HIPERSEKRESI KELENJAR KORTEKS ADRENAL
PENDAHULUAN
Pada posting kali ini akan menitikberatkan pada tiga keadaan klinis adrenokortikal: sindrom Cushing, aldosteronisme dan kelebihan androgen. Selain itu, feokromasitoma, yaitu tumor langka penghasil katekolamin pada medula adrenal juga dibicarakan.
Bagian pertama akan dipusatkan pada keadaan kadar kortison plasma yang meningkat melampaui kadar fisiologik dan menimbulkan sindrom Cushing. Sebab-sebab peninggian kortisol plasma abnormal yang terjadi secara spontan juga akan dibicarakan. Bagian kedua akan mendiskusikan tentang hormon lain korteks adrenal yaitu aldosteron, dan keadaan yang dikenal sebagai aldosteronisme. Bagian ketiga akan membicarakan tentang patofisiologi dan manifestasi klinis kelebihan androgen. Bab ini juga akan mencakup beberapa aspek farmakologi dari kortikosteroid sintetik dan efek sampingnya pada pemberian secara kronik. Kesimpulannya adalah bahwa pembicaraan tentang feokromasitoma ini penting karena dapat menyebabkan hipertensi yang biasanya dapat dikoreksi bila diagnosis dan pengobatannya dilakukan secara tepat.
Korteks adrenal menyintesis dan menyekresi empat jenis hormon adrenokortikal yaitu
- Glukokortikoid
- Mineralokortikoid
- Androgen, dan
- Estrogen.
Sindrom Cushing adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh efek metabolik gabungan dari peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap. Kadar yang tinggi ini dapat terjadi secara spontan atau karena pemberian dosis farmakologik senyawa-senyawa glukokortikoid. Untuk lebih memahami manifestasi klinis sindrom Cushing, perlu mulai membahas akibat-akibat metabolik dari kelebihan glukokortikoid.
EFFK METABOLIK GLUKOKORTIKOID
Kelebihan glukokortikoid menyebabkan perubahan pada keadaan berikut ini:
- Metabolisme protein dan karbohidrat
- Distribusi jaringan adiposa
- Elektrolit
- Sistem kekebalan
- Sekresi lambung
- Fungsi otak
- Eritropoiesis
Secara klinis kulit mengalami atrofi dan mudah rusak; luka-luka sembuh dengan lambat. Ruptur serabut-serabut elastis pada kulit menyebabkan tanda regang berwama ungu, atau striae (Gbr. 1). Otot-otot juga mengalami atrofi dan menjadi lemah. Penipisan dinding pembuluh darah dan melemahnya jaringan penyokong perivaskular menyebabkan mudah timbul luka memar (Gbr. 2). Keadaan ini dapat cukup parah sehingga menimbulkan petekie atau ekimosis yang luas pada lengan atas bila pasien diukur tekanan darahnya.
|
Tulang juga terpengaruh. Matriks protein tulang menjadi hilang dan menyebabkan keadaan osteoporosis. Keadaan ini mungkin merupakan komplikasi serius dari kelebihan glukokortikoid karena menyebabkan tulang menjadi rapuh dan terjadinya fraktur patologis. Osteoporosis paling sering terjadi pada tulang belakang dan menyebabkan kolaps vertebra disertai nyeri punggung dan pengurangan tinggi badan.
Metabolisme karbohidrat juga dipengaruhi oleh kenaikan kadar glukokortikoid yang tinggl. Glukokortikoid merangsang glukoneogenesis dan mengganggu kerja insulin pada sel-sel perifer. Sebagai akibalnya, penderita dapat mengalami hiperglikemia. Pada seorang dengan kapasitas produksi insulin yang normal, efek glukokortikoid akan dilawan dengan meningkatkan sekresi insulin, sehingga menormalkan toleransi glukosa. Sebaliknya, penderita dengan kemampuan sekresi insulin yang menurun tidak mampu mengompensasi keadaan tersebut, dan mereka mengalami respons abnormal terhadap uji toleransi glukosa, hiperglikemia puasa, dan manifestasi klinis diabetes melitus.
Kadar glukokortikoid yang berlebihan juga mempengaruhi distribusi jaringan adiposa yang terkumpul di daerah sentral tubuh dan menyebabkan obesitas,, wajah bulan (moon face), memadatnya fosa supraklavikularis, dan tonjolan servikodorsal (punuk kerbau). Obesitas trunkus dengan ekstremitas atas dan bawah yang kurus akibat atrofi otot memberi penampilan klasik berupa penampilan cushingoid.
Glukokortikoid mempunyai efek minimal pada kadar elektrolit serum. Akan tetapi, kalau diberikan atau dihasilkan dalam kadar yang terlalu besar, dapat menyebabkan retensi natrium dan pembuangan kalium, mengakibatkan edema, hipokalemia, dan alkalosis metabolik.
Glukokortikoid dapat menghambat respon kekebalan. Ada 2 tipe utama respons kekebalan yaitu yang pertama menyebabkan pembentukan antibodi humoral oleh sel-sel plasma dan limfosit B akibat rangsangan antigen; yang lainnya bergantung pada reaksi-reaksi yang diperantarai oleh limfosit T yang tersensitisasi. Glukokortikoid mengganggu pembentukan antibodi humoral dan menghambat proliferasi pusat-pusat germinal limpa dan jaringan limfoid pada respons primer terhadap antigen. Gangguan respons imunologik dapat terjadi pada setiap tingkatan berikut ini: (1) pemrosesan awal antigen oleh sel-sel sistem monosit makrofag, (2) induksi dan proliferasi limfosit immunokompeten serta pelepasan sitokin, (3) produksi antibodi, dan (4) reaksi peradangan. Glukokortikoid juga menekan reaksi hipersensitivitas lambat. Misalnya, glukokortikoid dapat mengubah tes kulit tuberkulosis dari positif menjadi
negatif. Selain itu, hambatan terhadap kekebalan selular yang diperantarai glukokortikoid mungkin penting dalam menekan penolakan cangkokan.
Aktivitas sekresi lambung ditingkatkan oleh glukokortikoid. Sekresi asam hidroklorida dan pepsin dapat meningkat pada individu tertentu yang mendapat glukokortikoid. Juga diduga bahwa faktor-faktor protektif mukosa diubah oleh steroid dan faktor-faktor ini dapat mempermudah pembentukan ulkus.
Perubahan psikologik juga sering dijumpai pada pasien dengan kelebihan glukokortikoid, yang ditandai oleh ketidakstabilan emosi, euforia, insomnia, dan episode depresi singkat. Manifestasi neuropsikiatri dari kelebihan glukokortikoid terlihat pada pasien-pasien dengan sindrom Cushing spontan dan pada mereka yang mendapat glukokortikoid dosis farmakologik. Perubahan-perubahan ini akan kembali normal bila kadar kortisol kembali normal.
Glukokortikoid menyebabkan involusi jaringan limfosit, merangsang pelepasan neutrofil dan peningkatan eritropoiesis.
Efek farmakologik glukokortikoid yang paling penting dan bermanfaat secara klinis adalah kemampuannya menekan reaksi peradangan. Banyak penelitian in vivo dan in vitro memperlihatkan bahwa glukokortikoid dapat menghambat hiperemia, ekstravasasi sel, migrasi sel, dan permeabilitas kapiler. Glukokortikoid juga menghambat pelepasan kinin yang bersifat vasoaktif dan menekan fagositosis. Glukokortikoid menghambat sintesis histamin dan menekan reaksi anafilaktik akut yang didasarkan pada hipersensitivitas disebabkan oleh antibodi. Sifat antiinflamasi glukokortikoid telah menempatkan glukokortikoid dalam barisan terdepan agen terapeutik yang tersedia untuk pengobatan berbagai gangguan, seperti penyakit vaskular kolagen, yaitu penyakit yang sangat memerlukan penekan peradangan. Akan tetapi, terdapat suatu keadaan klinis ketika penekanan kekebalan dan efek antiinflamasi glukokortikoid merugikan penderita. Pada infeksi akut, tubuh mungkin tidak mampu melindungi diri sebagaimana layaknya seperti bila menerima dosis farmakologik glukokortikoid.
Penekanan pada Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal
Pemberian glukokortikoid dalam dosis yang melebihi kadar fisiologik dalam waktu lebih dari 3 minggu dapat dengan nyata menekan kemampuan aksis hipotalamus-hipofisis untuk melepaskan CRH dan ACTH. Oleh karena itu, pemberian kortikoid jangka panjang dapat mengakibatkan insufisiensi adrenal(1) bila steroid dihentikan dan (2) pada respons terhadap stres.
SINDROM CUSHING
Sindrom Cushing dapat disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik (iatrogen) atau oleh sekresi kortisol yang berlebihan akibat gangguan aksis hipotalamus-hipofisis- adrenal (spontan).
Sindrom Cushing iatrogenik dijumpai pada penderita artritis reumatoid, asma, limfoma dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen antiinflamasi. Pada sindrom Cushing spontan, hiperfungsi korteks adrenal terjadi sebagai akibat rangsangan berlebihan oleh ACTH atau sebagai akibat patologi adrenal yang mengakibatkan produksi kortisol abnormal.
Sindrom Cushing dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu (1) dependen ACTH dan (2) independen ACTH (Gbr.3). Di antara jenis dependen ACTH, hiperfungsi korteks adrenal mungkin disebabkan oleh sekresi ACTH kelenjar hipofisis yang abnormal dan berlebihan (Gbr.4). Karena tipe ini mula-mula dijelaskan oleh Harvey Cushing pada tahun 1932, maka keadaan ini juga disebut sebagai penyakit Cushing.
Pada 80% pasien ini ditemukan adenoma hipofisis yang menyekresi ACTH. Pada 20% sisanya terdapat bukti-bukti histologi hiperplasia hipofisis kortikotrop. Masih tidak jelas apakah hiperplasia timbul akibat gangguan pelepasan CRH oleh neurohipotalamus. Pada kasus lain didapatkan kelebihan sekresi ACTH, hilangnya irama sirkadian normal ACTH, dan berkurangnya sensitivitas sistem kontrol umpan balik ke tingkat kortisol dalam darah.
ACTH juga dapat disekresi berlebihan pada pasien-pasien dengan neoplasma yang memiliki kapasitas untuk menyintesis dan melepaskan peptida mirip ACTH baik secara kimia maupun secara fisiologik. ACTH berlebihan yang dihasilkan dalam keadaan ini menyebabkan rangsangan yang berlebihan terhadap sekresi kortisol oleh korteks adrenal, dan disebabkan oleh penekanan pelepasan ACTH hipofisis. Jadi, kadar ACTH yang tinggi pada penderita ini berasal dari neoplasma dan bukan dari kelenjar hipofisisnya. Sejumlah besar neoplasma dapat menyebabkan sekresi ektopik ACTH. Neoplasma-neoplasma ini biasanya berkembang dari jaringan-jaringan yang berasal dari lapisan neuroektodermal selama perkembangan embrional. Karsinoma sel oat paru, karsinoid bronkus, timoma, dan tumor sel-sel pulau di pankreas, merupakan contoh-contoh yang paling sering ditemukan. Beberapa tumor ini mampu menyekresi CRH ektopik. Pada keadaan ini, CRH ektopik merangsang sekresi ACTH hipofisis, yang menyebabkan terjadinya sekresi kortisol secara berlebihan oleh korteks adrenal.
Jenis sindrom Cushing yang disebabkan oleh sekresi ACTH yang berlebihan hipofisis atau ektopik seringkali disertai hiperpigmentasi. Hiperpigmentasi ini disebabkan oleh sekresi peptida yang berhubungan dengan ACTH dan kerusakan bagian-bagian ACTH yang memiliki aktivitas melanotropik. Pigmentasi terdapat pada kulit dan selaput lendir.
Hiperfungsi korteks adrenal dapat terjadi tanpa bergantung pada kontrol ACTH seperti pada tumor atau hiperplasia korteks adrenal nodular bilateral dengan kemampuannya untuk menyekresi kortisol secara autonomi dalam korteks adrenal. Tumor korteks adrenal yang akhirnya menjadi sindrom Cushing dapat jinak. (adenoma) atau ganas (karsinoma). Adenoma korteks adrenal dapat menyebabkan sindrom Cushing berat, namun biasanya berkembang secara lambat, dan gejala dapat timbul bertahun-tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Sebaliknya, karsinoma adrenokortikal berkembang secara cepat dan dapat menyebabkan metastasis serta kematian.
Adanya sindrom Cushing dapat ditentukan berdasarkan riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik yang telah dijelaskan di atas. Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan kadar kortisol yang abnormal dalam plasma dan urine. Tes-tes spesifik dapat menentukan ada tidaknya irama sirkadian normal pelepasan kortisol dan mekanisme pengaturan umpan balik yang sensitif. Tidak adanya irama sirkadian dan berkurang atau hilangnya kepekaan sistem pengaturan umpan balik merupakan ciri sindrom Cushing.
Beberapa tindakan diagnostik dapat digunakan untuk menentukan sifat patologi dasar sindrom Cushing dan membantu menentukan lesi yang mungkin dapat ditanggulangi dengan operasi. Penderita sindrom Cushing dengan dependen ACTH memiliki kadar ACTH yang tinggi. Sebaliknya, sindrom Cushing dengan independen ACTH memiliki kadar kortisol yang tinggi namun dengan kadar ACTH yang rendah.
Pemeriksaan fisiologik dapat membantu membedakan sindrom Cushing hipofisis dengan sindrom Cushing ektopik. Pada sindrom Cushing ektopik, sekresi abnormal ACTH dan/atau kortisol biasanya tidak berubah pada perangsangan ataupun penekanan untuk menguji mekanisme kontrol umpan balik negatif yang normal. Dua pemeriksaan misalnya, uji penekanan dengan deksametason dosis tinggi (8 mg) dan uji perangsangan CRH. Pasien-pasien dengan sindrom ACTH ektopik atau penyakit korteks adrenal primer tidak mampu menekan kadar ACTH dan/atau kortisol pada pemberian deksametason dosis tinggi, dan tidak dapat meningkatkan kadarnya dengan pemberian CRH domba; keadaan ini khas untuk kebanyakan pasien sindrom Cushing hipofisis yang dependen ACTH.
Identifikasi sifat-sifat dan lokalisasi lesi yang menyebabkan sindrom Cushing didasarkan pada pemeriksaan radiografik hipofisis dan lesi-lesi pada adrenal dan dengan payaran nuklir kelenjar adrenal.
CT scan resolusi tinggi pada kelenjar hipofisis dapat menunjukkan daerah-daerah dengan penurunan atau peningkatan densitas yang konsisten dengan mikroadenoma pada sekitar 30% dari penderita-penderita ini. MRI dengan kontras gadolinium memberikan temuan positif pada mayoritas penderita. CT scan kelenjar adrenal biasanya menunjukkan pembesaran, adrenal pada pasien dengan sindrom Cushing dependen ACTH dan massa adrenal pada pasien dengan adenoma atau karsinoma adrenal.
Pemindaian inti kelenjar adrenal melibatkan pemberian kolesterol radioaktif secara intravena. Kolesterol yang diberi label 1131 diambil dan dipekatkan oleh korteks adrenal. Bayangan kelenjar adrenal dapat diperoleh dengan teknik pemindaian dalam 3 sampai 7 hari setelah penyuntikan. Kesan pola kelenjar adrenal yang normal, hiperplasia adrenal, atau adenoma atau karsinoma adrenal dapat diperoleh dengan teknik photoscanning adrenal. Pemeriksaan ini terutama berguna untuk membedakan massa adrenal jinak dengan yang ganas. Berbeda dengan massa yang ganas, massa adrenal yang jinak mengambil zat radioaktif. Tumor-tumor penghasil ACTH ektopik kadang-kadang dapat dilihat dengan oktreotid radioaktif.
Pengobatan
Pengobatan sindrom Cushing dependen ACTH tidak sama, bergantung pada sumber ACTH apakah hipofisis atau ektopik. Beberapa pendekatan terapi dapat digunakan pada pasien dengan hipersekresi ACTH hipofisis. Jika dijumpai tumor hipofisis, sebaiknya diusahakan reseksi tumor transfenoidal. Tetapi jika terdapat bukti hiperfungsi hipofisis namun tumor tidak dapat ditemukan, dapat dilakukan radiasi kobalt pada kelenjar hipofisis. Modalitas pengobatan sangat efektif, terutama pada orang muda dengan sindrom Cushing. Obat-obat kimia yang mampu menyekat (ketokonazol, aminoglutetimid) atau merusak sel-sel korteks adrenal penghasil kortisol (mitotane) juga mampu mengontrol kelebihan kortisol. Bila bedah hipofisis, terapi radiasi dan atau terapi medis dengan penghambat adrenal gagal, penyakit ini dapat dikontrol dengan adrenalektomi total, dan diikuti pemberian kortisol dosis fisiologik. Bila pengobatan sindrom Cushing berhasil dengan baik, remisi manifestasi klinis akan terjadi dalam 6 sampai 12 bulan setelah dimulainya terapi.
Bila neoplasma adrenal kortisol disebabkan oleh kortisol yang berlebihan, pengangkatan neoplasma disusul kemoterapi pada penderita dengan karsinoma merupakan cara pengobatan yang lebih disukai. Pengobatan sindrom ACTH ektopik berdasarkan pada (1) reseksi neoplasma yang menyekresi ACTH atau (2) adrenalektomi atau supresi kimia fungsi adrenal seperti yang dianjurkan pada pasien dengan sindrom Cushing hipofisis jenis dependen ACTH.
ALDOSTERONISME
Aldosteronisme adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh produksi berlebihan aldosteron, "suatu hormon steroid mineralokortikoid korteks adrenal". Efek metabolik aldosteron berkaitan dengan keseimbangan elektrolit dan cairan. Aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium tubulus proksimal ginjal dan menyebabkan ekskresi kalium dan ion hidrogen. Konsekuensi klinis kelebihan aldosteron adalah retensi natrium dan air, peningkatan volume cairan ekstra sel dan hipertensi. Selain itu, juga terjadi hipenatremia, hipokalemia dan alkalosis metabolik.
Ada dua jenis aldosteronisme: (1) primer dan (2)sekunder. Pada aldosteronisme primer (sindrom Conn), produksi aldosteron terjadi akibat adanya tumor atau hiperplasia korteks adrenal. Kebanyakan tumor yang menyekresi aldosteron adalah tumor jinak yang berukuran kecil--0,5 sampai 2 cm. Aldosteronisme primer merupakan bentuk hipertensi endokrin dan mungkin terdapat pada 1 sampai 2% penderita hipertensi. Pengenalan keadaan ini dapat menyembuhkan hipertensinya.
Aldosteronisme sekunder timbul pada keadaan-keadaan ketika terdapat penurunan tekanan arteriola
aferen glomerulus ginjal, sehingga menyebabkan perangsangan sistem renin-angiotensin. Angiotensin merangsang produksi aldosteron. Aldosteronisme sekunder terlihat pada gagal jantung kongestif, sirosis hati dan sindrom nefrotik, suatu keadaan ketika edema merupakan gambaran klinis yang paling menonjol. Gagal jantung kongestif adalah suatu contoh bagaimana aldosteronisme sekunder dapat terbentuk. Pasien gagal jantung kongestif tidak dapat memompa darah dengan normal dan terjadi penurunan curah jantung.Tekanan perfusi pada arteriola aferen glomerulus ginjal menurun. Penurunan tekanan ini ditangkap oleh reseptor yang berada di aparatus jukstaglomerular, dan renin disekresi dalam jumlah yang berlebihan. Renin mengaktifkan produksi angiotensin, yang selanjutnya merangsang sekresi aldosteron dari korteks adrenal yang sebenarnya normal. Peningkatan produksi aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi natrium dan air, pengembangan kompartemen cairan ekstraselular, dan kemungkinan juga meningkatkan tekanan arteriola aferen. Aldosteronisme sekunder juga dapat berkembang pada keadaan saat terjadi penyumbatan sebagian arteria renalis, menimbulkan hipertensi vaskular ginjal
Diagnosis aldosteronisme didasarkan pada pengukuran peningkatan kadar aldosteron dalam plasma dan urine dan pengukuran renin plasma. Renin plasma akan rendah pada aldosteronisme primer, tetapi tinggi pada aldosteronisme sekunder.
CT scan dan photoscanning inti dapat juga membantu menemukan dan melokalisasi lesi adrenal pada pasien dengan aldosteronisme primer. Bila tumor tidak dapat dilokalisasikan, contoh darah vena adrenal mungkin dapat diperoleh dari kateterisasi selektif terhadap vena adrenal kiri dan kanan. Adanya kadar aldosteron yang tinggi pada salah satu sisi mencurigakan adanya tumor dan membantu memastikan adanya lesi.
Pengobatan aldosteronisme primer adalah adrenalektomi unilateral melalui pendekatan laparoskopi,
dengan reseksi adenoma yang menyekresi aldosteron. Pasien dengan hiperplasia adrenal diobati dengan pemberian antagonis aldosteron seperti spironolakton.
FARMAKOLOGI DAN PEMAKAIAN KORTIKOSTEROID SINTETIK
Analog kortisol sintetik dengan aktivitas glukokortikoid dan antiinflamasi sering digunakan baik secara topikal atau sistemik untuk mengobati banyak penyakit. Misalnya, steroid digunakan secara topikal untuk pengobatan penyakit kulit dan secara sistemik untuk mengobati keadaan seperti artritis reumatoid, asma, dan reaksi alergi akut. Walaupun secara terapeutik efektif, steroid juga mempunyai efek samping. Efek samping ini berhubungan dengan aktivitas metabolik dan kerjanya pada berbagai sistem organ seperti yang telah digambarkan di atas.
Dengan mengubah struktur kimia dasar kortisol-glukokortikoid alamiah, maka sifat farmakologik senyawa ini dapat diubah. Misalnya, jika ikatan rangkap disisipkan di antara karbon 1 dan 2 molekul kortisol, maka akan dihasilkan prednisolon. Senyawa ini mempunyai aktivitas retensi natrium yang lebih kecil dan aktivitas antiinflamasi yang lebih kuat daripada senyawa induknya-kortisol-dalam perbandingan miligram yang sama. Artinya, 1 mg prednisolon mempunyai potensi antiinflamasi dan imunosupresi yang lebih kuat daripada 1 mg kortisol. Perubahan struktural lainya yang mungkin terjadi adalah dengan penyisipan atom fluor pada posisi alfa dari karbon 9 inti steroid. Senyawaan yang terbentuk adalah 9-alfa-fluorokortisol, mempunyai aktivitas retensi natrium kuat mirip dengan aldosteron-mineralokortikoid yang terdapat di alam. Dengan substitusi ini senyawa dengan aktivitas glukokortikoid yang menonjol akan menjadi suatu mineralokortikoid.
Dengan cara yang sama seperti yang digambarkan di atas, telah dihasilkan berlusin-lusin senyawa sintetik. Sebagian besar dari perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas antiinflamasi dan mengurangi efek samping metabolik. Walaupun sebagian dari tujuan ini telah dapat dicapai, tetapi terapi dengan salah satu preparat kortikosteroid sintetik yang tersedia sekarang ini, terutama bila diberikan dalam jangka waktu yang lama dan dalam dosis yang cukup tinggi, akan mengakibatkan sindrom Cushing dan penekanan secara terus menerus terhadap fungsi hipotalamus-hipofisis-adrenal endogen. Namun, pada banyak kasus, steroid justru merupakan satu-satunya obat yang efektif untuk penyakit-penyakit sistemik berat. Dalam dilema ini, timbulnya sindrom Cushing mungkin merupakan risiko yang harus dibayar untuk menanggulangi dan mengendalikan penyakit yang lebih serius tersebut. Efek samping dari terapi kortikosteroid dapat dikurangi dengan memberikan dosis dua kali lebih besar tetapi diminum dua hari sekali, daripada memberikan dosis terbagi setiap hari. Misalnya, jika pasien memerlukan prednisolon 20 mg sehari, maka daripada memberikan 5 mg setiap 6 jam, lebih baik sekaligus 40 mg dua hari sekali.
SINDROM-SINDROM KELEBIHAN ANDROGEN
Salah satu masalah perempuan muda yang paling sering ditemukan ahli endokrin adalah hirsutisme, yang biasanya merupakan manifestasi androgen yang berlebihan.
Telah didapatkan data-data yang cukup untuk memastikan bahwa ada hubungan yang kompleks antara pertumbuhan rambut pada laki-laki dan perempuan dengan hormon seksual. Contohnya, pertumbuhan janggut; rambut di dalam telinga, rambut di ujung hidung, dan di bagian atas segitiga pubis; dan rambut kasar pada sekujur tubuh dan anggota gerak bergantung pada kadar androgen yang ada dalam sirkulasi laki-laki dewasa. Pertumbuhan rambut pada aksila, bagian bawah pubis, dan setidak-tidaknya pada sebagian dari anggota gerak dimulai pada masa pubertas baik pada laki-laki maupun perempuan dan diperantarai oleh androgen adrenal yang lebih lemah. Rambut jenis androgen bersifat kasar dan gelap warnanya. Pertumbuhan rambut tertentu tampaknya tidak bergantung pada hormon seksual. Rambut ini halus dan warnanya muda dan terdiri dari rambut lanugo, alis mata, dan bulu mata. Faktor ras dan genetik memainkan peranan penting dalam pola pertumbuhan rambut.
Hirsutisme didefinisikan sebagai pertumbuhan rambut tubuh yang berlebihan pada perempuan dengan pola distribusi yang khas laki-laki pada sekujur wajah, periareolar, abdominal, dan daerah sakral. Keadaan ini dapat disertai kebotakan (Gbr.5) atau mundurnya garis rambut temporal (Gbr. 6).
Hirsutisme dapat muncul sendiri maupun merupakan bagian dari sindrom virilisasi, yang merupakan gambaran klinis yang terdapat pada anak perempuan dan perempuan pada setiap umur dengan tanda dan gejala defeminisasi dan maskulinisasi. Penemuan yang khas pada defeminisasi adalah amenore, berkurangnya libido, atrofi payudara dan hilangnya bentuk tubuh feminin. Ciri-ciri maskulinisasi terdiri dari hirsutisme, seborea, jerawat, suara yang berat, bertambahnya perkembangan muskular, dan pembesaran klitoris.
Virilisme sejati kini dikenali sebagai kejadian yang jarang terjadi, dan hampir selalu berkaitan dengan tumor adrenal atau ovarium atau dengan sindrom hiperplasia adrenal kongenital. Sebaliknya, hirsutisme sering tanpa tanda-tanda lain dari virilisme, tetapi sering dengan periode menstruasi yang tidak teratur atau tidak ada sama sekali dan jerawat merupakan keadaan klinis tersendiri dan berhubungan dengan sindrom ovarium polikistik (PCOS). Jika hirsutisme timbul sendiri tanpa virilisme atau ketidakteraturan menstruasi, perempuan tersebut diduga menderita hirsutisme ringan atau idiopatik. Pada hirsutisme jenis ini tidak ditemukan kelainan hormonal yang spesifik atau kelainan mekanisme etiologi.
Fisiologi Androgen
Baik pada laki-laki maupun perempuan dalam keadaaan normal mengsekresi berbagai jenis androgen. Ada tiga tipe utama androgen yaitu (1) dehidroepiandrosteron, (2) delta 4-androstenedion, dan (3) testosteron.
Dehidroepiandrosteron (DHEA) dan metabolitnya, dehidroepiandrosteron sulfat, umumnya dianggap sebagai androgen yang lemah. Kelenjar adrenal merupakan sumber utama dari tipe androgenini, dan dapat diukur dalam urine sebagai 17-ketosteroid. Delta 4-androstenedion merupakan produk androgen yang lebih kuat daripada DHEA tetapi lebih lemah daripada testosteron (DHEA adalah prekursor testosteron). Delta 4-androstenedion juga dihasilkan oleh korteks adrenal dan ovarium. Testosteron merupakan senyawa yang paling kuat dari ketiga androgen tersebut. Ada beberapa sumber testosteron termasuk ovarium, testis, dan jaringan perifer. Testosteron dimetabolisme menjadi androgen yang kuat, dihidrotestosteron (DHT); dan pada akhirnya, baik testosteron maupun DHT diubah menjadi androstenediol di jaringan perifer dan diekskresi dalam urine.
Testosteron dapat dibuat dari prekursornya pada beberapa jaringan endokrin dan perifer. Testosteron beredar dalam plasma, sebagian terikat pada protein pembawa (globulin pengikat hormon seks [SHBG]), dan dibuang melalui degradasi metabolik pada hati dan beberapa jaringan perifer. Dengan demikian, kadar testosteron merupakan hasil dari keseimbangan antara produksi dan bersihan metabolik. Meskipun sebagian besar androgen yang beredar terikat pada SHBG, sebagian kecil terdapat dalam bentuk bebas. Efek biologik dari androgen sirkulasi berkaitan dengan kadar androgen bebas dalam plasma. Perempuan dengan hirsutisme umumnya mempunyai sekresi, transpor, dan metabolisme testosteron yang abnormal. Contohnya, perempuan dengan hirsutisme memiliki lebih sedikit testosteron yang terikat, kadar testosteronbebas yang tinggi, dan lebih banyak tingkat bersihan metabolik aktifnya daripada perempuan tanpa hirsutisme. Walaupun pada perempuan normal testosteron diekstraksi dan dimetabolisme hampir sempurna oleh hati; namun sebaliknya, pada perempuan yang mengalami virilisasi, 32% testosteron yang disekresi akan diekstraksi dan dimetabolisme oleh jaringan ekstrahepatik. Jaringan-jaringan ini kemudian menjadi sasaran aktivitas androgen yang lebih besar daripada yang ditemukan pada perempuan normal.
Diagnosis Banding Kelebihan Androgen
Ada lima kategori utama yang berhubungan dengan kelebihan androgen yaitu
- Sindrom ovarium polikistik (PCOS),
- Tumor-tumor ovarium atau korteks adrenal,
- Hiperplasia korteks adrenal nonklasik atau awitan lambat,
- Hirsutisme idioBatik atau sederhana, dan
- Hirsutisme lain-lain
Tumor-tumor ovarium dan korteks adrenal dapat disebabkan oleh kelebihan androgen. Karsinoma korteks adrenal menyekresi androgen saja atau kombinasi dengan kortisol dan menyebabkan sindrom virilisasi murni atau sindrom virilisasi Cushing campuran. Tumor ovarium, seperti arenoblastoma dan neoplasma sel hilus, mampu menyekresi sejumlah besar tes tosteron dan menyebabkan virilisasi.
Hiperplasia adrenal kongenitnl (CAH) adalah terdapatnya kelainan sejak lahir pada salah satu enzim yang melibatkan biosintesis kortisol. Tipe yang paling sering adalah kelainan pada 2l-hidroksilase. Sebagai akibat kekurangan 21-hidroksilase, kapasitas korteks adrenal untuk menyekresi kortisol terganggu. Penurunan produksi kortisol menyebabkan peningkatan dalam sekresi ACTH sebagai respons terhadap aktivasi umpan balik negatif dari fungsi hipofisis. ACTH merangsang korteks adrenal, menyebabkan prekursor biosintesis kortisol dialihkan menjadi biosintesis androgen. Ketika janin terpajan dengan jumlah androgen yang meningkat, maka terjadi perubahan dalam perkembangan genitalia eksterna. Contohnya, bayi perempuan dengan kelainan ini akan mengalami pembesaran klitoris dan merapatnya labia mayora. Genitalia akan menyerupai genital eksternal pria. Pada saat kelahiran, ketidakjelasan perkembangan seksual ini dapat menimbulkan kesulitan dalam identifikasi seksual dari bayi yang baru lahir tersebut, Sindrom maskulinisasi genetis pada bayi perempuan akibat kelebihan androgen in utero disebut pseudohermafroditisme perempuan.
Manifestasi kelebihan androgen pada pasien dengan hiperplasia adrenal kongenital dapat terjadi pada masa pubertas atau setelah pubertas. Sekitar 4% hingga 12% perempuan dengan hirsutisme dapat mengalami keadaan yang disebut CAH non-klasik atau awitan lambat sebagai akibat dari hiperplasia adrenal kongenital bentuk ringan yang kelainannya hanya pada sebagian 21-hidroksilase, 11-beta-hidroksilase, atau 3-beta-ol-dehidrogenase, delta 4,S-isomerase.
Banyak perempuan yang mengalami hirsutisme tanpa disertai manifestasi klinis kelebihan androgen lainnya. Masalah biasanya mulai timbul setelah pubertas dan lambat laun berkembang dari tahun ke tahun. Kadar 17-ketosteroid dalam urine seringkali sedikit atau agak meningkat, dan tingkat produksi testosteron meningkat. Kadar testosteron bebas juga meningkat. Kelainan biokimiawi apesifik dan patofisiologi dari kelebihan androgen jenis ini belum jelas dipahami. Namun, kelainan itu dapat merupakan akibat peningkatan aktivitas 5 alfa reduktase, yaitu enzim yang mengatur perubahan testosteron menjadi DHT dalam folikel rambut, yang mengakibatkan rangsangan pertumbuhan rambut oleh DHT.
Terdapat sejumlah penyebab hirsutisme lain. Beberapa di antaranya berasal dari endokrin dan berupa hirsutisme yang berkaitan dengan akromegali, kehamilan, hipotiroidisme, menopause, terapi androgen, dan kelaparan. Bertambahnya pertumbuhan rambut juga dapat terjadi tanpa perangsangan hormonal. Hal ini terlihat pada gangguan seperti porfiria dan displasia ektodermal kongenital atau pada daerah-daerah tubuh yang tidak dimobilisasi atau ditempatkan dalam bidai atau bungkus gips.
Evaluasi Klinis dan Laboratorium Perempuan dengan Hirsutisme
Jika seorang pasien mengeluhkan pertumbuhan rambut yang berlebihan, maka perlu ditentukan apakah hirsutisme itu terjadi sendiri atau disertai oleh manifestasi virilisasi lain seperti yang telah diuraikan di atas. Penting juga untuk menentukan apakah gejala-gejala kelebihan androgen itu berdiri sendiri atau disertai dengan gejala-gejala kelebihan kortisol. Riwayat awitan yang baru saja atau perkembangan yang cepat dari pertumbuhan rambut yang berlebihan sering mengarahkan pada keganasan sebagai sumber dari kelebihan androgen.
Uji-uji untuk mengetahui produksi androgen yang berlebihan meliputi pengukuran kadar testosteron darah total atau testosteron bebas, DHEA, dan androstenedion. Bila diduga terdapat PCOS, dapat dilakukan pengukuran LH serum, kadar glukosa dan insulin. Selain itu, pasien yang diduga menderita CAH nonklasik seharusnya diukur juga 17 alfahidroksiprogesteron serum dan 17-alfa hidroksipregnenolon sebelum dan setelah perangsangan oleh kortikotropin. Bila terdapat kelainan enzim, rangsangan ini akan meningkatkan prekursor steroid dan membantu menetapkan diagnosis. Pasien yang diduga menderita tumor ovarium atau adrenal yang
menghasilkan androgen seharusnya menjalani pemeriksaan pelvis, serta CT scan pelvis dan abdomen, MRI atau ultrasound,
Pengobatan
Pengobatan kelebihan androgen berkaitan dengan patologi yang mendasarinya. Jika kelebihan androgen merupakan bagian dari sindrom Cushing maka perbaikan dari sindrom Cushing seperti yang telah dijelaskan sebelumnya akan memberikan remisi manifestasi kelebihan androgen. CAH dapat ditekan secara efektif dengan terapi supresif kronik kortikosteroid. Pasien dengan tumor adrenal atau ovarium
sebaiknya menjalani reseksi tumor-tumor tersebut. Pasien dengan PCOS dapat diobati dengan androgen supresif seperti (1) kontraseptif oral, (2) kortikosteroid sintetik, (3) spironolakton, atau (4) pensensitif insulin.
Kontrasepsi oral menekan produksi androgen ovarium dengan cara menekan gonadotropin hipofisis; kortikosteroid sintetis seperti deksametason yang diberikan dalam dosis tunggal 0,5 mg sebelum tidur, akan menekan androgenovarium dan adrenal. Spironolakton menekan produksi androgen dan kerja androgen pada tingkat target jaringan. Pensensitif insulin seperti metformin dan analog tiazolidinedion telah memperlihatkan penurunan produksi androgen dengan cara menekan hiperinsulinemia akibat kelebihan androgen pada berbagai bentuk.
FEOKROMOSITOMA
Feokromositoma, suatu penyebab hipertensi sekunder yang jarang, merupakan tumor medular adrenal atau tumor rantai simpatis (paraganglioma) yang melepaskan katekolamin dalam jumlah besar (epinefrin, norepinefrin, dan dopamin) secara terus menerus atau dengan jangka waktu. Feokromositoma menyerang 0,1% hingga 0,5% penderita hipertensi dan dapat menyebabkan akibat yang fatal bila tidak terdiagnosis atau terobati. Feokromositoma dapat menyerang laki-laki dan perempuan dalam perbandingan yang sama dan mempunyai insiden puncak antara usia 30 dan 50 tahun. Sekitar 90% tumor ini berasal dari sel kromafin medula adrenalis, dan 10% sisanya dari ekstraadrenal yang terletak di area retroperitoneal (organ Zuckerkandl), ganglion mesenterika dan seliaka, dan kandung kemih. Pasien dengan neoplasia endokrin multipel (MEN) II, telah meningkatkan sekresi katekolamin dengan manifestasi klinis feokromositoma akibat hiperplasia medula adrenal bilateral. Feokromositoma biasanva jinak (pada 95% kasus), namun dapat bersifat ganas dengan metastasis yang jauh.
Manifestasi klinis tumor ini berkaitan dengan pelepasan katekolamin. Gambaran gejala yang paling penting adalah hipertensi yang dapat terjadi terus menerus atau paroksismal (45% kasus). Pasien dengan gejala paroksismal memperlihatkan episode akut hipertensi berat (250/740 mm Hg) selama beberapa menit hingga berjam-jam. Episode tersebut dapat dicetuskan oleh latihan berat, mengonsumsi makanan yang mengandung tirosin (anggur merah, keju tua, yoghurt), makanan yang mengandung cafein, palpasi abdominal, atau induksi anestesi. Di antara episode, pasien mempertahankan tensi yang normal. Bersamaan dengan hipertensi, pasien juga mengeluh sakit kepala hebat pada bagian atas kepala, palpitasi, pucat, diaforesis, dan disritmia. Pasien dengan hipertensi yang terus menerus dapat memperlihatkan variabilitas pada pembacaan tekanan darah mereka yang tinggi dan mengeluh sakit kepala serta denyut jantung yang tidak teratur. Kadang-kadang pasien memperlihatkan gejala hipotensi ortostatik, khususnya bila fumor menyekresi
dopamin dalam jumlah besar. Penilaian biokimia pada pasien yang diduga menderita feokromositoma terdiri atas pengukuran kadar efinefrin plasma atau urine, norepinefrin, serta metanefrin dan normetanefrin metabolik pasien tersebut.
Karena sekresi normal epinefrin dan norepinefrin adrenal dapat bervariasi, maka akan sulit membedakan keadaan hipersekresi fisiologis atau patologis hanya dengan pemeriksaan tunggal kadar katekolamin. Norepinefrin dalam sirkulasi berasal dari neuron simpatis, sedangkan epinefrin berasal dari sebagian besar medula adrenal. Norepinefrin dapat meningkat dengan perubahan posisi berbaring menjadi posisi tegak. Katekolamin juga dapat meningkat pada infark miokardial akut, penurunan volume, hipotiroidisme, serta stres emosional atau fisik lain. Vasodilator perifer, kokain, fenoksibenzamin, fentolamin, prazosin, dan teofilin dapat meningkatkan pelepasan katekolamin. Hipoglikemia yang diinduksi oleh insulin dapat mencetuskan peningkatan efinefrin yang banyak dan sedikit peningkatan norefinefrin. Obat-obatan seperti klonidiru reselpin/ guanetidin, haloperidol, Thorazine, dan alfa-metildopa menurunkan kadar norefinefrin plasma.
Kadar katekolamin plasma basal sebaiknya diambil pada saat pasien beristirahat dalam posisi berbaring sekitar 30 menit. Kadar normal untuk epinefrin berkisar antara 0 hingga 100 pglml; untuk norepinefrin, 0 hingga 500 pg/ml; dan untuk dopamin, 0 hingga 100 pg/ml. Peningkatan kadar yang tinggi (epinefrin lebih dari 500 p/lml dan norepinefrin lebih besar dari 1500 pg/ml) bersifat
diagnostik feokromositoma yang sebenarnya. Katekolamin urine basal dikumpulkan selama 12 jam pada malam hari. Kadar normal epinefrin adalah 0 hingga 20 mg/hari; untuk norepinefrin, 0 hingga 100 mg/hari; untuk metanefrin, 0 hingga 300 mg/hari; untuk normetanefrin, 50 hingga 800 mg/hari; dan untuk asam vanililmandelat (VMA), 0 hingga 7 mg/hari. Pasien dengan feokromositoma memiliki kadar katekolamin urine yang tinggi.
Pada kasus sedang, uji penekanan klonidin dapat membantu membedakan subjek normal dengan pasien feokromositoma. Klonidin sebanyak 0,3 mg diberikan secara oral setelah diambil dua contoh dasar darah untuk epinefrin dan norepinefrin; contoh epinefrin plasma dan norepinefrin diulang seteiah 3 jam pemberian klonidin, Pasien dengan feokromositoma gagal menekan sekresi katekolamin, sedangkan klonidin akan mempertahankan kadar normal katekolamin pada keadaan hiperadrenergik lain.
Pengobatan terdiri dari reseksi bedah feokromositoma dan eksplorasi ruang retroperitoneal untuk tumor-tumor yang berasal dari paraganglia. Bila diperlukan tekanan darah pasien harus distabilkan sebelum operasi dengan obat-obat penyekat alfa adrenergik, seperti propranolol. Fenoksibenzamin juga digunakan sebagai pengobatan medis untuk menghambat efek katekolamin pada pasien dengan keganasan yaitu feokromositoma yang tidak dapat dibedah.
DAFTAR PUSTAKA