ETIKA KEDOKTERAN
PENDAHULUHAN
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari (a) semakin tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, (b) semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya arus informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.
Pada dasarnya suatu profesi memiliki 3 syarat utama, yaitu : diperoleh melalui pelatihan yang ekstensif, memiliki komponen intelektual yang bermakna dalam melakukan tugasnya, dan memberikan pelayanan yang penting kepada masyarakat. Selain itu juga memiliki 3 syarat umum, yaitu : sertifikasi, organisasi profesi, otonomi dalam bekerja. Pemberian sertifikasi dilakukan tidak sekali untuk selamanya, melainkan harus selalu memperoleh validasi melalui “proficiency check”. Otonomi mengakibatkan kelompok profesi ini menjadi “eksklusif” dan memerlukan self regulation dalam rangka menjaga tanggung-jawab moral dan tanggung-jawab profesinya kepada masyarakat. Mereka umumnya memiliki etika profesi dan standar profesi serta berbagai tatanan yang menunjang adanya self regulation tersebut.
Di dalam sehari-hari kita mengenal 2 jenis profesi, yaitu profesi konsultan (consultant profession) dan profesi scholar (scholarly profession). Pada jenis profesi konsultan terdapat hubungan individual antara professional dengan klien dan biasanya melakukan transaksi fee-for-service, misalnya dokter, psikolog dan pengacara; sedangkan jenis profesi scholar biasanya memiliki klien banyak pada satu waktu dan bekerja berdasarkan gaji dan honor, seperti guru, perawat dan tenaga kesehatan lain di rumah sakit. Kedua jenis profesi tersebut sama-sama memiliki tanggung-jawab yang khas, yaitu tanggung-jawab profesi.
Akhir-akhir ini memang ada kecenderungan pergeseran dari jenis profesi konsultan ke arah profesi scholar, misalnya tumbuhnya bentuk rumah sakit, klinik, law firm dll. Pada “jenis profesi” baru ini terjadi modifikasi hubungan hukum antara konsultan dengan kliennya. Di rumah sakit terjadilah hubungan segitiga antara “pasien-dokter-rumah sakit”, dan di law firm terjadi hubungan “klien-profesional-law firm”. Transaksi fee for service juga bergerak ke arah system asuransi atau pre-paid (system kapitasi).
HUBUNGAN DOKTER DENGAN PASIEN
Jenis hubungan dokter pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran, sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang didalam prinsip-prinsip moral profesi, yaitu autonomy (menghormati hak-hak pasien), beneficence (berorientasi kepada kebaikan pasien), non maleficence (tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan paien), dan justice (meniadakan diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip utama; dan veracity (kebenaran=truthfull information), fidelity (kesetiaan), privacy, dan confidentiality (menjaga kerahasiaan) sebagai prinsip turunannya.
Sebagaimana layaknya hubungan atara professional dengan klien pada umumnya, maka hubungan antara dokter dengan pasien juga mengikuti alternative jenis hubungan yang sama. Pada awalnya hubungan dokter-pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistic, dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Sifat hubungan paternalistic ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan moral (orang barat) saat ini, sehingga berkembanglah teori hubungan kontraktual (sekitar tahun 1972-1975). Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori social contract di bidang politik.
Dikatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas segala keputusan teknis, sedagkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter.
Walaupun hubungan dokter – pasien ini bersifat kontraktual, namun mengingat sifat praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut bukanlah hasil yang akan dicapai (resultaat verbintennis) melainkan upayanya yang sungguh-sungguh (inspanning verbitennis). Hubungan kontrak semacam ini harus dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan mengacu kepada suatu standar atau benchmark tertentu. Oleh karena itu sejak sebelum Masehi telah ada code of Hammurabi yang mengancam dengan pidana bagi dokter yang karena salahnya telah mangakibatkan cedera atau matinya pasien, dan code of Hittites yang mewajibka dokter untuk membayar ganti rugi kepada pasiennya yang terbukti telah dirugikan karena kesalahannya/ kelalaiannya. Hal ini sangat berarti pada kasus tersebut diatas.
Dengan
menganggap teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai hubungan dokter
dengan pasien, maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih hubungan yang
berdasar atas virtue sebagai hubungan
yang paling cocok bagi hubungan dokter – pasien. Hubungan kontrak mereduksi
hubungan dokter – pasien menjadi “peraturan” dan “kewajiban” saja, sehingga
seseorang dokter dianggap “baik” bila ia telah melakukan kewajiban dan
peraturan (followed the rules).
Pada hubungan dokter – pasien yang virtue – based dirumuskan bahwa hubungan
itu bertumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak ada satupun
ketentuan yang ditentukan pada permulaan dapat menentukan masa depan. Baik
dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi
dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja
komunikasi yang baik tersebut membutuhkan prinsip-prinsip moral tersebut
diatas, termasuk informed consent
yang berasal dari prinsip autonomy.
HAK PASIEN DAN KEWAJIBAN DOKTER
Berdasarkan
hubungan kontrak di atas muncullah hak-hak pasien yang pada dasarnya terdiri
dari dua hak, yaitu: (1) the Rights to health care dan (2) the Rights to self
determination.
Secara tegas the World Medical
Association telah mengeluarkan Declaration of Lisbon on the Rights of the
Patient (1991), yaitu hak memilih dokter secara bebas; hak dirawat oleh dokter
yang bebas dalam membuat keputusan klinis dan etis; hak untuk menerima atau
menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat; hak untuk dihormati
kerahasiaan dirinya; hak untuk mati secara bermartabat; dan hak untuk menerima
atau menolak dukungan spiritual atau moral.
UU Kesehatan menyebutkan beberapa
hak pasien, seperti hak atas informasi, hak atas second opinion, hak untuk memeberikan persetujuan atau menolak
suatu tindakan medis, hak untuk kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan
kesehatan, dan hak untuk memperoleh ganti rugi apabila ia dirugikan akibat
kesalahan tenaga kesehatan.
Ditjen Yanmed Depkes RI mengeluarkan
Surat Edaran No YM.02.04.3.5.2504 thn 1997 yang berisikan Pedoman Hak dan
Kewajiban Pasien, Dokter dan rumah sakit. Akhirnya dalam Muktamar IDI akhir
Oktober 2000 telah dideklarasikan hak dan kewajiban pasien dan dokter.
Di sisi lain para pasien juga
memiliki kewajiban, demikian pula dokter juga memiliki hak. Namun yang lebih
utama dibicarakan adalah kewajiban dokter yang dimilikinya sejak dia
mengucapkan sumpah dokter. Kewajiban tersebut adalah (a) kewajiban profesi
sebagaimana terdapat di dalam lafal sumpah dokter, kode etik kedokteran,
standar perilaku profesi (SOP) dan standar pelayanan medis (SPM), serta (b)
kewajiban yang lahir oleh karena adanya hubungan dokter-pasien.
UU no. 29 thn 2004 tentang Praktik
Kedokteran merumuskan hak dan kewajiban dokter dan pasien di dalam pasal-pasal
50-53. Dokter dan dokter gigi memiliki hak untuk memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar prosedur operasional, hak
untuk memberikan layanan medis menurut standar profesi dan satndar prosedur
opersional, hak memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien
ataukeluarganya danhak menerima imbalan jasa. Di sisi lain dokter dan dokter
gigi berkewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien
apablia tidakmampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia, melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, dan
menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran/kedokteran
gigi.
Sementara itu, berdasarkan UU
Praktik Kedokteran pasien memiliki hak untuk mendapatkan penjelasan secara
lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3),
meminta pendapat dokter lain, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan
medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis. Adapaun pasal
45 ayat (3) menyatakan tentang penjelasan tersebut di atas sekurang-kurangnya
meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang
akan dilakukan, alternative tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi
yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan. Di
sisi lain pasien berkewajiban memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi
nasihat dan petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana
pelayanan kesehatan, dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Informed Consent
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien.
Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih kearah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.
- Threshold elements
- Information elements
- Consent elements
- Dinyatakan (expressed)
- Baik secara lisan maupun tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau beresiko mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna. Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.
- Tidak dinyatakan (implied)
- Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.