan muncul dalam 24 jam setelah trauma, hal itu disebut bangkitan post trauma tipe segera. Bangkitan post trauma yang terjadi 1 minggu setelah trauma disebut bangkitan post trauma tipe awal. Sedangkan bangkitan yang terjadi lebih dari 1 minggu setelah cedera disebut bangkitan post trauma tipe lambat. Sekitar 20% orang yang pernah mengalami 1 kali bangkitan post trauma tipe lambat, selanjutnya tidak pernah mengalaminya lagi, maka ini tidak dapat disebut sebagai epilepsi post trauma. PTE kira-kira 5% dari semua kasus epilepsi dan lebih dari 20% dari kasus epilepsi simtomatik.
Trauma kepala, melalui mekanisme yang belum jelas, akan pemicu serangkaian proses yang menghasilkan epileptogenesis. Seseorang yang mengalami trauma kepala memiliki resiko 3 kali lipat lebih tinggi untuk terjadinya bangkitan epilepsi dibanding orang pada umumnya.
Seseorang yang mengalami bangkitan karena trauma (PTS) tidak selalu mengalami PTE, namun istilah PTS dan PTE dalam lateratur sering dapat digunakan bergantian. Tulisan kedokteran biasanya mengartikan PTE sebagai "satu atau lebih bangkitan tanpa provokasi (unprovoked) yang terjadi setelah trauma kepala". Tidak diketahui bagaimana memperkirakan siapa yang akan mengalami dan yang tidak akan mengalami epilepsi setelah TBI. Tulisan ini akan membahas berbagai aspek dari epilepsi post trauma, termasuk istilah yang tepat, epidemiologi dari gangguan ini, mekanisme pembentukan epileptogenesis, dan beberapa pertimbangan klinik
II. DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Dengan tujuan untuk mengerti epilepsi post trauma, berbagai bentuk trauma kapitis telah dijelaskan. Trauma kapitis tertutup adalah trauma yang tidak menembus tulang kepala. Trauma-trauma ini sering berakibat kehilangan kesadaran, meskipun sementara dan dapat dihubungkan dengan besarnya kerusakan dari otak tergantung beratnya trauma. Trauma kapitis terbuka adalah trauma dimana tulang kepala ditembus oleh sesuatu obyek, seperti yang terjadi pada luka tembak atau luka benda tajam. Dalam tipe trauma ini, pasien bisa tidak mengalami kehilangan kesadaran meskipun trauma yang berat atau bahkan fatal. Konkusio diartikan sebagai trauma akibat dari goncangan atau getaran yang keras dari otak disertai gangguan fungsional sesaat yang berhubungan (misalnya kehilangan kesadaran, kejang, amnesia, atau kehilangan kemampuan berpikir). Kontusio adalah memar pada jaringan otak dengan masih bertahankan struktur aslinya. Terdapat 2 bentuk kontusio: coup dan counter coup. Cedera Coup dimaksudkan pada trauma otak tepat di bawah dari tempat terjadinya benturan, sebaliknya trauma counter coup adalah trauma terjadi pada bagian distal dari tempat benturan. Hippocampus, tempat yang sangat epileptogenik, sering menjadi sasaran pada trauma counter coup.
Ada dua bentuk perdarahan intrakranial yang penting untuk membahas trauma kapitis yaitu hematom epidural dan subdural. Kedua bentuk perdarahan tersebut dapat terjadi bersamaan, hanya berbeda dimana tempat terjadinya. Hematom epidural merupakan perdarahan yang terjadi di atas lapisan duramater dan sering dihubungkan dengan fraktur pada tulang temporal atau parietal dan laserasi dari arteri atau vena meningea media. Pasien tetap sadar saat trauma tetapi secara bertahap mengalami gangguan neurologis yang akan meningkat secara bertahap sampai kehilangan kesadaran dalam beberapa jam atau hari sesudahnya sehingga dapat menimbulkan kematian jika dibiarkan. Hematom subdural merupakan perdarahan yang terjadi di bawah lapisan duramater. Darah cenderung berkumpul dengan cepat pada hematom epidural karena rupturnya arteri sementara hematom subdural dapat berkembang lebih lambat karena ruptur dari vena. Karena hal ini, pengamatan yang cermat setelah trauma kepala perlu dilakukan untuk mencegah pasien dari krisis neurologis setelah terlihat sembuh total. Manifestasi klinik dari kedua jenis trauma ini dapat saling tumpang tindih dan mengenali jenis trauma ini mungkin tidak dapat dilakukan hingga dilakukan CT-scan atau dilakukan operasi.
Setelah trauma kapitis, ada 2 kategori luas dari bangkitan berdasarkan waktu terjadinya : yang dapat terjadi awal atau lanjut. Bangkitan awal adalah bankitan akut yang terjadi sebagai akibat efek fisik dari trauma ( dalam satu atau dua minggu setelah cedera). Bangkitan lambat terjadi setelah pasien sembuh dari akibat trauma dan terjadi berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah trauma terjadi. Dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Serangan lanjut yang berulang yang diperkirakan sebagai epilepsi post trauma.
III. EPIDEMIOLOGI
Penelitian-penelitian menemukan bahwa insidensi PTE berkisar dalam rentang 1,9 sampai lebih dari 30% dari penderita TBI, dengan bervariasi berdasarkan beratnya trauma dan waktu dari terjadinya TBI. Dewasa muda, adalah kelompok risiko paling tinggi mengalami trauma kapitis, juga memiliki angka PTE yang lebih tinggi. Pada usia yang lebih tua juga mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menjadi epilepsi, 10% anak-anak dengan TBI berat dan 16-20%nya menjai PTE setelah dewasa. PTE lebih umum pada laki-laki dibanding wanita, dan puncak kejadiannya antara usia 15-24 tahun. Tidak jelas mengapa beberapa pasien mengalami PTE, sementara lainnya dengan trauma yang sama tidak. Insiden epilepsi pada populasi umum diperkirakan antara 0,5-2%, insidensi epilepsi post trauma untuk seluruh tipe trauma kapitis adalah 2-2,5% pada penduduk sipil. Insiden ini meningkat hingga 5% pada pasien bedah saraf. Jika hanya trauma kapitis berat (biasanya GCS kurang dari 9) yang diperhitungkan, insidennya adalah 10-15% pada dewasa dan 30-35% pada anak. Insiden bangkitan post trauma mencapai 50% pada anggota militer, studi ini termasuk pasien-pasien dengan trauma kapitis akibat trauma penetrasi. Insidensi epilepsi setelah trauma kapitis ringan tanpa komplikasi sama pada populasi militer dan populasi umum.
Jenis dan keparahan dari trauma kapitis juga memegang peranan dalam menentukan risiko menjadi epilepsi. Pada penelitian di Olmsted County, Minnesota, faktor risiko dari bangkitan lanjut (tunggal maupun berulang) adalah kontusio cerebri dengan hematom subdural, fraktur tulang kepala, kehilangan kesadaran, atau amnesia lebih dari satu. Penelitian trauma kapitis di Vietnam juga menemukan bahwa terdapat peningkatan resiko bangkitan jika terdapat pecahan logam yang bertahan di otak, ada hematom intracranial, atau pasien mengalami defisit neurologis menetap setelah trauma. Tingkat dari kehilangan jaringan otak sebagai akibat dari trauma juga secara positif berhubungan dengan kemungkinan terjadi epilepsi. Dilaporkan insidensi PTE bervariasi dari dibawah 5% untuk trauma kapitis secara umum sampai 25-30% untuk trauma kapitis tertutup yang berat dengan hematoma, dan lebih dari 50% pada korban perang yang selamat dari trauma luka tembak. Fraktur kompresi tulang kepala dan hematom intracranial juga berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadinya bangkitan lanjut. Risiko yang meningkat setelah hematom intrakranial merupakan hal yang perlu diperhatikan, karena adanya darah pada parenkim otak merupakan salah satu faktor yang sedang diteliti berhubungan dengan epilepsi post trauma.
IV. PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN KLINIS
Manifestasi klinik bangkitan post trauma bisa berupa apapun dari bangkitan parsial
sederhana maupun kompleks, termasuk bangkitan umum sekunder maupun bangkitan umum tonik-klonik, seringkali keduanya bersamaan. Kebanyakan bangkitan post trauma tipe awal adalah bangkitan parsial, sedangkan bangkitan post trauma tipe lambat lebih bervariasi, yang sering bangkitan umum, baik primer maupun sekunder. Tidak ada penemuan spesifik pada pemeriksaan fisik.
Pasien yang datang dengan trauma kapitis sedang dan berat harus dilakukan CT-scan segera, dan harus diulang jika keadaan pasien tidak ada perbaikan. Pemeriksaan imaging juga harus diulang pada cedera ringan dengan komplikasi adanya bangkitan atau perubahan status mental selama masa pemulihan. EEG hanya mempunyai peran terbatas dalam evaluasi pasien dengan bangkitan post trauma awal yang memperlihatkan perubahan perilaku yang berulang. Disini tidak berguna dalam memprediksi terjadinya PTE.
Bangkitan post trauma tipe awal lebih sering terjadi pada anak berumur kurang dari 5 tahun, pada pasien dengan defisit neurologis fokal, dan pada pasien dengan fraktur kepala linear dan impresi.
V. FAKTOR RISIKO EPILAPSI POST TRAUMA KAPITIS
Tidak jelas kenapa beberapa pasien mengalami PTE sementara yang lainnya tidak.
Genetik mungkin berperan dalam risiko seseorang mengalami PTE, orang-orang dengan alel ApoE-ε4 mungkin memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap PTE. Alel haptoglobin Hp2-2 dapat menjadi faktor risiko genetik lainnya, mungkin karena ikatanya pada hemoglobin yang rendah dan oleh karena itu dapat menyebabkan lebih banyak besi yang keluar dan merusak jaringan. Namun, sebagian besar penelitian menemukan bahwa memiliki anggota keluarga dengan epilepsi tidak meningkatkan secara bermakna risiko terjadinya PTS.
Semakin parah trauma kapitis, semakin besar kemungkinan seseorang mengalami PTE lanjut. Bukti-bukti menunjukkan bahwa trauma kapitis ringan tidak membuat peningkatan risiko terjadi PTE. Kira-kira setengah dari trauma saraf berat mengalami PTE. ¬Perkiraan lainnya menghitung risiko PTE 5% dari semua pasien TBI dan 15-20% untuk TBI berat. Salah satu penelitian menemukan bahwa resiko 30 tahun terjadinya PTE adalah 2,1% pada TBI ringan, 4,2% pada TBI sedang dan 16,7% pada TBI berat, seperti yang terlihat pada tabel.
Kira-kira 50% pasien dengan trauma kapitis tembus akan mengalami PTE, seperti yang banyak terjadi pada orang-orang militer ataupun akibat korban peperangan yang sering dihubungkan juga dengan luasnya lesi di otak. Hematom intracranial merupakan salah satu faktor risiko yang paling penting untuk PTE. Hematom subdural memiliki resiko yang lebih tinggi terjadinya PTE daripada hematom epidural, mungkin karena menyebabkan kerusakan yang lebih banyak pada jaringan otak. Sebagai tambahan, peluang terjadinya PTE berbeda-beda pada lokasi terjadinya lesi di otak, kontusi otak yang terjadi pada salah satu dari lobus parietalis memiliki risiko 19% dan pada lobus temporalis 16%. Bila kontusio terjadi bilateral (pada kedua sisi), resikonya 26% untuk lobus frontalis, 66% untuk parietal dan 31% untuk temporal.
Risiko seseorang mengalami PTE akan meningkat jika PTS terjadi, tetapi kejadian PTS tidak berarti kemudian epilepsi pasti akan terjadi. Namun, banyak faktor risiko untuk PTE dan PTS awal yang sama, sehingga tidak diketahui apakah PTS merupakan faktor risiko terhadap PTE. Seseorang yang memiliki bangkiatn tunggal lanjut mempunyai risiko yang lebih tinggi daripada orang-orang yang mengalami PTS awal.
Status epileptikus, bangkitan yang terus-menerus atau serangan multipel berturut-turut sering dihubungkan dengan terjadinya PTE, keadaan ini terjadi pada 6% dari semua TBI dan 42% pada PTE. Kecepatan dan ketepatan mengakhiri status epileptikus akan mengurangi kemungkinan terjadinya PTE.
Kerusakan pada jaringan setelah pembedahan dapat menyebabkan PTE. Pada pembedahan intrakranial berulang membuat risiko yang lebih tinggi pada PTE lanjut, hal ini mungkin karena pasien-pasien ini lebih memiliki faktor-faktor yang berhubungan dengan trauma otak yang berat, seperti hematom yang besar atau pembengkakan pada otak.
VI. PATOFISIOLOGI
Terdapat banyak teori yang telah dikembangkan untuk menjelaskan mekanisme yang melatarbelakangi penyebab serangan kronik setelah trauma kapitis. Diantaranya adalah pembentukan radikal bebas yang merusak parenkim otak, peningkatan pada aktifitas eksitasi setelah trauma, dan perubahan pada fungsi inhibisi dari otak. Berbagai bentuk penelitian pada hewan telah dikembangkan untuk menggali kemungkinan dari jenis trauma kapitis yang berbeda dari konkusio sampai trauma kapitis dengan luka tembus.
Karena darah pada parenkim otak dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya epilepsi, meskipun mekanisme dari teori ini masih digali. Hemoglobin diteliti sebagai bahan yang terlibat dalam epileptogenesis. Begitu terjadi perdarahan ke dalam jaringan otak, sel darah merah akan mengalami lisis dengan kemudian melepaskan hemoglobin yang akan dipecah menjadi hemin dan besi. Kedua bahan hasil pemecahan tersebut telah terbukti mempengaruhi fungsi fisiologis pada transmisi di sinaps yang dapat menyebabkan penbentukan serangan PTE. Darah yang berkumpul di otak setelah trauma dapat merusak jaringan otak dan berakibat timbulnya epilepsi. Produk hasil-hasil dari penguraian hemoglobin dari darah bersifat toksik terhadap jaringan otak. "The Iron Hypothesis" yang masih dipertahankan bahwa PTE akibat kerusakan oleh radikal bebas oksigen, dimana pembentukannya dikatalisis oleh besi dari darah. Percobaan pada hewan dengan menggunakan tikus menunjukkan bangkitan epileptik dapat dihasilkan dengan menyuntikkan besi ke dalam otak. Besi menyebabkan pembentukan radikal bebas hidroksil melalui reaksi Haber-Weiss. Radikal bebas merusak sel otak dengan melakukan peroksidase terhadap lapisan lipid di membran sel. Besi dari darah juga mengurangi aktifitas dari enzim yang disebut nitrit oxide synthase, sebagai faktor lainnya yang diduga berperan terhadap terjadinya PTE.
Seperti halnya bentuk epilepsi yang lain, bangkitan dapat umum atau parsial. Sesaat setelah trauma kapitis, bangkitan biasanya umum, sementara kejadian bangkitan parsial meningkat sejalan dengan berjalan waktunya setelah trauma. Onset dari PTE dapat terjadi dalam waktu singkat setelah cedera atau berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian setelah trauma kapitis. Untuk alasan yang masih belum diketahui, trauma kapitis dapat menyebabkan perubahan di otak yang menyebabkan timbulnya epilepsi. Ada beberapa mekanisme yang dikemukakan dengan cara bagaimana TBI dapat menyebabkan PTE, lebih dari satu mekanisme tersebut dapat terjadi pada satu pasien.
Kindling hipotesis menegaskan bahwa hubungan antar neuron-neuron yang baru dibentuk di otak dan menyebabkan peningkatan eksitabilitas. Sinaps ditata kembali di hipocampus. Penataan kembali dari jaringan saraf-saraf tsb dapat membuatnya lebih mudah dirangsang. Bangkitan yang terjadi sesaat setelah TBI dapat menyusun kembali jaringan saraf yang hal ini selanjutnya akan menimbulkan serangan-serangan kembali yang terjadi secara berulang dan spontan. Neuron-neuron yang dalam keadaan hipereksitabilitas karena trauma dapat membentuk fokus epilepsi di otak yang akan menimbulkan bangkitan dikemudian hari. Sebagai tambahan, neuron-neuron inhibisi kemungkinan akan menghilang.
Eksitotoksistas merupakan kemungkinan faktor lain dalam penyebab PTE. TBI menyebabkan jumlah neurotransmitter glutamat dan aspartat banyak dilepaskan, yang mungkin dihubungan dengan timbulnya bangkitan. Sebagai tambahan, pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti GABA dapat berkurang. Overaktivasi dari reseptor biokimiawi dan respon terhadap neurotransmitter eksitasi seperti glutamat menyebabkan pembentukan radikal bebas dan hal ini menyebabkan eksitotoksisitas. Sel otak menjadi rusak karena eksitasi berlebihan dari reseptor untuk asam amino eksitatorik pada membran neuron. Kalsium diduga sebagai ion utama yang terlibat dalam eksitotoksisitas. Reseptor eksitatorik glutamat penting untuk masuknya ion kalsium kedalam sel yang dapat menimbulkan kematian sel, dan dapat menimbulkan efek permanen pada sel sebagai fokus epileptogenik yang kronik akan mengikuti eksitotoksisitas karena pelepasan neurotransmitter eksitasi yang berlebihan saat terjadi bangkitan. Glutamat menyebar luas di otak seperti halnya cairan ektrasel, neurotransmitter ini terlibat dalam banyak fungsi. Glutamat dalam jumlah besar memiliki efek eksitotoksik terhadap otak, pada saat yang bersamaan, glutamat juga berperan sebagai prekursor dari neurotransmitter inhibisi GABA (γ-aminobutirit acid), sehingga efeknya pada patogenesis epilepsi mungkin lebih rumit.
Teori lain menyatakan adanya perubahan pada otak setelah trauma kepala, menyebabkan hilangnya fungsi neurotrasmiter inhibisi GABA yang penting untuk mencegah aktifitas kejang. Teori lain menyatakan fungsi neurotrasmiter inhibisi bukan menghilang, akan tetapi hanya berkurang dengan akibat yang serupa. Aktivitas GABAergik merupakan neurotransmiter inhibisi utama pada fungsi otak normal.
Bidang lainnya yang sedang diteliti adalah peran dari inhibisi dalam proses epileptogenesis dan bagimana trauma dapat mengganggu sistem tersebut dan menyebabkan aktifitas serangan muncul.
Reaksi dari otak terhadap trauma kelihatannya bermacam-macam dan agak rumit, dengan menggunakan binatang uji coba terbentuknya epileptogenesis hanya akan dapat diterapkan sebagian saja pada manusia karena berbagai gangguan multipel meskipun kecil dapat muncul dari trauma otak. Paling sering, kombinasi dari berbagai faktor mendasari pembentukan aktifitas bangkitan. Satu penelitian yang menarik (meskipun sangat kontroversial) yang diterbitkan akhir-akhir ini menemukan bahwa pencegahan bangkitan dengan fenobarbital dapat menunda perbaikan fungsi setelah adanya trauma pada otak tikus (Montanez et al., 2000). Hal ini menunjukkan bahwa adanya bangkitan itu sendiri mungkin merupakan suatu mekanisme perlindungan otak dari trauma dan merupakan mekanisme pemulihan. Dengan demikian, ada anggapan bahwa terapi pencegahan bangkitan yang diberikan saat segera setelah cedera kepala (atau profilaksis) dapat memberikan hasil yang lebih merugikan daripada menguntungkan.
VII. PENATALAKSANAAN
Pasien yang dengan trauma kapitis baik yang ringan atau berat harus dilakukan CT –scan sesegera mungkin dan perlu diulang jika keadaan pasien tidak bertambah baik. Pencitraan juga harus diulang pada kasus trauma kapitis ringan yang disertai kejang atau hal-hal yang tidak terduga (misalnya perubahan akut gangguan perilaku/mental) selama masa penyembuhan pasien. EEG (elektroencephalogram) hanya memiliki peran yang terbatas dalam evaluasi pasien dengan PTE yang mengalami perubahan tingkah laku yang berulang, demikian juga EEG tidak berguna dalam memprediksi perkembangan PTE.
Pada pasien dengan trauma kapitis berat, terapi standar penggunaan fenitoin untuk profilaksis terhadap kejang dalam penatalaksanaan akut dari pasien. Jika serangan tidak terjadi, disarankan untuk menghentikan pengobatan setelah 1-2 minggu (Langendorf dan Pedley, 1997). Akan tetapi berdasarkan studi terbaru menunjukkan bahwa pencegahan awal terhadap kejang setelah trauma kapitis dapat mengakibatkan penyembuhan yang tertunda, hal ini perlu pengamatan yang sangat cermat untuk aplikasi klinis selanjutnya. Pengobatan awal dengan fenitoin belum terbukti mengurangi insidensi serangan lanjut, yang mengindikasikan bahwa obat ini tidak memiliki efek pada pembentukan PTE. Sehingga saat ini banyak diterapkan dalam praktek adalah menyediakan terapi awal selama beberapa minggu pada pasien dengan trauma kapitis sedang hingga trauma berat untuk mencegah kejang post trauma awal yang dapat sebagai komplikasi akut dari pasien tetapi tidak dapat digunakan untuk pencegahan jangka panjang.
Pada orang-orang dengan bangkitan tunggal tanpa diketahui penyebabnya, keputusan akan dimulai atau tidak pemberian obat anti epilepsi tergantung pada resiko dari seseorang tersebut untuk mengalami bangkitan selanjutnya. Sementara bangkitan awal pertama tidak berhubungan dengan bangkitan berulang selanjutnya. Bangkitan lanjut tunggal memiliki 65-90% kemungkinan berkembang menjadi bangkitan berulang. Karena risiko ini, pengobatan jangka panjang disarankan pada pasien yang mengalami bangkitan lanjut tunggal. Fenitoin merupakan obat pilihan dalam mengobati dan mencegah bangkitan awal dan lanjut sementara carbamazepine dan valproate juga terbukti berguna dalam pengobatan bangkitan lanjut.
Orang-orang dengan PTE dapat diberi obat antiepilepsi (OAE) untuk mencegah bangkitan lebih lanjut. Akan tetapi, meskipun OAE dapat mencegah bangkitan selama dikonsumsi, ternyata OAE tersebut tidak mengurangi terjadinya bangkitan setelah dihentikan. Pasien biasanya resisten terhadap terapi obat-obatan.
Obat antiepilepsi dapat menghilangkan bangkitan pada kira-kira 35% orang dengan PTE, sisanya PTE yang tidak respon terhadap pengobatan dapat dilakukan terapi pembedahan untuk menghilangkan fokus epileptogenik di otak, meskipun hal ini lebih sulit dari pada menghilangkan fokus epilepsi karena sebab lainnya. Pembedahan sepertinya kurang berguna pada PTE daripada epilepsi bentuk lainnya karena fokus epiletogenik kurang terlokalisir. Namun, pada orang-orang dengan sklerosis mesial temporal, yang dapat dijumpai pada kira-kira sepertiga dari orang dengan PTE yang sulit diatasi dengan OAE, pembedahan sepertinya akan memiliki hasil yang baik.
Secara garis besar penatalaksanaan pasien dengan epilepsi post trauma yaitu:
- Bila terjadi kejang pada pasient setelah trauma kepala yang baru terjadi, perlu ditentukan adanya perdarahan intrakranial atau adanya perubahan gangguan metabolik lain yang dapat menimbulkan kejang (mis. hiponatremia).
- Pada pasien dengan kondiosi stabil dan tidak ditemukan gangguan metabolik lain (elektrolit serumnya dalam batas normal) dan status neurologis sama dengan sebelum kejang, pemeriksaan laboratorium lebih lanjut tidak dibutuhkan.
- Perlu diperhatikan apakah terjadi bangkitan epileptik pertama setelah trauma kepala atau kemungkinan bangkitan susulan selanjutnya.
- Lakukan MRI otak pada semua pasien dengan kejang post trauma.
- Jika MRI tidak tersedia, CT scan kepala dapat menggantikan. CT kurang sensitif dibanding MRI, tapi dapat digunakan untuk melihat adanya perdarahan intrakranial yang membutuhkan intervensi segera.
- EEG berguna terutama untuk menentukan lokasi fokus epilepsi dan untuk membantu menentukan prognosis.
- EEG tidak berguna dalam memprediksi kemungkinan bangkiatn post trauma, namun, dapat membantu dalam prediksi kemungkinan kambuh sebelum penghentian OAE.
VIII. PROGNOSIS
Prognosis dari PTE lebih buruk bila dibandingkan dengan jenis epilepsi lain yang tidak diketahui sebabnya. Dalam satu studi ditemukan bahwa seseorang yang mengalami trauma otak dengan PTE membutuhkan waktu pemulihan lebih lama, mengalami lebih banyak problem-problem kognitif, kendala motorik dan aktivitas harian dibangdingkan orang dengan trauma yang sama tanpa PTE. Temuan ini menegaskan bahwa PTE merupakan indikator dari trauma otak yang lebih berat, daripada sebagai komplikasi yang memperburuk keluaran. Penelitian lainnya menemukan bahwa PTE berhubungan dengan keluaran sosial dan fungsional yang lebih buruk tetapi tidak memperburuk rehabilitasi pasien atau kembalinya ke pekerjaan. Meskipun orang dengan PTE dapat kesulitan mendapat pekerjaan jika mereka mengakui memiliki kejang, terutama melibatkan pekerjaan pengoperasian mesin-mesin berat.
Kira-kira setengah dari kasus PTE mengalami remisi. Semakin lama seseorang tidak mengalami bangkitan, semakin rendah peluang epilepsi terjadi. Namun, kasus-kasus PTE yang onsetnya lama setelah trauma akan memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami remisi. Pertanyaan yang muncul, berapa lama seseorang dengan PTE masih mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami kejang dibandingkan populasi umum lainnya masih kontroversial. Sebagian besar penderita PTE memiliki serangan pertama dalam 2 tahun setelah TBI, angkanya dapat mencapai 80-90% atau lebih. Orang-orang tanpa serangan dalam 3 tahun setelah trauma memiliki kemungkinan hanya 5% untuk mengalami epilepsi. Salah satu penelitian menemukan bahwa orang yang bertahan dari trauma kepala mengalami peningkatan resiko terjadinya PTE hingga 10 tahun setelah TBI sedang dan lebih dari 20 tahun setelah TBI berat.
DAFTAR PUSTAKA