Apa itu anastesi?
Anastesi Adalah hilangnya rasa sakit seluruh tubuh secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.
Perbedaan anastesi umum dengan anestesi local yaitu
- pada anestesi local hilangnya rasa sakit setempat sedang pada anestesi umum seluruh tubuh.
- Pada anestesi local yang terpengaruh syaraf perifer sedang pada anestesi umum yang terpengaruh syaraf pusat dan
- pada anestesi local tidak terjadi kehilangan kesadaran.
Obat-obat anestesi dapat dimasukkan kedalam tubuh melalui inhalasi (dengan menghirup), atau parenteral (dengan suntikan).
Yang melalui inhalasi antara lain
- N2O
- halothan
- enflurane
- ether
- isoflurane
- sevoflurane
- metoxiflurane
- trilene.
- intravena, antara lain :. pentothal, ketamin, golongan benzodiazepin.
- intramuskuler, antara lain : ketamin dan golongan benzodiazepin .
Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi masuk kedalam saluran pernafasan, didalam alveoli paru akan berdifusi masuk kedalam sirculasi darah. Demikian pula yang disuntikkan secara intramuskuler , obat tersebut akan diabsorbsi masuk kedalam sirkulasi darah.
Setelah masuk kedalam sirkulasi darah obat tersebut akan menyebar kedalam jaringan.
Dengan sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak atau organ vital akan menerima obat lebih banyak dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya sedikit seperti tulang atau jaringan lemak .
Kerja obat anastesi juga tergantung jenis obatnya, dimana didalam jaringan sebagian akan mengalami metabolisme, ada yang terjadi di hepar , ginjal atau jaringan lain. Eksresi bisa melalui ginjal ,hepar, kulit, atau paru-paru. Eksresi bisa dalam bentuk asli atau hasil metabolismenya. N2O dieksresi dalam bentuk asli lewat paru.
anestesi umum |
Apa saja faktor- faktor yang berpengaruh pada pemberian anastesi?
Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi, antara lain:
- Faktor respirasi (untuk obat inhalasi)
- Faktor circulasi
- Faktor jaringan.
- Factor obat anestesi.
Faktor Respirasi :
Sesudah obat anestesi inhalasi sampai dialveoli (paru-paru) , maka akan mencapai tekanan parsial tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup, maka tekanan parsialnya makin tinggi.
Perbedaan tekanan parsial zat anestesi dalam alveoli dan didalam darah menyebabkan terjadinya difusi. Bila tekanan didalam alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari alveoli kedalam sirkulasi dan sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi kedalam alveoli bila tekanan parsiel didalam alveoli lebih rendah ( keadaan ini terjadi bila pemberian obat anestesi dihentikan ). Makin tinggi perbedaan tekanan parsiel obat anestesi antara alveoli dan sirkulasi makin cepat terjadinya difusi.
Proses difusi akan terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada udem paru dan fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveoler meningkat misalnya pada nafas dalam maka obat yang berdifusi lebih banyak , sebaliknya pada keadaan ventilasi yang menurun misalnya pada depresi respirasi atau obstruksi respirasi.
Faktor sirkulasi :
Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru kejaringan dan sebaliknya.
Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat yang dapat diangkut demikian juga pada keadaan cardiac out put (curah jantung) yang menurun.
Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan.
Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi / BG koefesien tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut didalam darah, sebaliknya obat dengan BG koefesien rendah,maka cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.
Faktor jaringan yang menentukan antara lain :
- Perbedaan terkanan parsiel obat anestesi didalam sirkulasi dan didalam jaringan
- Kecepatan metabolime obat
- Aliran darah dalam jaringan.
- Tissue / blood partition coefisien.
Faktor zat anestesi :
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration), yaitu konsentrasi minimal obat anestesi didalam alveoli yang mampu mencegah terjadinya respon stimualsi rasa sakit .
Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi tersebut.
Teori terjadinya anestesi umum.
- Lipid solubility theory (Meyer 1899, Overton 1901)
- Obat anestesi adalah lipid solobel sehingga efeknya berhubungan dengan daya larut nya dalam lemak. Makin besar daya larutnya makin besar efek anestesinya.
- Teori colloid :
- efek anestesi disebabkan karena terjadinya agregasi colloid dalam sel Yang menyebabkan terjadinya gangguan fungsi pada sel.
- Teori adsorbsi / tegangan permukaan :
- menghubungkan efek anestesi dengan daya adsorbsi atau menurunnya tegangan permukaan membran sel. Dengan mengumpul nya obat anestesi pada membran sel berakibat perubahan permeabilitas membran / daya adsorbsi dan menyebabkan terjadinya hambatan fungsi neuron.
- Teori biokimiawi (Quastel 1952).
- Menerangkan efek obat anestesi dengan peningkatan reaksi enzimatik dipermukaan atau dalam sel. Antara lain beberapa obat anestesi menyebabkan uncoupling dan oxsidative phosphorilation dan menghambat konsumsi oksigen
- Teori fisik :
- menghubungkan daya anestesi dengan aktifitas thermodinamik atau Bentuk dan besar molekul.
- Menurut Mullins 1954 bekerjanya obat anestesi yang inert adalah dengan pengisian ruangan-ruangan non aqueous dari membran sel oleh molekul obat anestesi sehingga permeabilitas membran terganggu.
- Pauling 1964 mengemukakan bahwa zat anestesi dapat membentuk mikro kristal dengan air dalam membra sel neuron dan ini menyebabkan stabilisasi membran sel. Teori ini disebut juga hidrat mikro kristal teori.
Apa saja stadium anastesi?
STADIUM ANESTESI
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasar tanda klinik yang didapat.
Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan , gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada penderita yang mendapat anestesi ether
- Stadium I
- Stadium I disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi kecil bisa dilakukan.
- Stadium II
- Stadium II disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi
- Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita bisa meronta ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif, gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),tonus otot meninggi, refleks fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnnya refleks menelan dan kelopak mata, dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini membahayakan penderita karena itu harus segera diakhiri.
- Keadaan ini bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, Persiapan psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat.
- Keadaan emergency delirium juga dapat terjadi pada fase pemulihan dari anestesi. penderita bisa meronta ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif, gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, refleks fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnnya refleks menelan dan kelopak mata, dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini membahayakan penderita karena itu harus segera diakhiri.
- Stadium III.
- Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas
- Dibagi menjadi 4 plane :
- Plane I : dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil , refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
- Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun dan frekwensi nafas meningkat , mulai terjadi depresi nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang, dan tonus otot makin menurun.
- Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin melebar dan refleks cahaya menjadfi hilang, lakrimasi negatif, refleks laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.
- Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise diafragma . Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan lambat , iregular dan tidak adekwat, terjadi jerky karena terjadi paralise diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif, refleks spincter ani negatif.
- Stadium IV :
- Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium over dosis atau stadium paralysis.
- Ditandai dengan hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti dengan circulatory failure.
Bagaimana cara memberikan anasthesia umum?
CARA MEMBERIKAN ANESTESI
Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan.
- INDUKSI
- Induksi dapat dilakukan dengan cara inhalasi, intravena, atau intramuskuler
- Induksi Inhalasi : sering disebut dengan istilah induksi lambat karena membutuhkan waktu yang lama, sedangkan induksi intravena disebut juga dengan induksi cepat karena penderita cepat tertidur. Tetapi pada saat ini telah ditemukan sevoflurane yaitu obat inhalasi yang dapat membuat tidur secepat obat intravena.
- Induksi Inhalasi :
- Diberikan dengan meminta penderita menghirup campuran gas anestesi dengan udara atau oksigen, dengan memakai face mask (sungkup muka/ kap). Tergantung yang dipakai, gas anestesi bisa diambil dari tabung gas (N2O ) atau dari obat anestesi cair yang diuapkan menggunakan alat yang disebut vaporizer. Pada zaman dulu obat anestesi cair diteteskan pelan-pelan langsung kesungkup muka yang berlubang –lubang kecil, cara ini disebut open drop, karena obatnya ether maka disebut juga open drop ether.
- Induksi inhalasi menggunakan ether pada saat ini tidak populer, karena menimbulkan stadium II yang menyebabkan terjadinya risiko morbiditas dan mortalitas bagi penderita.
- Dibandingkan dengan ether induksi inhalasi lebih baik menggunakan halothane,enflurane isoflurane atau sevoflurane. Penderita yang mendapat induksi inhalsi dengan obat ini cepat masuk kedalam stadium III, sehingga tanda stadium II yang membahayakan penderita tidak terlihat.
- Umumnya induksi inhalasi dikerjakan pada bayi dan anak.
- Induksi Intravena.
- Pada induksi intravena tidak terjadi stadium II, dikerjakan dengan menyuntikkan obat anestesi kedalam pembuluh darah vena.
- Induksi Intramuskuler.
- Diberikan dengan menyuntikkan obat anestesi kedalam otot, dikerjakan pada anak-anak.
- MAINTENANCE. (PEMELIHARAAN) Dalam periode ini diberikan obat anestesi dalam dosis tertentu , tergantung jenis operasinya, anestesi tidak boleh terlalu dalam karena membahayakan jiwa penderita , tetapi juga tidak boleh terlalu ringan sehingga penderita masih merasakan nyeri yang akan menimbulkan trauma psikis yang berkepanjangan. Selain itu anestesi yang terlalu ringan juga dapat menyebabkan spasme saluran pernafasan, batuk, mutah atau gangguan kardio vaskuler.
- Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara intermiten atau continous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing obat dapat diperkecil. Untuk operasi-perasi tertentu diperlukan anestesi umum sampai tingkat kedalamannya mencapai trias anestesi yaitu penderita tidur, analgesi cukup, dan terjadi relaksasi otot. Pada penderita yang tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot, maka bila mendapat rangsang nyeri dapat timbul :
- gerakan lengan atau kaki
- penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada penderita yang memakai pipa endotrakeal
- adanya lakrimasi
- pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laringeal, bronkospasme.
- tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambah cepat , tekanan darah meningkat, berkeringat.
Keadaan relaksasi bisa terjadi pada anestesi yang dalam, sehingga bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi adalah dengan mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara menambah dosis obat. Pada umumnya keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat anestesi yang diberikan sedemikian tinggi , sehingga menimbulkan gangguan pada organ vital. Dengan demikian keadaan ini akan mengancam jiwa penderita, lebih-lebih pada penderita yang sensitif atau memang sudah ada gangguan pada organ vital sebelumnya. Untuk mengatasi hal ini maka ada tehnik tertentu agar tercapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat, relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) tehnik ini disebut balance anestesi.
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant , maka otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), tanpa dilakukan nafas buatan, penderita akan mengalami kematian, karena hipoksia. Jadi nafas penderita sepenuhnya tergantung dari pengendalian kita, karena itu balance anestesi juga disebut dengan tehnik respirasi kendali atau control respiration. Untuk mempermudah respirasi kendali penderita harus dalam keadaan terintubasi.
Dengan menggunakan balance anestesi maka ada beberapa keuntungan antara lain :
- Dosis obatnya minimal, sehingga gangguan pada organ vital dapat dikurangi. polusi kamar operasi yang ditimbulkan obat anestesi inhalasi dapat dikurangi , Selesai operasi penderita cepat bangun sehingga mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh penderita yang tidak sadar.
- Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita bisa melakukan hiperventilasi, untuk menurunkan kadar CO2 dalam darah sampai pada titik tertentu misalnya pada operasi otak . Dengan hiperventilasi kita juga dapat menurunkan tekanan darah untuk operasi yang memerlukan tehnik hipotensi kendali.
- Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total maka mempermudah tindakan operasi pada rongga dada (thoracotomy ) tanpa terganggu oleh gerakan pernafasan. Kita juga dapat mengembangkan dan mengempiskan paru dengan sekehendak kita tergantung keperluan.
- Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara spontan.
- Respirasi kendali / respirasi terkontrol/balance anestesi : pernafasan penderita sepenuhnya tergantung bantuan kita.
- Assisted Respirasi : penderita bernafas spontan tetapi masih kita berikan sedikit bantuan.
- Sistem open adalah system yang paling sederhana. Disini tidak ada hubungan fisik secara langsung antara jalan napas penderita dengan alat anestesi. Karena itu tidak menimbulkan peningkatan tahanan respirasi. Disini udara ekspirasi bebas keluar menuju udara bebas. Kekurangan sistim ini adalah boros obat anestesi, menimbulkan polusi obat anestesi dikamar operasi, bila memakai obat yang mudah terbakar maka akan meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di kamar operasi, hilangnya kelembaban respirasi, kedalaman anestesi tidak stabil dan tidak dapat dilakukan respirasi kendali.
- Dalam system semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag, selain reservoir bag , adapula yang masih ditambah dengan klep satu arah, yang mengarahkan udara ekspirasi keluar, klep ini disebut non rebreathing valve. Dalam system ini tingkat keborosan dan polusi kamar operasi lebih rendah disbanding sistem open.
- Dalam sistem semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas anestesi dan oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi mengandung CO2 yang lebih tinggi, dialirkan menuju tabung yang berisi sodalime, disini CO2 akan diikat oleh soda lime. Selanjutnya udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi dan oksigen dari sumber gas ( FGF / Fresh Gas Flow) untuk diinspirasi kembali. Kelebihan aliran gas dikeluarkan melalui klep over flow . Karena udara ekspirasi diinspirasi lagi maka pemakaian obat anestesi dan oksigen dapat dihemat dan kurang menimbulkan polusi kamar operasi.
- Dalam sistem closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini tidak ada udara yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas. Penambahan oksigen dan gas anestesi harus diperhitungkan, agar tidak kurang sehingga menimbulkan hipoksia dan anestesi kurang adekwat, tetapi juga tidak berlebihan, karena pemberian yang berlebihan bisa berakibat tekanan makin meninggi sehingga menimbulkan pecahnya alveoli paru. Sistem ini adalah sistim yang paling hemat obat anestesi dan tidak menimbulkan polusi.
gambar tabel pembagian anastesi berdasarkan sistim pernapasan |
PEMULIHAN ANESTESI.
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi bersamaan dengan pengehentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenisasi. Dengan oksigenisasi maka oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi diaveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian tekanan parsiel obat anestesi dialveoli juga berangsur-angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsiel obat anestesi inhalasi didalam darah. Maka terjadi – lah difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli. Semakin tinggi perbedaan tekanan parsiel tersebut kecepatan difusi makin meningkat.
Sementara itu oksigen dari alveoli akan berdifusi kedalam darah. Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen dialveoli ( akibat oksigenisasi) difusi ke dalam darah semakin cepat, sehingga kadar oksigen didalam darah meningkat, menggantikan posisi obat anestesi yang berdifusi menuju ke alveoli.
Akibat terjadinya difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, maka kadarnya didalam darah makin menurun. Turunnya kadar obat anestesi inhalasi tertentu didalam darah selain akibat difusi dialveoli, juga akibat sebagian menagalami metabolisme dan ekskresi lewat hati, ginjal, dan keringat. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anestesi didalam darah.
Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka kesadarannya, berangsur-angsur pulih dengan turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberiannya dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan tanpa menggunakan pipa endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya penderita. Sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakheal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET).
Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar membahayakan pemderita, karena dapat terjadi spasme jalan napas, batuk,mutah,ganmgguan kartdiovas –kuler, naikknya tekanan intra okuli dan naikknya tekanan intra cranial. Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam memepunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas,dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar. Tetapi ada operasi tertentu ekstubasi dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam.
Pada pendrita yang mendapat balance anestesi maka ekstubasi dilakukan setelah napas penderita adekwat. Untuk mempercepat pulihnya penderita dari pengaruh muscle relaxant
maka dilakukan reverse, yaitu memberikan obat anti kolin esterase. Sebagian ahli aneste-si tetap memberikan reverse walaupun napas sudah adekwat, bagi penderita yang sebe –lumnya mendapat muscle relaxant. Sebagian ahli anestesi melakukan ekstubasi setelah penderita sadar , bisa diperintah menarik napas dalam, batuk, menggelengkan kepala, dan menggerakkan ekstremitas. Penilaian yang lebih obyektif tentang seberapa besar pengaruh muscle relaxant adalah dengan menggunakan alat nerve stimulator.
DAFTAR PUSTAKA
- American Society of Anesthesiologists (ASA). Continuum of Depth of Sedation Definition of General Anesthesia and Levels of Sedation/Analgesia. October 27, 2004. Amended October 21, 2009. ASA Web site. Available at http://www.asahq.org/publicationsAndServices/standards/20.pdf. Accessed December 1, 2009.
- Sebel PS, Bowdle TA, Ghoneim MM, et al. The incidence of awareness during anesthesia: a multicenter United States study. Anesth Analg. Sep 2004;99(3):833-9, table of contents. [Medline].
- Jenkins K, Baker AB. Consent and anaesthetic risk. Anaesthesia. Oct 2003;58(10):962-84. [Medline].
- American Society of Anesthesiologists (ASA). Standards for basic anesthetic monitoring. Approved by ASA house of delegates October 21, 1986. Last amended October 25, 2005.
- Fischer SP. Development and effectiveness of an anesthesia preoperative evaluation clinic in a teaching hospital. Anesthesiology. Jul 1996;85(1):196-206. [Medline].
- Ezri T, Warters RD, Szmuk P, et al. The incidence of class "zero" airway and the impact of Mallampati score, age, sex, and body mass index on prediction of laryngoscopy grade. Anesth Analg. Oct 2001;93(4):1073-5, table of contents. [Medline].
- Ramachandran SK, Nafiu OO, Ghaferi A, Tremper KK, Shanks A, Kheterpal S. Independent predictors and outcomes of unanticipated early postoperative tracheal intubation after nonemergent, noncardiac surgery. Anesthesiology. Jul 2011;115(1):44-53. [Medline].
- Practice guidelines for preoperative fasting and the use of pharmacologic agents to reduce the risk of pulmonary aspiration: application to healthy patients undergoing elective procedures: a report by the American Society of Anesthesiologist Task Force on Preoperative Fasting. Anesthesiology. Mar 1999;90(3):896-905. [Medline].
- Lindenauer PK, Pekow P, Wang K, Mamidi DK, Gutierrez B, Benjamin EM. Perioperative beta-blocker therapy and mortality after major noncardiac surgery. N Engl J Med. Jul 28 2005;353(4):349-61. [Medline].
- Kaye AD, Kucera I, Sabar R. Perioperative anesthesia clinical considerations of alternative medicines. Anesthesiol Clin North America. Mar 2004;22(1):125-39. [Medline].
-Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia. 4th ed. Philadelphia, Pa: JB Lippincott; 2001.
-Chung F. Recovery pattern and home-readiness after ambulatory surgery. Anesth Analg. May 1995;80(5):896-902. [Medline].
-Davies JM, Pagenkopf D, Todd K, et al. Comparison of selection of preoperative laboratory tests: the computer vs the anaesthetist. Can J Anaesth. Dec 1994;41(12):1156-60. [Medline].
-Franks NP, Lieb WR. Molecular and cellular mechanisms of general anaesthesia. Nature. Feb 17 1994;(6464):607-14. [Medline].
-Hagberg CA. Special devices and techniques. Anesthesiol Clin North America. Dec 2002;20(4):907-32. [Medline].
-Stack CG, Rogers P, Linter SP. Monoamine oxidase inhibitors and anaesthesia. A review. Br J Anaesth. Feb 1988;(2):222-7. [Medline].