PEMBAHASAN MIESTENIA GRAVIS
LATAR
BELAKANG
Miastenia gravis adalah salah satu
karakteristik penyakit autoimun pada manusia. Selama beberapa dekade terakhir
telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia pada kelinci yang
diimunisasi dengan acetylcholine receptor
(AchR). Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan
adanya defisiensi dari acetylcholine
receptor (AchR) pada neuromuscular
junction.
Pada tahun 1977, karakteristik autoimun
pada miastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil
ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang
sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita miastenia gravis, transfer
pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun kompleks
(IgG dan komplemen) pada membran postsinaptik, dan efek menguntungkan dari
plasmaparesis.
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan
fungsi dari AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara
konsentrasi, spesifisitas, dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik
pada miastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme
dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diinvestigasi
lebih jauh.
Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital,
dapat terjadi karena berbagai faktor. Hal ini menyebabkan sindrom miastenik
kongenital banyak diteliti dan diinvestigasi. Akhirnya, kelainan pada transmisi
neuromuskular yang berbeda dari miastenia gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome ternyata juga merupakan
kelainan yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel aktif dari
membran pre-sinaptik merupakan target dari autoantibodi yang patogen baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang
terapi miastenia gravis yang berbeda-beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa
terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik
pada penyakit ini. Ironisnya, beberapa dari
terapi ini justru diperkenalkan saat
pengetahuan dan pengertian tentang
imunopatogenesis masih sangat kurang.
II.1 DEFINISI
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.
II.2 EPIDEMIOLOGI
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat
terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia
20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria.
Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 :
4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28
tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun.
II.3 PATOFISIOLOGI atau JALANYA PENYAKIT
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita
miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus,
arthritis rheumatoid, dan lain-lain.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada
serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot.
Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan
miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik
asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia
gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah
dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap
reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat
dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”,
dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor
asetilkolin. Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus
seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien
dengan gejala miastenik.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG
dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara
langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga
merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor
asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain :
· Ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor
asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi
area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin
yang baru disintesis.
II.4 GEJALA
KLINIS
Miastenia gravis dikarakteristikkan
melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini
akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya
sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita
beristirahat.
Gejala klinis miastenia gravis antara lain
:
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosisPtosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala. Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot okular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas.Kelemahan otot leher dan ekstremitas gerak, memburuk pada sore atau malam hari dan setelah berolahraga (fatig abilitas).
Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot
esktraokular (ptosis).
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter
sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul
kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga
timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara
sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya.
II.5 KLASIFIKASI
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of
America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
- Klas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada
saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.
- Klas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah,
serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
- Klas IIa
Mempengaruhi
otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal
yang ringan.
- Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot
pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot
aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
- Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot
okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan
tingkat sedang.
- Klas IIIa
Mempengaruhi
otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan.
Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
- Klas IIIb
Mempengaruhi
otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota
tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
- Klas IV
Otot-otot
lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat,
sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
- Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh
dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan.
- Klas IVb
Mempengaruhi
otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada
otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.
Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan
intubasi.
- Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa
ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis
seperti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu
sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas.
Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun.
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan
secara lebih sederhana seperti dibawah ini:
- Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
- Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan
otot-otot untuk untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
- Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan
otot-otot okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat
meninggal dunia.
II.6 DIAGNOSIS
II.6.1 Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus
dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot
dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian
proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri.
Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai
dengan adanya kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot
wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a
mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan
miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum,
yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang
bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan
mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat
terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat
minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita
sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang
dengan tangan. Otot-otot
leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi
serta ekstensi dari leher.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami
kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana
otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan
otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot
pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot
trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas
bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta
melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan
plantarfleksi jari-jari kaki.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat
menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat
darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal
serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan
berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat
menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi
respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular
terjadi secara asimetris. Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu
otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu
nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk
mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis
dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear
ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu
mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.
Untuk penegakan diagnosis miastenia
gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:
- Penderita ditugaskan untuk menghitung
dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya
bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita
menjadi anartris dan afonis.
- Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
Untuk memastikan diagnosis miastenia
gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain:
- Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk
uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera
sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang
lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon
sangat singkat.
- Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada
tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau
kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
- Uji Kinin
Diberikan
3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi
(masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala
seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini,
sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak
bertambah berat.
II.6.2 Pemeriksaan
Penunjang untuk Diagnosis Pasti MIESTENIA GRAVIS
II.6.2.1 Pemeriksaan Laboratorium
·
Anti-asetilkolin reseptor
antibody.
Hasil
dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis,
dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif.
Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive
anti-AChR antibody.
Klasifikasi:
R = remission, I = ocular only,
IIA
= mild generalized, IIB = moderate generalized,
III
= acute severe, IV = chronic severe.
Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab
pada Pasien Miastenia Gravis
Osserman Class Mean antibody Titer Percent Positive
Pada
tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita
miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat
digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.
·
Antistriated muscle (anti-SM)
antibody.
Merupakan
salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam
usia kurang dari 40 tahun. Pada
pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat
menunjukkan hasil positif.
·
Anti-muscle-specific kinase
(MuSK) antibodies.
Hampir
50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif
(miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK
Ab.
·
Antistriational antibodies.
Dalam
serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang
berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung
penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibody ini
selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda.
Terdeteksinya titin dan ryanodine (RyR) antibody merupakan suatu kecurigaaan
yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.
II.6.2.2
Imaging untuk diagnosa miestenia gravis
·
Chest x-ray (foto roentgen
thorak)
Dapat
dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi
sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.
Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat
menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan
chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis,
terutama pada penderita dengan usia tua.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan
sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia
gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari
penyebab defisit pada saraf otak.
II.6.2.3 Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat
memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular melalui 2 teknik:
·
Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada
penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
·
Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan
jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang
sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi
pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang
normal.
II.6.3
Diagnosis Banding miestenia gravis
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia
gravis, antara lain:
Adanya
ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa
penyakit selain miastenia gravis, antara lain :
·
Meningitis
basalis (tuberkulosa atau luetika).
·
Infiltrasi
karsinoma anaplastik dari nasofaring.
·
Aneurisma
di sirkulus arteriosus Willisii.
·
Paralisis pasca difteri.
·
Pseudoptosis pada trachoma.
·
Apabila
terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis
multipleks.
·
Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome).
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan
kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan
kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi
peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi
hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma
terutama oat cell carcinoma pada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek
pada transmisi neuromuskular terjadi pada frekuensi rendah (2Hz) tetapi akan
terjadi hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada
miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS
terjadi pada membran presinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan
dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran
postsinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.
II.7 PENATALAKSANAAN
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang
pasti, tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan
terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.
Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan
terapi imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi
yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu
menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia
gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan
kekuatan otot secara cepat dan terapi yang memiliki onset lebih lambat tetapi
memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.
II.7.1 Terapi
Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
II.7.1.1 Plasma Exchange (PE)
Jumlah pasien yang mendapat tindakan
berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi,
dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE
adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini
adalah menurunnya titer antibodi.
PE paling efektif digunakan pada situasi
dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini
digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE
dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien
yang kesulitan menjalani periode postoperative.
Belum ada regimen standar untuk terapi
ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma
tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan
kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan
muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran
cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan
natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan
perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE
berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan
dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak
diperlukan.
II.7.1.2
Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah
complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara
intravena. Mekanisme kerja
dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi
respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis,
karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi.
Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai
terapi.
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga
menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan
durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa
data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga
banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk
pasien dalam kondisi krisis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari
pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG
dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin
reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan
menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama
pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike syndrome seperti demam,
menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam
pertama.
II.7.1.3
Intravenous Methylprednisolone (IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak
ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih
juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan
respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan
respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu
setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisis akan dipertimbangkan
apabila terapi lain gagal atau tidak dapat digunakan.
II.7.2 Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
II.7.2.1 Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling
lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Respon
terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah
inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan,
dengan rata-rata selama 3 bulan.
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks
terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih
belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T
helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting
cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam
memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis.
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari
titer antibodinya.
Kortikosteroid diindikasikan pada
penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di
kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid
adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada
penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, akan timbul efek samping
berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
II.7.2.2 Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada
pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan
kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi
merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan
sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis
optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang
lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.
Respon Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal
didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50%
kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang
lain.
II.7.2.3
Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2
dari sel T-helper. Supresi
terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis
awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga
dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine.
Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan
hipertensi.
II.7.2.4 Cyclophosphamide (CPM)
CPM adalah suatu alkilating agent yang
berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan
sintesis imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap
produksi antibodi dibandingkan obat lainnya.
II.7.3 Thymectomy (Surgical Care)
Thymectomy telah digunakan untuk mengobati
pasien dengan miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma
dengan atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak
dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian
miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab
yang mungkin bertanggung jawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian
terbaru menyebutkan bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan
berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia gravis.
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini
adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis
obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang
permanen dari pasien.
Banyak ahli saraf memiliki pengalaman
meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi
miastenia gravis, walaupun keuntungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan
masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Secara umum, kebanyakan
pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan
tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan
serta obat-obatan).
Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi
setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang
dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin
banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh tahu
setelah pembedahan
KESIMPULAN
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit
ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular
junction.
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang
anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.
Membran presinaptik (membran saraf), membran postsinaptik (membran otot), dan
celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel
B justru melawan reseptor asetilkolin.
Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,
thymomectomy ataupun dengan
imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang
baik pada kesembuhan miastenia gravis.