Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menyaring, mendiagnosis dan melihat komplikasi yang telah terjadi. Pemeriksaan Penyaring yang dilakukan pada kelompok dengan usia lebih dari 45 tahun, BB lebih dari 110% BB Idaman, hipertensi (lebih dari 140/90 mmHg), riwayat DM pada garis keturunan, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, BB lahir > 4000 gram, kadar K-HDL kurang dari 35 mg/dl dan atau kadar TG lebih dari= 250 mg/dl
Selain itu Pemeriksaan laboratorium juga dapat digunakan sebagai penentu diagnosis apabila GDS lebih dari 200 mg/dL dan/atau GDP lebih dari 126 mg/dL pada paseien dengan gejala khas DM sedangkan pada Pasien tanpa gejala/tanda DM diagnosis ditegakkan pada nilai kadar glukosa abnormal 1 kali, perlu 1 kali lagi nilai abnormal atau kadar glukosa darah pasca TTGOlebih dari 200 mg/dL.
Pemeriksaan Laboratorium pada komplikasi Diabetes Melitus
Pada diabetes terdapat penyulit akut dan penyulit kronis. Pada penyulit akut dibagi menjadi tiga yaitu keto koma hipoglikemia, asidosis diabetik dan koma hiperosmolar non ketotik. pada koma ketoasidosis biasanya ditemukan Gejala DM tidak terkontrol,, rasa lemah, anoreksia, mual, muntah, sakit perut. hasil pemeriksaan lab yang tampak antara lain adanya hiperglikemia (300-800 mg/dL), ketonemia, kadar bikarbonat menurun, PH darah menurun, kadar BUN dan ureum darah meningkat, jumlah sel darah dan Ht meningkat, kadar protein plasma meningkat. komplikasi akut yang keduua yaitu hiperosmolar non ketotik yang timbul dengan gejala : poliuria, polidipsia, letargia. pada pemeriksaan lab dapat diketemukan kadar glukosa darah sangat tinggi, kadar bikarbonat plasma normal, PH darah : normal dimana pada keadaan ini Insulin masih cukup untuk mengatur lipolisis, terjadi gangguan metabolisme karbohidrat dan protein, tidak terjadi peningkatan produksi benda keton, terjadi hiperglikemi, dehidrasi dan kehilangan elektrolit.
Komplikasi akut yang berikutnya adalah hipoglikemia dimana terdapat keadaan kadar glukosa darah < 45 mg/dL dengan gejala-gejala p,using, kesadaran menurun sampai koma, biasanya timbul bila kadar glukosa turun dengan cepat, terutama terjadi pada usia lanjut, menyebabkan kemunduran mental, paling sering pada pemakai sulfonylurea dan insulin.
Pada komplikasi kronis, pemeriksaan lab memegang fungsi penting pada komplikasi neuropati. dimana diagnosis neuropati ditegakkan bilamana kadar albumin urin >= 30 mg/24 jam pada 2-3 kali pemeriksaan dalam waktu 3 bulan, tanpa penyebab albuminuria lain, misalnya :
aktivitas fisik, i,nfeksi saluran kemih, gagal jantung, hipertensi berat, demam tinggi
aktivitas fisik, i,nfeksi saluran kemih, gagal jantung, hipertensi berat, demam tinggi
Pemeriksaan Insulin
Untuk menukur kadar insulin saat melakukan uji toleransi glukosa, maka serum atau plasma perlu dipisahkan dalam waktu 30 menit sesudah pengambilam spesimen sebelum diassay. Kadar insulin imunoreaktif normal berkisar antara 5 - 20µU/mL dalam keadaan puasa, dan mencapai 50 – 130 µU/mL sesudah satu jam, dan biasanya turun kembali dibawah 30µU/mL sesudah 2 jam. Kadar insulin selama TTGO jarang memiliki manfaat klinis karena alasan-alasan berikut ini : bila kadar glukosa puasa melampaui 120 mg.dL, hiperinsulinemia dapat timbul secara terlamabat sebagai akibat resistensi insulin pada penderita DM II; akan tetapi juga dapat terjadi pada bentuk ringan ataupun fase-fase awal dari DM I dimana pelepasan insulin dini yang lambat dapat menyebabkan hiperglikemia tertunda yang dapat merangsang pelepasan insulin berlebihan setelah 2 jam.
Untuk kesehatan yang baik, tubuh harus mampu menjaga kadar insulin dan glukosa dalam keseimbangan. With too little insulin, blood sugar remains higher than normal (a condition known as hyperglycemia) and cells can't get the energy they need. Dengan insulin terlalu sedikit, gula darah tetap lebih tinggi dari biasanya (kondisi yang dikenal sebagai hiperglikemia) dan sel-sel tidak bisa mendapatkan energi yang mereka butuhkan. With too much insulin, blood sugar decreases (hypoglycemia), causing symptoms such as sweating, trembling, lightheadedness, and in extreme cases, shock. Dengan terlalu banyak insulin, menurunkan gula darah (hipoglikemia), menyebabkan gejala seperti berkeringat, gemetar, sakit kepala ringan, dan dalam kasus yang ekstrim, shock. The most common cause of abnormal fluctuations in blood sugar is diabetes. Penyebab paling umum dari fluktuasi abnormal pada gula darah diabetes.
Pemeriksaan C peptida
Uji PerformedC-peptida diukur untuk membedakan antara insulin diproduksi oleh tubuh dan insulin disuntikkan ke dalam tubuh. Bila pankreas memproduksi insulin, itu dimulai sebagai molekul besar. Molekul ini terbagi menjadi dua bagian: insulin dan C-peptida. Fungsi C-peptida tidak diketahui. Tingkat C-peptide dapat diukur pada pasien dengan diabetes tipe 2 untuk melihat apakah ada insulin masih diproduksi oleh tubuh. Hal ini juga dapat diukur dalam kasus hipoglikemia (gula darah rendah) untuk melihat apakah tubuh seseorang memproduksi insulin terlalu banyak. Normal : 0.5 menjadi 2,0 ng / mL (nanogram per mililiter)C-peptida adalah tanda bahwa tubuh memproduksi insulin. nilai rendah (atau tidak ada C-peptida insulin) menunjukkan bahwa pankreas Anda memproduksi insulin sedikit atau tidak ada.
Diagnosis Kerja
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Bahan darah yang dapat digunakan dengan cara ensimatik antara laian adalah plasma vena. PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, difungsi ereksi dan pruritus vilva. Apabila ditemukan gejala khas DM, permeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan IMT > 25 kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai berikut : 1) aktivitas fisik kurang,
2) riwayat keluarga mengidap DM pada keuturunan pertama,
3) masuk kelompok etnik resiko tinggi,
4) wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat >4000 gram awau riwayat diabetes melitus
gestasional,
5) Hipertensi,
6) Kolesterol HDL <35mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL,
7) Wanita dengan sindrom kistik ovarium,
8) riwayat Toleranesi glukosa terganggu atau glukosa darah puasa terganggu,
9) keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin, dan
10) riwayat penyakit kardiovaskular.
Pada tes penyaring yang khusus ditujukan untuk kelompok beresiko DM pada penduduk umumnya tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain adanya pemeriksaan penyarin utnuk DM dalam rangkaian pemeriksaan terserbut sangat dianjurkan. Pemeriksaan penampisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu atau TTGO. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung gejala klinis masing-masing.
Diagnosis Banding
Diabetes melitus tipe lain selain tipe dua memiliki banyak kesamaan dalam gejala-gejala yang timbul dan manifestasi klinis. Manifestasi klinis setiap diabetes melitus yaitu peningkatan kadar glukosa darah yang akan menyebabkan berbagai komplikasi akut dan komplikasi kronis. Diabetes yang sering ditemukan yaitu diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2. Meski sama-sama berhubungan dengan kelebihan gula di dalam darah, diabetes tipe 1 dan 2 punya beberapa perbedaan yang sangat mendasar. Penyebabnya sangat berbeda, pengobatan dan cara pencegahannya juga tidak bisa disamakan begitu saja. Perbedaan pertama terletak pada usia pasien saat pertama kali didiagnosis. Diabetes tipe 1 lebih banyak menyerang pasien di bawah umur 20 tahun sehingga sering disebut juvenile onset, sebaliknya tipe 2 menyerang usia 35 tahun ke atas atau disebut adult onset. Penggunaan istilah juvenile onset dan adult onset saat ini sudah dihilangkan, sebab pada kenyataannya diabetes tipe 1 dan 2 bisa menyerang usia berapapun. Hanya saja, kecenderungannya masih sama yakni tipe satu lebih banyak menyerang di usia muda dan tipe 2 di usia tua. Selanjutnya adalah postur dan perawakan pengidapnya. Pasien diabetes tipe 1 umumnya memiliki perawakan kurus, sedangkan diabetes tipe 2 lebih banyak menyerang orang-orang bertubuh besar yang dikategorikan kelebihan berat badan (overweight) maupun obesitas. Diabetes tipe 1 dan 2 juga dibedakan berdasarkan penyebabnya. Diabetes tipe 1 disebabkan oleh kerusakan pankreas sehingga produksi insulin berkurang, sementara tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin dalam arti insulinnya cukup tetapi tidak bekerja dengan baik dalam mengontrol kadar gula darah. Karena penyebabnya berbeda, pengobatan kedua tipe diabetes ini juga tidak sama. Pengidap diabetes tipe 1 membutuhkan insulin dalam bentuk suntikan maupun pompa insulin sedangkan pasien diabetes tipe 2 cukup mengonsumsi obat oral atau obat telan. Diabetes tipe 1 susah diprediksi dan dicegah, sebab merupakan kelainan genetik yang dibawa sejak lahir. Lain halnya dengan diabetes tipe 2 yang sangat bisa dicegah, karena biasanya menyerang orang-orang dengan pola makan tidak sehat dan jarang berolahraga. Dilihat dari perbandingan jumlah kasus, diabetes tipe 1 mencakup 10-15 persen dari jumlah seluruh pengidap diabetes. Dikutip dari ABC News, Senin (20/2/2012), jumlah kasus diabetes tipe 2 terutama di negara maju dan berkembang mencapai 85-90 persen dari seluruh pengidap diabetes semua tipe. Pada diabetes tipe 2 faktor predisposisi yang sangat mencolok adalah adanya obesitas sedangkan hal terserbut tidak ditemukan pada diabetes tipe 1. Komplikasi-komplikasi akut seperti adanya koma ketoasidosis, koma hiperosmolar lebih sering ditemukan pada diabetes tipe 1. hal ini terjadi karena adanya kerusakan dari sel beta pankreas. Kerusakan ini menyebabkan tidak terkendalinya diabetes melitus dengan kadar gula darah yang biasanya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan diabetes tipe lainnya. Kerusakan ini biasanya ditimbulkan oleh adanya antibodi terhadap sel beta pankreas, dan tidak ditemukan pada diabetes tipe 2.