BAB 1
Pendahuluan
- Latar Belakang
BAB II
Isi
I.
Pemeriksaan untuk mendiagnosa pendarahan post partum
1.
Anamnesis
Anamnesis
adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara baik langsung pada
pasien (Auto anamnese) atau pada orang tua atau sumber lain (Allo anamnese).
80% untuk menegakkan diagnosa didapatkan dari anamnesis.
Tujuan
anamnesis yaitu untuk mendapatkan keterangan sebanyak-banyaknya mengenai
kondisi pasien, membantu menegakkan diagnosa sementara. Ada beberapa kondisi
yang sudah dapat ditegaskan dengan anamnesis saja, membantu menentukan
penatalaksanaan selanjutnya.
Anamnesis
yang baik merupakan tiang utama diagnosis. Anamnesis dimulai dengan mencari
keterangan mengenai nama, alamat, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan sebagainya.
Keterangan yang didapat ini kadang sudah memberi petunjuk permulaan kepada
kita.
Berdasarkan anamnesis yang baik dokter akan
menentukan beberapa hal mengenai hal-hal berikut:
1) Penyakit
atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan diagnosis)
2) Penyakit
atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan
pasien (diagnosis banding)
3) Faktor-faktor
yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor predisposisi
dan faktor risiko)
4) Kemungkinan
penyebab penyakit (kausa/etiologi)
5) Faktor-faktor
yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor prognostik,
termasuk upaya pengobatan)
6) Pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk menentukan
diagnosisnya
Riwayat obstetric:
A. Riwayat
menstruasi meliputi: menarche, lamanya siklus, banyaknya, baunya, keluhan waktu
haid, HPHT.
B. Riwayat
perkawinan meliputi: usia kawin, kawin yang keberapa, usia mulai hamil.
C. Riwayat
hamil, persalinan dan nifas yang lalu.
a. Riwayat
hamil meliputi: waktu hamil muda, hamil tua, apakah ada abortus, retensi
plasenta.
b. Riwayat
persalinan meliputi: tua kehamilan, cara persalinan, penolong, tempat bersalin,
apakah ada kesulitan dalam persalinan anak lahir atau mati, berat badan anak
waktu lahir, panjang waktu lahir.
c. Riwayat
nifas meliputi: keadaan luka, apakah ada pendarahan, ASI cukup atau tidak dan
kondisi ibu saat nifas, tinggi fundus uteri dan kontraksi.
d. Riwayat
kehamilan sekarang.
i.
Hamil muda, keluhan
selama hamil muda.
ii.
Hamil tua, keluhan
selama hamil tua, peningkatan berat badan, tinggi badan, suhu, nadi,
pernafasan, peningkatan tekanan darah, keadaan gizi akibat mual, keluhan lain.
Riwayat antenatal care meliputi: dimana tempat
pelayanan, beberapa kali, perawatan serta pengobatannya yang didapat.
2.
Pemeriksaan
fisik
Pemeriksaan
tanda-tanda vital:
1. Suhu
badan. Suhu biasanya meningkat sampai 380 C dianggap normal. Setelah
satu hari suhu akan kembali normal (360 C – 370 C),
terjadi penurunan akibat hipovolemia.
2. Denyut
nadi. Nadi akan meningkat cepat karena nyeri, biasanya terjadi hipovolemia yang
semakin berat.
3. Tekanan
darah. Tekanan darah biasanya stabil, memperingan hipovolemia.
4. Pernafasan.
Bila suhu dan nadi tidak normal, pernafasan juga menjadi tidak normal.
Pemeriksaan
Khusus:
Observasi setiap
8 jam untuk mendeteksi adanya tanda-tanda komplikasi dengan mengevaluasi sistem
dalam tubuh. Pengkajian ini meliputi:
1. Nyeri/ketidaknyamanan:
nyeri tekan uterus (fragmen-fragmen plasenta tertahan), ketidaknyamanan vagina/pelvis,
sakit punggung (hematoma).
2. Sistem
vaskuler:
a. Perdarahan
di observasi tiap 2 jam selama 8 jam 1, kemudian tiap 8 jam berikutnya.
b. Tensi
diawasi tiap 8 jam.
c. Apakah
ada tanda-tanda trombosis, kaki sakit, bengkak dan merah.
d. Haemorroid
diobservasi tiap 8 jam terhadap besar dan kekenyalan.
e. Riwayat
anemia kronis, konjungtiva anemis/sub anemis, defek koagulasi kongenital,
idiopatik trombositopeni purpura.
3. Sistem
Reproduksi
a. Uterus
diobservasi tiap 30 menit selama empat hari post partum, kemudian tiap 8 jam selama
3 hari meliputi tinggi fundus uteri dan posisinya serta konsistensinya.
b. Lochea
diobservasi setiap 8 jam selama 3 hari terhadap warna, banyak dan bau.
c. Perineum
diobservasi tiap 8 jam untuk melihat tanda-tanda infeksi, luka jahitan dan
apakah ada jahitannya yang lepas.
d. Vulva
dilihat apakah ada edema atau tidak.
e. Payudara
dilihat kondisi areola, konsistensi dan kolostrum.
f. Tinggi
fundus atau badan terus gagal kembali pada ukuran dan fungsi sebelum kehamilan
(sub involusi).
4. Traktus
urinarius.
Diobservasi tiap 2 jam selama 2 hari pertama. Meliputi miksi lancar
atau tidak, spontan dan lain-lain.
5. Traktur
gastro intestinal.
Observasi terhadap nafsu makan dan obstipasi.
6. Integritas
Ego: mungkin cemas, ketakutan dan khawatir.
3.
Pemeriksaan
penunjang
2. Jumlah
darah lengkap: menunjukkan penurunan Hb/Ht dan peningkatan jumlah sel darah
putuih (SDP). (Hb saat tidak hamil: 12-16gr/dl, saat hamil: 10-14gr/dl. Ht saat
tidak hamil: 37%-47%, saat hamil:32%-42%. Total SDP saat tidak hamil
4.500-10.000/mm3. saat hamil 5.000-15.000).
3. Kultur
uterus dan vagina: mengesampingkan infeksi pasca partum.
4. Urinalisis:
memastikan kerusakan kandung kemih.
5. Profil
koagulasi: peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk split fibrin
(FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen: masa tromboplastin partial diaktivasi,
masa tromboplastin partial (APT/PTT), masa protrombin memanjang pada KID
Sonografi: menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan.
- Working diagnose atau diagnosa pasti
Berdasarkan gejala
– gejala yang timbul pada pasien dalam skenario, pasien tersebut menderita
perdarahan pasca persalinan et causa atonia uteri.
Post Partum
Hemorrhagic/Perdarahan Pasca Persalinan
Klasifikasi perdarahan postpartum:
· 1. Perdarahan
post partum primer/dini (early postpartum hemarrhage), yaitu perdarahan yang terjadi dalam
24 jam pertama. Penyebab utamanya adalah atonia uteri, retention plasenta, sisa
plasenta dan robekan jalan lahir. Banyaknya terjadi pada 2 jam pertama.
· 2. Perdarahan
Post Partum Sekunder/lambat (late postpartum hemorrhage), yaitu-perdarahan yang terjadi
setelah 24 jam pertama.
1.
Untuk
membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu diperhatikan ada perdarahan yang
menimbulkan hipotensi dan anemia. apabila hal ini dibiarkan berlangsung terus,
pasien akan jatuh dalam keadaan syok. perdarahan postpartum tidak hanya terjadi
pada mereka yang mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap persalinan
kemungkinan untuk terjadinya perdarahan postpartum selalu ada.
2.
Perdarahan
yang terjadi dapat deras atau merembes. perdarahan yang deras biasanya akan
segera menarik perhatian, sehingga cepat ditangani sedangkan perdarahan yang
merembes karena kurang nampak sering kali tidak mendapat perhatian. Perdarahan
yang bersifat merembes bila berlangsung lama akan mengakibatkan kehilangan
darah yang banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan, maka darah yang keluar
setelah uri lahir harus ditampung dan dicatat.
3.
Kadang-kadang
perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi menumpuk di vagina dan di
dalam uterus. Keadaan ini biasanya diketahui karena adanya kenaikan fundus
uteri setelah uri keluar. Untuk menentukan etiologi dari perdarahan postpartum
diperlukan pemeriksaan lengkap yang meliputi anamnesis, pemeriksaan umum,
pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan dalam.
Pada atonia uteri
terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada palpasi abdomen uterus
didapatkan membesar dan lembek. Sedangkan pada laserasi jalan lahir uterus
berkontraksi dengan baik sehingga pada palpasi teraba uterus yang keras. Dengan
pemeriksaan dalam dilakukan eksplorasi vagina, uterus dan pemeriksaan
inspekulo. Dengan cara ini dapat ditentukan adanya robekan dari serviks,
vagina, hematoma dan adanya sisa-sisa plasenta
I.
Differential diagnose
- Robekan Jalan Lahir
Pada
umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan
persalinan yang semakin manipulative dan traumatic akan memudahkan robekan
jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan
erviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomy, robekan
spontan perineum, trauma forceps atau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi.
Robekan
yang terjadi bias ringan (lacet, laserasi), luka episotomi, robekan perineum
spontan derajat ringan sampai rupture perinea totalis (sfingter ani terputus),
robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris
dan uretra dan bahkan yang terberat, rupture uteri. Oleh karena itu, pada
setiap tindakan persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk
mencari kemungkinan adanya robeka ini. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi
uteru baik, biasanya karena ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vaina, vulva dan serviks dengan
memakai sekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan cirri darah dengan warna
merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan karena rupture uteri
dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris
resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal.
Semua sumber perdarahan harus diklem, diikat dan luka ditutu dengan jahitan
cat-gut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti.
Tekhnik
penjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan lampu yang cukup
serta speculum dan memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita kesakitan dan
tidak kooperaatif, perlu mengundang sejawat anestesi untuk ketenangan dan
keamanan saat melakukan hemostasis.
- Retensio Plasenta
Bila
plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disbut
sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan
aktif Kala III bis disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus.
Disebut sebagai plasenta akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch Layer, disebut sebagai
plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta
perkreta bila vili korialis sampai menembus perimetirum.
Faktor
predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas secsio
sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian dari plasenta
masih tertinggal dalam uterus disebut rest-plasenta dan dapat
menimbulkan PPP primer atau lebih sering) sekunder. Proses Kala III didahului
dengan ahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh perdarahan
pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tetapi
tidak keluar pervaginam(cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap
ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum
terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah
lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan Kala III) dan
harus diantisipasi dengan segera melakukan plasenta
manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam.
Sisa
plasenta bisa diduga kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan
plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat
melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri
eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah
terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara
manual/digital atau kuret dan pemberia uterotonika. Anemia yang ditimbulkan
setelah perdarahan dapat diberi transfuse darah sesuai dengan keperluannya.
- Inversi uterus
Kegawat
daruratan kala III yang dapat menimbulkan perdarahan adalah terjadinya inverse
uterus. Inverse uterus adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium)
turun dan keluar ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai
komplit.
Faktor-faktor
yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks yang
masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah (misalnya
karena plasenta akreta, inkreta dan perkreta, yang tali pusatnya ditarik keras
dari bawah) atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas (maneuver crede) atau
tekanan intra abdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau
bersin).
Inversio uteri
ditandai dengan tanda-tanda:
·
Syok karena kesakitan
·
Perdarahan banyak
bergumpal
·
Di vulva tampak
endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih melekat
·
Bila baru terjadi, maka
prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadiannya cukup lama, maka jepitan
serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis, dan
infeksi.
Tindakan
Secara garis
besar tindakan yang dilakukan sebagai
1. Memanggil
bantuan anestesi dan memasang infuse untuk cairan/darah pengganti dan pemberian
obat.
2. Beberapa
senter memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus yang terbalik sebelum
dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke atas masuk ke dalam
vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk kedalam uterus pada
posisi normalnya.
3. Di
dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil dikeluarkan
dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infus atau i.m. tangan tetap
dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru
dilepaskan.
4. Pemberian
antibiotika dan transfuse darah sesuai dengan keperluannya.
5. Intervensi
bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan maneuver
diatas tidak bisa dikerjakan, maka dilakukan laparotomi untuk reposisi dan
kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan
nekrosis
- Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah
Kausal
PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain
dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama
pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap
dilakukan penjahitan dan perdarahan akan erembes atau timbul hematoma pada
bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain.
Pada
pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang
abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia,
terjadi hipofibrinogemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation
product) serta perpanjangan tes protombin dan PTT (partial tromboplastin time).
Predisposisi
untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam
kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan
adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar,
trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino
caproic acid).
II.
Epidemiologi
Kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal
secara langsung di Amerika Serikat diperkirakan 7 – 10 wanita tiap 100.000
kelahiran hidup. Data statistik nasional Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8%
dari kematian ini disebabkan oleh perdarahan post partum. Di negara industri,
perdarahan post partum biasanya terdapat pada 3 peringkat teratas penyebab
kematian maternal, bersaing dengan embolisme dan hipertensi. Di beberapa negara
berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000 kelahiran
hidup, dan data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan
oleh perdarahan post partum dan diperkirakan 100.000 kematian matenal tiap
tahunnya.
Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah
sakit, sehingga sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan
post partum terlambat sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan
umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya mortalitas tinggi. Menurut Depkes
RI, kematian ibu di Indonesia (2002) adalah 650 ibu tiap 100.000 kelahiran
hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh perdarahan post
partum
III.
Patofisiologi
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus
melebar untuk meningkatkan sirkulasi ke sana, atoni uteri dan subinvolusi
uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah-pembuluh
darah yang melebar tadi tidak menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi
terus menerus. Trauma jalan lahir seperti epiostomi yang lebar, laserasi
perineum, dan rupture uteri juga menyebabkan perdarahan karena terbukanya
pembuluh darah, penyakit darah pada ibu; misalnya afibrinogemia atau
hipofibrinogemia karena tidak ada atau kurangnya fibrin untuk membantu proses
pembekuan darah juga merupakan penyebab dari perdarahan postpartum. Perdarahan
yang sulit dihentikan bisa mendorong pada keadaan shock hemoragik.
IV.
Etiologi
Atonia Uteri
Adalah
keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu
menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan
plasenta lahir.
Faktor
predisposisinya adalah sebagai berikut:
1. Regangan
rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion, atau anak terlalu
besar.
2. Kelelahan
karena persalinan lama.
3. Kehamilan
grande-multipara
4. Ibu
dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun.
5. Mioma
uteri yang mengganggu kontraksi rahim
6. Infeksi
intrauterine (korioamnion)
7. Ada
riwayat pernah atonia uteri sebelumnya
V.
Tanda dan gejala
Diagnosis
ditegakkan setelah bayi dan plasenta lahir tenyata perdarahan masih aktif dan
banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat
atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan pada saat atonia
uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc
yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus
dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
VI.
Penatalaksanaan
Langkah
berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah melakukan penanganan kala
tiga secara aktif, yaitu:
1.
Menyuntikan
Oksitosin
·
Memeriksa
fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal.
·
Menyuntikan
Oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian luar paha kanan 1/3 atas
setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan bahwa ujung jarum
tidak mengenai pembuluh darah.
2.
Peregangan Tali Pusat Terkendali
·
Memindahkan
klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva atau menggulung tali
pusat.
·
Meletakan
tangan kiri di atas simpisis menahan bagian bawah uterus, sementara tangan
kanan memegang tali pusat menggunakan klem atau kain kasa dengan jarak 5-10 cm
dari vulva.
·
Saat uterus
kontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan sementara tangan kiri
menekan uterus dengan hati-hati ke arah dorso-kranial.
1.
Mengeluarkan
plasenta
·
Jika dengan
penegangan tali pusat terkendali tali pusat terlihat bertambah panjangdan
terasa adanya pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran sedikit sementara
tangan kanan menarik tali pusat ke arah bahwa kemudian ke atas sesuai dengan
kurve jalan lahir hingga plasenta tampak pada vulva.
·
Bila tali
pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir, pindahkan kembali klem
hingga berjarak ± 5-10 dari vulva.
·
Bila
plasenta belum lepas setelah mencoba langkah tersebut selama 15 menit.
·
Suntikan ulang
10 IU Oksitosin i.m - Periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh.
·
Tunggu 15
menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta manual
2.
Setelah
plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta dengan hati-hati. Bila
terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan selaput secara perlahan dan sabar
untuk mencegah robeknya selaput ketuban.
3.
Masase
Uterus
· Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri
denganmenggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian palmar 4 jari tangan
kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras)
4.
Memeriksa
kemungkinan adanya perdarahan pasca persalinan
· Kelengkapan plasenta dan
ketuban
· Kontraksi uterus
· Perlukaan jalan lahir
Kompresi Bimanual Internal
Letakan satu tangan anda
pada dinding perut, dan usahakan untuk menahan bagian belakang uterus sejauh
mungkin. Letakkan tangan yang lain pada korpus depan dari dalam vagina,
kemudian tekan kedua tangan untuk mengkompresi pembuluh darah di dinding
uterus. Amati jumlah darah yang keluar yang ditampung dalam pan. Jika
perdarahan berkurang, teruskan kompresi, pertahankan hingga uterus dapat
berkontraksi atau hingga pasien sampai di tempat rujukan. Jika tidak berhasil,
cobalah mengajarkan pada keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksternal sambil
penolong melakukan tahapan selanjutnya untuk penatalaksaan atonia uteri
Gambar 1. Kompresi Bimanual Internal.
I.
Komplikasi
Perdarahan postpartum yang tidak ditangani dapat
mengakibatkan:
- Syok hemorragic
Akibat terjadinya perdarahan, ibu
akan mengalami syok dan menurunnya kesadaran akibat banyaknya darah yang
keluar. Hal ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke seluruh tubuh dan dapat
menyebabkan hipovolemia berat. Apabila hal ini tidak ditangani dengan cepat dan
tepat, maka akan menyebabkan kerusakan atau nekrosis tubulus renal dan
selanjutnya merusak bagian korteks renal yang dipenuhi 90% darah di ginjal.
Bila hal ini terus terjadi maka akan menyebabkan ibu tidak terselamatkan
- Anemia
Anemia terjadi akibat banyaknya darah
yang keluar dan menyebabkan perubahan hemostasis dalam darah, juga termasuk
hematokrit darah. Anemia dapat berlanjut menjadi masalah apabila tidak
ditangani, yaitu pusing dan tidak bergairah dan juga akan berdampak juga pada
asupan ASI bayi.
- Sindrom Sheehan
Hal ini terjadi karena, akibat
jangka panjang dari perdarahan postpartum sampai syok. Sindrom ini disebabkan
karena hipovolemia yang dapat menyebabkan nekrosis kelenjar hipofisis. Nekrosis
kelenjar hipofisis dapat mempengaruhi sistem endokrin.
II.
Prognosis
III.
Pencegahan
Klasifikasi
kehamilan resiko rendah dan resiko tinggi akan memudahkan penyelenggara
pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan
antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan
jenjang rumah sakit rujukan. akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua
kehamilan mempunyai resiko untuk terjadinya patologi persalinan, salah satunya
adalah perdarahan pascapersalinan. Antisipasi terhadap hal tersebut dapat
dilakukan sebagai berikut:
- Persiapan
sebelum hamil untuk memperbaiki keaadaan umum dan mengantisipasi setiap
penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan
persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan optimal
- Mengenal
faktor predisposisi PPP seperti multipritas, anak besar, hamil kembar, dan
lainnya yang resikonya akan muncul saat persalinan
- Persalinan
harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama
- Kehamilan
resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan
- Kehamilan
resiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari
persalinan duku
- Menguasai
langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan mengadakan rujukan
sebagaimana mestinya
Perdarahan karena
atonia uteri dapat dicegah dengan:
·
Melakukan secara rutin
manajemen aktif kala III pada semua
wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insiden perdarahan
pascapersalinan akibat atonia uteri.
·
Pemberian Misoprostol
peroral 2-3 tablet (400-600 mg) segera setelah bayi lahir.
Bab III
Kesimpulan
Berdasarkan gejala – gejala yang timbul pada pasien dalam skenario, pasien
tersebut menderita perdarahan pasca persalinan. Penangan yang tepat dapat menyembuhkan dan
menghindari resiko komplikasi pada pasien.