PENDAHULUAN
Menjelang abad ke-21 malnutrisi terus menjadi perhatian di Inggris. Studi terbaru menunjukkan kira-kira 40% pasien rawat inap mengalami malnutrisi dengan berbagai derajat keparahan. Lebih dari 1/3 pasien bedah gastrointestinal mengalami malnutrisi “sedang”.(Heys SD. 1999). Malnutrisi dan berat badan yang kurang berhubungan dengan perubahan fisiologi seluler dan fungsi organ yang penting pada pasien bedah. Akibat dari berat badan kurang pre-operatif akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas post operatif.
Komplikasi seperti bocornya anastomosis usus, dehisensi luka dan sepsis sering ditemukan pada pasien-pasien dengan malnutrisi. Terapi nutrisi yang adekuat, pada saat yang tepat, dengan pemberian antibiotik dan terapi suportif lainnya akan menjaga keseimbangan pasien.
BAGAIMANA RESPON TUBUH PASIEN TERHADAP MALNUTRISI
Umumnya malnutrisi bedah yang sederhana terjadi akibat pasien dipuasakan, yang memang diperlukan atau sebenarnya pasien tersebut tidak perlu puasa terlalu lama, misalnya akibat tradisi yang salah atau karena pasien menjalani berbagai pemeriksaan yang mengharuskan puasa berkali-kali.
Penderita dengan penyakit kritis, baik yang diakibatkan oleh trauma, pembedahan, sepsis, luka bakar maupun radio/kemoterapi, akan mengalami perubahan metabolisme dasar yang disebut stres metabolik. Dalam keadaan demikian, sisa glukosa dan makanan akan habis dalam 2-4 jam. Setelah itu tubuh mulai menguraikan glikogen yang disimpan dalam hati dan otot. Cadangan glikogen ini hanya cukup untuk beberapa jam. Pada keadaan normal cadangan ini dipergunakan untuk mengisi sela waktu antara makan. Setelah glikogen habis, tubuh menggantikan cadangan lemak, dari lemak hanya didapat sedikit glukosa. Penggunaan cadangan glukosa untuk mengurangi glukoneogenesis yang berasal dari protein, disebut “nitrogen sparing”.
Umumnya malnutrisi bedah yang sederhana terjadi akibat pasien dipuasakan, yang memang diperlukan atau sebenarnya pasien tersebut tidak perlu puasa terlalu lama, misalnya akibat tradisi yang salah atau karena pasien menjalani berbagai pemeriksaan yang mengharuskan puasa berkali-kali.
Penderita dengan penyakit kritis, baik yang diakibatkan oleh trauma, pembedahan, sepsis, luka bakar maupun radio/kemoterapi, akan mengalami perubahan metabolisme dasar yang disebut stres metabolik. Dalam keadaan demikian, sisa glukosa dan makanan akan habis dalam 2-4 jam. Setelah itu tubuh mulai menguraikan glikogen yang disimpan dalam hati dan otot. Cadangan glikogen ini hanya cukup untuk beberapa jam. Pada keadaan normal cadangan ini dipergunakan untuk mengisi sela waktu antara makan. Setelah glikogen habis, tubuh menggantikan cadangan lemak, dari lemak hanya didapat sedikit glukosa. Penggunaan cadangan glukosa untuk mengurangi glukoneogenesis yang berasal dari protein, disebut “nitrogen sparing”.
Jika nutrisi berhenti lebih dari 24 jam, atau masukan karbohidrat dan protein tidak cukup, tubuh melakukan glukoneogenesis yaitu jalur alternatif membentuk glukosa dengan memecah protein yang disebut proteolisis, residu nitrogen akan keluar dari badan, meyebabkan balans negatif protein awal sebanyak 12 g/hari.
Untuk memenuhi kebutuhan energi basal 20-25 Kcal/kg/hari diperlukan pemecahan protein terutama glutamin dan alanin, 125-150 gram/hari. Ini setara dengan 200-300 gram jaringan otot yang hilang untuk setiap hari puasa.
Selain menghasilkan glukosa, yang sangat diperlukan untuk energi susunan syaraf pusat, proteolisis otot menghasilkan berbagai asam amino untuk sintesa “acute phase proteins”(C-reactive protein dan fibrinogen) serta untuk penyembuhan luka, proteolisis ini mengakibatkan hambatan sintesis “viceral proteins” yang mempunyai waktu paruh pendek, terutama enzim-enzim di hepar, imunoglobulin dan albumin. Jika setelah 3-5 hari tetap tidak ada masukan asam amino, cadangan protein akan mencapai titik kritis setelah puasa lebih dari satu minggu, kehilangan nitrogen tiap hari bertambah dengan setengahnya.
Puasa berlarut atau malnutrisi adalah penyebab utama perburukan proses penyakit yang sedang berlangsung. Gangguan nutrisi yang dapat ditolerir sebelum terjadi disfungsi jaringan dari organ yang berkaitan dengan malnutrisi, umumnya banyak tergantung kepada status nutrisi sebelum sakit dan status metabolik penderita yang sedang berlangsung’
Dapat dikatakan, bahwa pasien kritis sedang berada didalam stres sistemik.
Keadaan ini ditandai dengan adanya pergeseran ekstensif dari posisi metabolik basal yang normal kekeadaan hipermetabolik atau “Increased resting energy” (REE). Respons hipermetabolik ini meningkatkan kebutuhan enersi, mempercepat proteolisis diseluruh badan, katabolisme, lipolisis, peningkatan cardiac out put, peningkatan komsumsi oksigen, temperatur badan dan penurunan resistensi perifer vaskuler. Selama keadaan hipermetabolik, lalu lintas dan penggunaan berbagai substrat berubah, sehingga terjadi peningkatan proteolisis otot skelet, mobilisasi asam lemak, dan glukoneogenesis asam amino yang dilepas dari otot skelet lalu dikirim lewat jalan pintas ke hati, yang dipergunakan untuk glukoneogenesis dan untuk sintesis acute-phases proteins.
Glukosa yang baru disintesis tersebut meninggalkan hati menuju sel-sel dan jaringan yang enersinya tergantung kepada glukosa, seperti sel-sel imunitas dan daerah luka. Oksidasi dari lemak akan menghasilkan sebagian besar kebutuhan energi untuk proses metabolisme melalui proses “autocannibalism” ini, badan akan memobilisasi cadangan protein dalam otot untuk memenuhi kebutuhan sintesis protein dan glukosa yang sangat penting untuk penyembuhan luka dan melawan invasi kuman. Jadi respons hipermetabolik diperlukan agar manusia dapat selamat setelah menderita trauma berat atau menjadi pasien kritis di ICU.
Apabila kebutuhan oleh kenaikan metabolisme tidak terpenuhi, maka akan terjadi kehilangan protein viceral, penurunan daya tahan terhadap invasi bakteri dan gangguan penyembuhan luka. Penambahan kebutuhan akan glukosa yang diberikan dari luar saja, tidak akan mencukupi kebutuhan untuk peningkatan metabolisme, sebab kejadian intoleransi terhadap glukosa adalah hal yang biasa pada pasien kritis akibat stres, maka bantuan nutrisi yang terdiri dari formula yang sesuai sangat diperlukan dalam situasi seperti ini.
Mediator yang berperan dalam respons hiperkatabolisme akibat stres antara lain interleukin proinflamasi seperti Il-1, Il-6, Il-8, tumor necrosis factor (TNF-ยต), interferon-¡(INF-¡) glucocortison, catecolamine, oksigen radikal bebas, dan eicosanoid. Telah diketahui pula bahwa respons inflamasi adalah komponen penting sebagai respons immune primer non-spesifik sehingga berperan dalam penyembuhan luka dan reparasi jaringan, tetapi apabila respons inflamasi sistemik tersebut berlebihan, dapat berakibat buruk.
Perubahan metabolik secara klinik dapat dimonitor dengan tehnik tidak langsung yaitu dengan mengukur kadar acute phase protein seperti C-reactive proteins dan fibrinogen. Protein tersebut kadarnya naik dengan cepat segera setelah terjadi rangsangan inflamasi, yaitu mediator proinflamasi akan langsung memberi sinyal untuk terjadinya proteolisis otot skelet, sehingga akan diperoleh nitrogen bebas untuk sintesis acute phases protein. Peningkatan acute phase reactans akan segera diikuti dengan turunnya secara drastis” circulaty constitutive protein” seperti albumin, prealbumin, transferin dan retinol-binding protein.
Peristiwa perubahan kadar protein plasma yang terjadi disebabkan dua hal :
- Perubahan jenis protein yang dihasilkan liver
- Kehilangan protein transkapiler
Dari sudut pandang nutrisi, keadaan hipermetabolik dapat dianggap sebagai bentuk malnutrisi yang terjadi dan berkembang secara cepat. Meskipun didukung oleh beberapa bukti klinis, bahwa bantuan nutrisi yang agresif pada fase ini akan memperbaiki hasil pengobatan, tetapi harus dipertimbangkan pula komplikasi akibat bantuan nutrisi ini.
Karena itu, supaya aman bagi pasien kita harus berpegang pada beberapa prinsip dasar dan apa sebenarnya yang ingin kita capai:
- Mencegah kekurangan nutrisi dan defisiensi beberapa vitamin khusus, serta mengurangi komplikasi pemberian Terapi Nutrisi Enteral (TNE) dan Terapi Nutrisi Parenteral (TNPE).
- Dapat memberikan nutrisi dalam jumlah dan komposisi yang tepat sehingga diharapkan dapat mengurangi atau mencegah komplikasi akibat gangguan metabolisme yang merugikan.
- Cara pemberian yang seaman mungkin