Cedera Kepala Ringan
- Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi.
- Pengelolaan:
- Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia, nyeri kepala
- Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
- Pemeriksaan neurologis
- Radiografi tengkorak
- Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi
- Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik
- CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria rawat
- Kriteria Rawat:
- Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
- Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
- Penurunan tingkat kesadaran
- Nyeri kepala sedang hingga berat
- Intoksikasi alkohol atau obat
- Fraktura tengkorak
- Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
- Cedera penyerta yang jelas
- Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
- CT scan abnormal
- Dipulangkan dari UGD:
- Pasien tidak memiliki kriteria rawat
- Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang 'lembar peringatan'
- Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu
Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan akan menuju pemulihan tanpa disertai hal-hal yang berarti, terkadang dengan sekuele neurologis yang sangat ringan. Namun sekitar 3% pasien secara tidak disangka memburuk dan gawat neurologis bila kelainan status mentalnya tidak diketahui secara dini.Oleh karena itu, tindakan yang optimal untuk pasien dengan cedera kepala ringan adalah dengan foto rotgen cranium agar lebih memastikan apakah ada gangguan neurologis lain yang bisa memperburuk keadaan di kemudian hari.
Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan fraktura tengkorak linear atau depressed, posisi kelenjar pineal bila mengalami kalsifikasi, level air-udara dalam sinus, pneumosefalus, fraktura fasial, dan benda asing.
Untuk Permintaan rutin radiografi sinar-x tengkorak untuk pasien dengan cedera kepala minor, di lakukan dengan pertimbangan:
Idealnya, CT scan harus dilakukan pada semua pasien, namun tetaplah pertimbangkan masalah biaya. Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dapat dipulangkan bila ada yang bertanggung jawab dalam pengawasan dirumah dan dengan menyertakan lembar peringatan' untuk menempatkan pasien dalam pengamatan ketat sekitar 12 jam dan membawa pasien kembali bila sesuatu terjadi. Bila tidak memiliki relasi yang dapat bertanggung-jawab, pasien tetap di UGD selama 12 jam dengan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam dan kemudian dipulangkan bila tampak stabil. Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan dikelola sesuai perjalanan neurologisnya pada hari-hari berikutnya. CT scan berikutnya dilakukan sebelum pasien dipulangkan, atau lebih awal bila terjadi perburukan neurologis.
Tulang belakang servikal serta bagian lainnya harus disinar-x bila ada nyeri atau tenderness. Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non narkotik seperti Tylenol (parasetamol). Toksoid tetanus diberikan bila terdapat luka terbuka. Tes darah rutin biasanya tidak perlu bila tidak ada cedera sistemik. Kadar alkohol darah dan skrining toksin urin mungkin diindikasikan untuk keperluan medikolegal.
Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan fraktura tengkorak linear atau depressed, posisi kelenjar pineal bila mengalami kalsifikasi, level air-udara dalam sinus, pneumosefalus, fraktura fasial, dan benda asing.
Untuk Permintaan rutin radiografi sinar-x tengkorak untuk pasien dengan cedera kepala minor, di lakukan dengan pertimbangan:
- Untuk kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-tanda dan gejala-gejala awal minimal seperti nyeri kepala, pusing, atau laserasi scalp, dianjurkan dipulangkan kelingkungan yang dapat dipertanggung jawabkan untuk pengamatan, dengan tidak memerlukan radiografi tengkorak
- Untuk kelompok dengan risiko sedang, dengan tanda-tanda awal seperti muntah, intoksikasi alkohol atau obat, amnesia posttraumatika, atau tanda-tanda adanya fraktura basilar atau depressed, tindakan yang dianjurkan termasuk peningkatan pengamatan ketat, pertimbangan untuk CT scan atau radiografi foto polos serta konsultasi bedah saraf.
- Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala- gejala awal paling serius seperti tingkat kesadaran yang tertekan atau menurun, tanda-tanda neurologis fokal atau cedera tembus, dilakukan konsultasi bedah saraf dan CT scan emergensi.
Idealnya, CT scan harus dilakukan pada semua pasien, namun tetaplah pertimbangkan masalah biaya. Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dapat dipulangkan bila ada yang bertanggung jawab dalam pengawasan dirumah dan dengan menyertakan lembar peringatan' untuk menempatkan pasien dalam pengamatan ketat sekitar 12 jam dan membawa pasien kembali bila sesuatu terjadi. Bila tidak memiliki relasi yang dapat bertanggung-jawab, pasien tetap di UGD selama 12 jam dengan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam dan kemudian dipulangkan bila tampak stabil. Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan dikelola sesuai perjalanan neurologisnya pada hari-hari berikutnya. CT scan berikutnya dilakukan sebelum pasien dipulangkan, atau lebih awal bila terjadi perburukan neurologis.
Tulang belakang servikal serta bagian lainnya harus disinar-x bila ada nyeri atau tenderness. Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non narkotik seperti Tylenol (parasetamol). Toksoid tetanus diberikan bila terdapat luka terbuka. Tes darah rutin biasanya tidak perlu bila tidak ada cedera sistemik. Kadar alkohol darah dan skrining toksin urin mungkin diindikasikan untuk keperluan medikolegal.
Cedera Kepala Sedang
- Definisi : Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-12).
- Pengelolaan: Di Unit Gawat Darurat:
- Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia, nyeri kepala
- Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
- Pemeriksaan neurologis
- Radiograf tengkorak
- Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi
- Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin
- Contoh darah untuk penentuan golongan darah
- Tes darah dasar dan EKG
- CT scan kepala
- Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal
- Setelah dirawat:
- Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam
- CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan neurologis
- Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala berat akan memperburuk pasien
- Kontrol setelah pulang biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan bila perlu 1 tahun setelah cedera
Saat masuk UGD, riwayat singkat diambil dan stabilitas kardiopulmonal dipastikan sebelum menilai status neurologisnya. Tes darah termasuk pemeriksaan rutin, profil koagulasi, kadar alkohol dan contoh untuk bank darah. Film tulang belakang leher diambil, CT scan umumnya diindikasikan. Pasien dirawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal.
Cedera Kepala Berat
- Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran.
- Pengelolaan: Di Unit Gawat Darurat
- Riwayat:
- Usia, jenis dan saat kecelakaan, Penggunaan alkohol atau obat-obatan, Perjalanan neurologis, Perjalanan tanda-tanda vital,Muntah, aspirasi, anoksia atau kejang, Riwayat penyakit sebelumnya, termasuk obat-obatan yang dipakai serta alergi
- Stabilisasi Kardiopulmoner:
- Jalan nafas, intubasi dini
- Tekanan darah, normalkan segera dengan Salin normal atau darah Foley,
- tube nasogastrik kateter
- Film diagnostik: tulang belakang leher, abdomen, pelvis, tengkorak, dada, ekstremiras
- Pemeriksaan Umum
- Tindakan Emergensi Untuk Cedera Yang Menyertai:
- Trakheostomi
- Tube dada
- Stabilisasi leher: kolar kaku, tong Gardner-Wells dan traksi Parasentesis abdominal
- Pemeriksaan Neurologis:
- Kemampuan membuka mata, Respons motor, Respons verbal, Reaksi cahaya pupil, Okulosefalik (dolls), Okulovestibular (kalorik)
- Obat-obat Terapeutik:
- Bikarbonat sodium
- Fenitoin(?)
- Steroid (???)
- Mannitol
- Hiperventilasi
- Tes Diagnostik: (desenden menurut yang diminati)
- CT scan
- Ventrikulogram udara
- Angiogram
- Di Unit Perawatan Intensif (UPI/ICU)
- Kelompok ini terdiri dari penderita yang tidak mampu mengikuti perintah sederhana bahkan setelah stabilisasi kardiopulmonal. Walau definisi tersebut memasukan cedera otak dalam spektrum yang luas, ia mengidentifikasikan kelompok dari penderita yang berada pada risiko maksimal atas morbiditas dan mortalitas. Pendekatan 'tunggu dan lihat' sangat mencelakakan dan diagnosis serta tindakan tepat adalah paling penting. Pengelolaan pasien dibagi lima tingkatan:
1. Stabilisasi cardiopulmoner
Cedera otak sering diperburuk oleh kerusakan sekunder. Miller melaporkan pasien dengan cedera otak berat yang dinilai saat masuk UGD, 30% dalam hipoksemik (PO2 <65 mmHg), 13% dengan hipotensif (TD sistolik < 95mmHg,dan 12% dengan anemik (hematokrit < 30%).
Diperlihatkan bahwa hipotensi saat masuk (TD sistolik <90 mmHg) adalah satu dari tiga faktor pada pasien dengan cedera kepala berat dengan CT scan normal (dua lainnya adalah usia > 40 tahun dan posturing motor) yang, bila ditemukan saat masuk, berhubungan dengan akan terjadinya peningkatan TIK. TIK tinggi berhubungan dengan outcome yang lebih buruk. Karenanya wajib untuk menstabilkan kardiopulmoner segera.
a. Jalan Nafas
Yang sering bersamaan dengan konkusi adalah terhentinya nafas untuk sementara. Apnea yang lama sering menjadi penyebab kematian yang segera pada suatu kecelakaan. Bila pernafasan buatan segera dilakukan, dapat dicapai outcome yang baik. Apnea, atelektasis, aspirasi dan sindroma distres respirasi akuta (ARDS) sering bersamaan dengan cedera kepala berat, dan karenanya satu-satunya aspek yang paling penting dalam pengelolaan segera pasien tersebut adalah mempertahankan jalan nafas yang baik. Setiap pasien dengan cedera kepala berat harus diintubasi segera. Kecermatan harus diperhatikan dalam menjamin letak yang benar dari tube endotrakhea, bukan esofageal. Jarang, bila perlu dilakukan trakheostomi emergensi, terutama pada pasien dengan cedera maksilofasial berat dimana intubasi dihindari karena pembengkakan berat jaringan lunak serta adanya distorsi anatomi.
Dalam usaha mempertahankan jalan nafas, saluran mulut dan nasal harus bersih dari semua benda asing, sekresi, darah dan muntah. Sekali tube endotrakheal pada tempatnya, balon harus digembungkan untuk mencegah atau mengurangi aspirasi, dan pengisapan seksama saluran trakheal harus dilakukan.
b. Tekanan Darah
Pada pasien cedera kepala sering di temukan Hipotensi dan hipoksia.Bila jalan nafas sudah diperbaiki, nadi dan tekanan darah pasien diperiksa dan siapkan jalur vena. Minimum dua jalur vena (gunakan Jelcos 14 atau 16) harus terpasang baik. Umumnya digunakan kateter vena infraklavikular perkutaneus subklavian atau jugular, walau kadang-kadang pembukaan vena safena atau brakhial diperlukan untuk mendapat jalur vena yang memadai. Pada titik ini, darah bisa diambil untuk pemeriksaan rutin, skrining koagulasi, kadar alkohol serum, contoh untuk bank darah serta gas darah arterial.
Bila pasien hipotensif, sangat penting untuk memperbaikinya sesegera mungkin. Hipotensi biasanya tidak karena cedera kepala semata, kecuali pada fase terminal dimana sudah terjadi kegagalan medullari. Jauh lebih umum, hipotensi adalah pertanda kehilangan darah banyak,yang mana bisa tampak atau tersembunyi, atau keduanya.
Pada pasien cedera dengan hipotensif, pertama harus dipikirkan cedera cord spinal yang terjadi (dengan kuadriplegia atau paraplegia) serta kontusi atau tamponade kardiak dan pneumotoraks tension sebagai penyebabnya. Selama upaya mencari penyebab hipotensi, penggantian volume harus dimulai dengan menggunakan salin normal atau plasmanat. Transfusi darah harus dilakukan sesegera mungkin bila tekanan darah tidak bereaksi memadai terhadap penggantian cairan atau bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gm% (HCT 30%). Darah kelompok O Rh negatif mungkin bisa digunakan selama belum tersedianya darah yang telah dibanding silang. Pentingnya parasentesis abdominal rutin pada pasien koma dengan hipotensif sudah terbukti.
Harus ditekankan bahwa pemeriksaan neurologis tidak berarti sepanjang pasien dalam hipotensif. Pasien yang tidak responsif terhadap stimulasi saat hipotensif, sering kembali kepemeriksaan neurologis yang mendekati normal segera setelah tekanan darah diperbaiki.
c. Kateter
Kateter Foley ( 16-18 French untuk dewasa) diinsersikan dengan hati-hati dan urine dikirimkan untuk pemeriksaan urinalisis dan skrining toksik (bila tersedia). Hematuria gross mengarah pada cedera renal dan iniindikasi untuk IVP emergensi. Hematuria ringan mungkin sekunder atas kateterisasi traumatika, kontusi renal atau jarang-jarang aneurisma aortik dissekting. Perhatian khusus harus diberikan atas catatan masukan dan keluaran cairan, terutama pada anak dan orang tua. Sebagai tambahan untuk menjamin keseimbangan cairan, setiap catatan membantu penaksiran kehilangan darah serta pengamatan perfusi renal.
a. Jalan Nafas
Yang sering bersamaan dengan konkusi adalah terhentinya nafas untuk sementara. Apnea yang lama sering menjadi penyebab kematian yang segera pada suatu kecelakaan. Bila pernafasan buatan segera dilakukan, dapat dicapai outcome yang baik. Apnea, atelektasis, aspirasi dan sindroma distres respirasi akuta (ARDS) sering bersamaan dengan cedera kepala berat, dan karenanya satu-satunya aspek yang paling penting dalam pengelolaan segera pasien tersebut adalah mempertahankan jalan nafas yang baik. Setiap pasien dengan cedera kepala berat harus diintubasi segera. Kecermatan harus diperhatikan dalam menjamin letak yang benar dari tube endotrakhea, bukan esofageal. Jarang, bila perlu dilakukan trakheostomi emergensi, terutama pada pasien dengan cedera maksilofasial berat dimana intubasi dihindari karena pembengkakan berat jaringan lunak serta adanya distorsi anatomi.
Dalam usaha mempertahankan jalan nafas, saluran mulut dan nasal harus bersih dari semua benda asing, sekresi, darah dan muntah. Sekali tube endotrakheal pada tempatnya, balon harus digembungkan untuk mencegah atau mengurangi aspirasi, dan pengisapan seksama saluran trakheal harus dilakukan.
b. Tekanan Darah
Pada pasien cedera kepala sering di temukan Hipotensi dan hipoksia.Bila jalan nafas sudah diperbaiki, nadi dan tekanan darah pasien diperiksa dan siapkan jalur vena. Minimum dua jalur vena (gunakan Jelcos 14 atau 16) harus terpasang baik. Umumnya digunakan kateter vena infraklavikular perkutaneus subklavian atau jugular, walau kadang-kadang pembukaan vena safena atau brakhial diperlukan untuk mendapat jalur vena yang memadai. Pada titik ini, darah bisa diambil untuk pemeriksaan rutin, skrining koagulasi, kadar alkohol serum, contoh untuk bank darah serta gas darah arterial.
Bila pasien hipotensif, sangat penting untuk memperbaikinya sesegera mungkin. Hipotensi biasanya tidak karena cedera kepala semata, kecuali pada fase terminal dimana sudah terjadi kegagalan medullari. Jauh lebih umum, hipotensi adalah pertanda kehilangan darah banyak,yang mana bisa tampak atau tersembunyi, atau keduanya.
Pada pasien cedera dengan hipotensif, pertama harus dipikirkan cedera cord spinal yang terjadi (dengan kuadriplegia atau paraplegia) serta kontusi atau tamponade kardiak dan pneumotoraks tension sebagai penyebabnya. Selama upaya mencari penyebab hipotensi, penggantian volume harus dimulai dengan menggunakan salin normal atau plasmanat. Transfusi darah harus dilakukan sesegera mungkin bila tekanan darah tidak bereaksi memadai terhadap penggantian cairan atau bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gm% (HCT 30%). Darah kelompok O Rh negatif mungkin bisa digunakan selama belum tersedianya darah yang telah dibanding silang. Pentingnya parasentesis abdominal rutin pada pasien koma dengan hipotensif sudah terbukti.
Harus ditekankan bahwa pemeriksaan neurologis tidak berarti sepanjang pasien dalam hipotensif. Pasien yang tidak responsif terhadap stimulasi saat hipotensif, sering kembali kepemeriksaan neurologis yang mendekati normal segera setelah tekanan darah diperbaiki.
c. Kateter
Kateter Foley ( 16-18 French untuk dewasa) diinsersikan dengan hati-hati dan urine dikirimkan untuk pemeriksaan urinalisis dan skrining toksik (bila tersedia). Hematuria gross mengarah pada cedera renal dan iniindikasi untuk IVP emergensi. Hematuria ringan mungkin sekunder atas kateterisasi traumatika, kontusi renal atau jarang-jarang aneurisma aortik dissekting. Perhatian khusus harus diberikan atas catatan masukan dan keluaran cairan, terutama pada anak dan orang tua. Sebagai tambahan untuk menjamin keseimbangan cairan, setiap catatan membantu penaksiran kehilangan darah serta pengamatan perfusi renal.
Setelah stabilitas pulmonal tercapai pada pasien yang mengalami cedera kepala berat, maka di lanjutkan pada tahap berikutnya yaitu
2. Pemeriksaan Umum
Selama proses penstabilan kardiopulmoner, dilakukan pemeriksaan umum secara cepat untuk mencari cedera lain. Lebih dari 50% pasien cedera kepala berat disertai cedera sistemik major lainnya, memerlukan penanganan oleh spesialis lain. Perhatian khusus diberikan pada:
- Cedera kepala dan leher: laserasi, tempat perdarahan, otorrhea, rhinorrhea, mata racoon (ekkhimosis periorbital).
- Cedera toraks: fraktura iga, pneumotoraks atau hemotoraks, tamponade kardiak, (dengan bunyi jantung lemah, distensi vena jugular, dan hipotensi), aspirasi, atau ARDS.
- Cedera abdominal: terutama laserasi hati, limpa atau ginjal. Perdarahan biasanya berakibat tenderness, guarding atau distensi abdominal. Namun tanda-tanda ini mungkin tidak muncul dini dan mungkin tersembunyi pada pasien koma. Adanya bising usus biasanya pertanda tenang.
- Cedera pelvik: Cedera pada pasien yang tidak koma bisa ditetapkan secara klinis. Konfirmasi radiologis biasanya diperlukan. Pemeriksaan rektal mungkin berguna. Cedera pelvik sering bersamaan dengan kehilangan darah tersembunyi dalam jumlah besar.
- Cedera tulang belakang: Trauma kepala dan tulang belakang mungkin bersamaan, dan kombinasi tersebut harus selalu dicari walau kejadiannya hanya 2 hingga 5% dari pasien cederaCedera ekstremitas: Mungkin terjadi kerusakan tulang atau jaringan lunak (otot, saraf, pembuluh darah). Fraktura pada pasien gelisah harus dibidai segera untuk mencegah kerusakan saraf dan pembuluh bersangkutan. Tindakan definitif pada kebanyakan pasien cedera ekstremitas dapat ditunda hingga setelah tindakan terhadap masalah yang mengancam nyawa. kepala berat. Tulang belakang leher paling sering dikenai.
3. Pemeriksaan Neurologis
Segera setelah status kardiopulmoner distabilkan, pemeriksaan neurologis cepat dan terarah dilaksanakan. Walau berbagai faktor dapat menghalangi penilaian akurat dari status neurologis pasien pada saat tersebut (hipotensi, hipoksia, atau intoksikasi), data yang berharga dapat diperoleh. Antara alert penuh dan koma dalam, terjadi perubahan kesadaran yang sinambung hingga sulit untuk melakukan penilaian secara objektif. Sebagai dikemukakan didepan, untuk keperluan ini SKG digunakan secara luas.
Bila pasien menunjukkan respons yang bervariasi terhadap stimulasi, atau responsnya berbeda pada setiap sisi, tampilan respons yang terbaik lebih merupakan indikator prognostik yang lebih akurat dibanding respons yang terburuk. Untuk mengikuti kecenderungan arah perjalanan penyakit, lebih baik melaporkan baik respons terbaik maupun terburuk. Dengan kata lain, respons motor sisi kiri dan kanan dicatat terpisah. Sebagai stimulus nyeri standar adalah penekanan dalam terhadap bed kuku.
Pemeriksaan tidak hanya terbatas pada parameter ketidaksadaran yang digunakan dalam SKG (kemampuan membuka mata, respons motor serta respons verbal), namun hal yang sama pentingnya dalam menaksir pasien dengan gangguan kesadaran adalah usia, tanda-tanda vital, res- pons pupil, dan gerakan mata. SKG memberikan grading sederhana dari arousal dan kapasitas fungsional korteks serebral, dan respons pupil serta gerakan mata digunakan untuk menilai fungsi batang otak. Usia lanjut, hipotensi, dan hipoksia semuanya mempengaruhi buruknya outcome. Semua faktor tersebut berpengaruh dalam penentuan prognosis pada cedera kepala berat.
Tabel . Pemeriksaan neurologis awal pada cedera kepala
-------------------------------------------------------
1. Skala Koma Glasgow
2. Respons pupil terhadap cahaya
3. Gerakan mata
a. Okulosefalik (dolls)
b. Okulovestibular (kalorik)
4. Kekuatan motor
5. Pemeriksaan sensori sederhana
-------------------------------------------------------
4. Prosedur Diagnostik
Segera setelah keadaan kardiorespiratori distabilkan dan pemeriksaan neurologis pendahuluan dilengkapkan, segera ditentukan adanya lesi massa intrakranial. Pasien diintubasi dan diparalisakan memakai pankuronium (Pavulon) atau obat sejenis dan dipasang ventilasi mekanik. Manuver ini mencegah pasien menggeliat atau bergerak, yang berarti mencegah terjadinya peninggian TIK dan secara nyata menambah kualitas pemeriksaan diagnostik. CT scanning mengungguli semua tes yang lebih kuno. Namun tes lain digunakan juga baik sebagai pengganti CT scanning, atau tes angiografi untuk melengkapi data tertentu.
BACA JUGA KLASIFIKASI CEDERA KEPALA DISINI