Multidrug resistant tuberculosis (MDR Tb)
DEFENISI
adalah Tb yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (M. Tb) resisten in vitro terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya.
Terdapat 2 jenis kasus resistensi obat yaitu kasus baru dan kasus telah diobati sebelumnya.
Kasus baru resisten obat Tb yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien baru didiagnosis Tb dan sebelumnya tidak pernah diobati obat antituberkulosis (OAT) atau durasi terapi kurang 1 bulan. Pasien ini terinfeksi galur M. Tb yang telah resisten obat disebut dengan resistensi primer.
Kasus resisten OAT yang telah diobati sebelumnya yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien selama mendapatkan terapi Tb sedikitnya 1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi galur M Tb yang masih sensitif obat tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat atau disebut
dengan resistensi sekunder (acquired).
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri sendiri menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tb wild type tidak terpajan. Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT.
Resisten lebih 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan obat yang tidak adekuat. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan M. Tb sensitif terhadap OAT yang akan diberikan. Sewaktu penggunaan OAT sebelumnya individu telah terinfeksi dalam
jumlah besar populasi M. Tb berisi organisms resisten obat. Populasi galur M. Tb resisten
mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati.
Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu:
1) Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
2) Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan
tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan
rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup
tinggi.
3) Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu berhenti,
setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau
tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.
4) Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan
yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang
pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya
daftar obat yang resisten saja.
5) Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga
mengganggu bioavailabilitas obat.
6) Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-
bulan.
Terapi Tb yang tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi jangka pendek pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat yang digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur resisten obat pada populasi juga merupakan sumber kasus resistensi obat baru. Meningkatnya koinfeksi Tb HIV
menyebabkan progresi awal infeksi MDR Tb jadi penyakit dan peningkatan penularan MDR Tb.
Banyak faktor penyebab MDR Tb. Beberapa analisis difokuskan pada ketidakpatuhan pasien. Ketidakpatuhan lebih berhubungan dengan hambatan pengobatan seperti kurangnya pelayanan diagnostik, obat, transportasi, logistik dan biaya pengendalian program Tb.
Survei global resistensi OAT mendapatkan hubungan antara terjadinya MDR Tb dengan kegagalan program Tb nasional yang sesuai petunjuk program Tb WHO.
Terdapatnya MDR Tb dalam suatu komuniti akan menyebar. Kasus tidak diobati dapat
menginfeksi lebih selusin penduduk setiap tahunnya dan akan terjadi epidemic khususnya di
dalam suatu institusi tertutup padat seperti penjara, barak militer dan rumah sakit. Penting
sekali ditekankan bahwa MDR Tb merupakan ancaman baru dan hal ini merupakan
manmade phenomenon.
Pengendalian sistematik dan efektif pengobatan Tb yang sensitive melalui DOTS merupakan senjata terbaik untuk melawan berkembangnya resistensi obat.
Terdapat 5 sumber utama resisten obat Tb menurut kontribusi Spigots, yaitu :
1. Pengobatan tidak lengkap dan adekuat menyebabkan mutasi M. Tb resistensi
2. Lamanya pasien menderita infeksi disebabkan oleh keterlambatan diagnosis MDR Tb dan
hilangnya efektiviti terapi sehingga terjadi penularan galur resisten obat terhadap kontak
yang masih sensitif.
3. Pasien resisten obat Tb dengan kemoterapi jangka pendek memiliki angka kesembuhan
kecil dan hilangnya efek terapi epidemiologi penularan.
4. Pasien resisten obat Tb dengan kemoterapi jangka pendek akan mendapatkan resistensi
lanjut disebabkan ketidak hati—hatian pemberian monoterapi (efek penguat).
5. Koinfeksi HIV dapat memperpendek periode infeksi menjadi penyakit Tb dan penyebab
pendeknya masa infeksi.
Diagnosis
Langkah awal mendiagnosis resisten obat Tb adalah mengenal pasien dalam risiko dan
mempercepat dilakukannya diagnosis laboratorium. Deteksi awal MDR Tb dan memulai sejak awal terapi merupakan faktor penting untuk mencapai keberhasilan terapi.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi sputum BTA, uji kultur M. Tb dan resistensi obat.
Kemungkinan resistensi obat Tb secara simultan dipertimbangkan dengan pemeriksaan sputum BTA sewaktu menjalani paduan terapi awal. Kegagalan terapi dapat dipertimbangkan sebagai kemungkinan resisten obat Tb sampai ada hasil uji resistensi obat beberapa minggu kemudian yang menunjukkan terdapatnya paduan terapi yang tidak adekuat.
Identifikasi cepat pasien resistensi obat Tb dilakukan terutama pasien memiliki risiko tinggi karena program pengendalian Tb lebih sering menggunakan paduan terapi empiris, minimalisasi penularan, efek samping OAT, memberikan terapi terbaik dan mencegah resistensi obat lanjut.
Prediksi seseorang dalam risiko untuk melakukan uji resistensi obat adalah langkah awal deteksi resistensi obat. Prediktor terpenting resistensi obat adalah riwayat terapi Tb sebelumnya, progresiviti klinis dan radiologi selama terapi Tb, berasal dari daerah insidens tinggi resisten obat dan terpajan individu infeksi resisten obat Tb.
Setelah pasien dicurigai MDR Tb harus dilakukan pemeriksaan uji kultur M. Tb dan resistensi obat.
Laboratorium harus mengikuti protokol jaminan kualiti dan memiliki akreditasi nasional / internasional. Khususnya 2 sampel dengan hasil yang berbeda dari laboratorium dengan tingkat yang
berbeda direkomendasikan untuk diperiksakan pada laboratorium yang lebih balk. Penting sekali laboratorium menekankan pemeriksaan uji resistensi obat yang cepat, adekuat, valid dan mudah dicapai oleh pasien dan layanan kesehatan. Mewujudkan laboratorium seperti ini disuatu daerah merupakan tantangan untuk program pengendalian Tb