ASMA PADA KEHAMILAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kehamilan adalah suatu hal yang sangat menyenangkan dalam kehidupan seorang wanita. Pelbagai perubahan terjadi waktu kehamilan bukan saja dari segi tubuh tapi juga dari segi emosi. Wanita hamil tidak dapat menyangka apa yang akan terjadi setiap hari waktu hamil, satu hari mereka akan merasa lelah, tidak nyaman, sedih tapi keesokan harinya mereka akan merasa senang, sehat dan aktif untuk melakukan sesuatu pekerjaan.
Asma adalah suatu kondisi kesehatan yang sering terdapat negara-negara berkembang. Pada eksaserbasi akut penghidap asma, terjadi batuk, mengik, atau kesulitan bernafas. Harus diingat bahwa janin dalam rahim membutuhkan oksigen daripada udara yang dihirup ibunya. Jika terjadi eksaserbasi akut asma, kemungkinan besar janin mengalami gangguan pertukaran oksigen dan kondisi ini dapat membahayakan janin sendiri. Dalam kasus-kasus tertentu, janin dapat meninggal karena kekurangan oksigen.
Kira-kira sepertiga wanita dengan asma merasa mengalami perbaikan pada waktu hamil, sepertiga lagi mengalami perburukan, dan sepertiga lagi mengalami serangan asma seperti sebelum mereka hamil. Lebih ringan asma sebelum kehamilan maka lebih baik dikontrol sewaktu hamil karena dapat mengurangi atau menghilangkan sama sekali serangan asma waktu hamil.
Jika asma yang menyerang penderita mengalami perburukan waktu kehamilan, gejala-gejala dapat menjadi lebih buruk waktu masa kehamilan 24-36 minggu (6-8 bulan) tetapi serangan asma waktu melahirkan sangat jarang sekali yaitu sekitar 10 %. Dalam kasus-kasus tertentu gejala dapat menghilang dan kembali normal dalam waktu 3 bulan setelah melahirkan.
Yang harus diingati oleh wanita yang menderita asma adalah asma dapat dikontrol waktu kehamilan. Jika asma terkontrol, ibu hamil mungkin mempunyai peluang untuk melalui kehamilan yang normal dan sehat seperti wanita yang tidak menderita asma.
Epidemiologi
Prevalensi asma bervariasi antara anak laki-laki dan perempuan, dan pada siswa SD – SMP di Indonesia pada tahun 1994 prevalensinya antara 6.2 % - 16,2%. Penyakit ini dapat dijumpai pada ibu yang sedang hamil, dan dapat menyebabkan komplikasi pada 7% kehamilan (Blaiss, 2004). Faktor mekanik, hormonal dan stress metabolik menyebabkan serangan asma pada kehamilan (Kelsen, 2003). Penderita asma yang hamil akan mengalami perbaikan gejala pada sepertiga kasus, sepertiga lagi memburuk, dan sisanya tetap sama (Cydulka et al.,1991; Nelson and Piercy,2001; Schatz et al.,2000; Kwon et al.,2004).
Serangan asma seringkali muncul pada kehamilan minggu ke-24 sampai minggu ke-36, serangan hanya terjadi 10% selama persalinan (Tan and Thomson,2000). Asma tak terkontrol pada kehamilan meningkatkan risiko kematian perinatal, preeklampsia, kelahiran prematur, Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) dan berat bayi lahir rendah (Cydulka et al.,1999; Nelson and Piercy,2001; Gluck and Gluck,2005; Liu et al.,2000; Bhatia and Bhatia,2000). Besar risiko diatas berhubungan dengan derajat berat asma pada kehamilan. Derajat asma yang lebih berat memiliki risiko tinggi, sedangkan asma yang terkontrol dengan baik memiliki risiko rendah.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengaruh Kehamilan Terhadap Asma Bronkiale
Pada seorang wanita hamil terdapat perubahan-perubahan fisiologis pada beberapa organ-organ tubuh wanita tersebut akibat kehamilannya. Perubahan-perubahan fisiologis yang diketahui berpengaruh terhadap perjalanan asma bronkiale antara lain perubahan-perubahan berupa membesarnya uterus, elevasi diafragma, perubahan-perubahan hormonal pada mekanik paru-paru, dan lain-lain. Sejak implantasi blastokista pada endometrium uterus akan terus membesar sesuai umur kehamilan. Pada akhir bulan ke-tiga uterus sudah cukup besar dan umumnya sudah sebagian tersembul ke luar rongga pelvis mengisi rongga abdomen untuk selanjutnya terus membesar perlahan-lahan mendesak usus ke atas dan ke sampng sehingga pada trimester terakhir kehamilan uterus sudah mencapai daerah setinggi hati. Hal ini banyak berhubungan dengan meningkatnya tekanan intra-abdominal. Perubahan-perubahan hormonal yang terjadi saat kehamilan dan persalinan menyangkut banyak jenis hormon-hormon, tetapi yang diketahui ada kaitannya langsung atau tidak langsung terhadap perjalanan asma bronkiale baru beberapa jenis.
1. Progesteron
Yang kadarnya meningkat pada masa kehamilan mempunyai efek langsung terhadap pusat pernapasan (respiratory center) mentebabkan peningkatan frekuensi pernapasan (respiratory rate), sehingga menyebabkan hiperventilasi. Progesteron bersifat smooth muscle relaxant terhadap otot-otot polos usus, genitourinarius, dan diduga juga pada otot-otot bronkus.
2. Estrogen
Kadarnya meningkat saat kehamilan, terutama trimester ketiga. Pecora et al membuktikan estrogen mempunyai efek menurunkan diffusing capacity dari CO2 pada paru-paru dan diduga ini terjadi sebagai akibat meningkatnya asam mukopolisakarida perikapiler.
3. Kortisol
Kadarnya meningkat pada kehamilan, diduga sebagai akibat kliren kortisol yang menurun, bukan karena sekresinya yang meningkat. Sehingga waktu paruhnya akan memanjang dan pemberian preparat steroid pada masa kehamilan harus disesuaikan dengan keadaan ini.
Pengaruh Asma Bronkiale Terhadap Kehamilan
Pada ibu-ibu hamil yang menderita asma bronkiale, Bahna dan Bjerkedal mendapatkan bahwa insiden hiperemis, perdarahan, toksemia gravidarum, induksi persalinan dengan komplikasi, dan kematian ibu secara bermakna lebih sering terjadi dibandingkan dengan ibu-ibu hamil tanpa penyakit asma bronkiale. Hal ini dapat diduga erat hubungannya dengan obat-obat anti asma yang diberikan selama kehamilan ataupun akibat efek langsung daripada memberatnya asma. Hal yang sangat penting diperhatikan di dalam penatalaksanaan asma bronkiale pada ibu-ibu hamil ialah di samping untuk keselamatan ibunya sendiri adalah juga untuk keselamatan janin. Oksigenasi pada janin hendaknya dipertahankan supaya adekuat, obat-obatan hendaknya dipilih yang bisa menjamin keselamatan janin didalam kandungan. Tidak ada bukti – bukti bahwa kehamilan mempunyai efek yang dapat diprediksi terhadap asma. Pada penelitian didapatkan ada korelasi antara asma berat dengan morbiditas selama kehamilan. Pada asma ringan 13 % mengalami eksaserbasi sedangkan pada 26 % wanita yang mengalami asma sedang, dan sekitar 50 % wanita mengalami asma berat.
Patofisiologi
Asma adalah peradangan kronik saluran nafas dengan herediter utama. Peningkatan respon saluran nafas dan peradangan berhubungan dengan gen pada kromosom 5, 6, 11, 12, 14, & 16 termasuk reseptor IgE yang afinitasnya tinggi, kelompok gen sitokin dan reseptor antigen T-cell sedangkan lingkungan yang menjadi alergen tergantung individu masing-masing seperti influenza atau rokok. Asma merupakan obstruksi saluran nafas yang reversibel dari kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus, dan edema mukosa. Terjadi peradangan di saluran nafas dan menjadi responsif terhadap beberapa rangsangan termasuk zat iritan, infeksi virus, aspirin, air dingin, dan olahraga. Aktifitas sel mast oleh sitokin menjadi media konstriksi bronkus dengan lepasnya histamin, prostaglandin D2, dan leukotrien. Karena prostaglandin seri F dan ergonovin dapat menjadikan asma, maka penggunaannya sebagai obat – obat di bidang obstetrik sebaiknya dapat dihindari jika memungkinkan.
Gejala Klinik
Gejala yang ditemui : wheezing sedang sampai bronkokonstriksi berat. Bronkospasme akut dapat bergejala obstruksi saluran nafas dan menurunnya aliran udara. Kerja sistem pernafasan menjadi meningkat drastis dan pada pasien dapat dilihat gerakan dada yang tertinggal, wheezing atau kesukaran bernafas.
Adapun tingkatan klinik asma dapat dilihat pada tabel berikut dibawah ini :
Pada kasus asma sedang, hipoksia pada awalnya dapat dikompensasi oleh hiperventilasi, sebagai refleks dari PO2 arteri normal, menurunnya PCO2 dan alkalosis respiratorik. Pada obstruksi berat, ventilasi menjadi berat karena kelelahan menjadikan retensi CO2. Pada hiperventilasi, keadaan ini hanya dapat dilihat sebagai PCO2 arteri yang berubah menjadi normal. Akhirnya pada obstruksi berat yang diikuti kegagalan pernafasan dengan karakteristik hiperkapnia dan asidosis.
Efek Pada Fetus
Kompensasi yang terjadi pada fetus adalah:
1. Menurunnya aliran darah pada uterus
2. Menurunnya venous return ibu
3. Kurva dissosiasi oksiHb bergeser ke kiri
Sedangkan pada ibu yang hipoksemia, respons fetus yang terjadi
1. Menurunnya aliran darah ke tali pusat
2. Meningkatnya resistensi pembuluh darah paru dan sistemik
3. Menurunnya cardiac output
Perlu diperhatikan efek samping pemberian obat – obatan asma terhadap fetus, walaupun tidak ada bukti bahwa pemakaian obat – obat anti asma akan membahayakan fetus.
Penilaian Fisik
Pemeriksaan yang bermakna termasuk takipneu, takikardi, pulsus paradoksus (>20 mm Hg), ekspirasi memanjang, agitasi (tanda hipoksia dan gangguan pernafasan) , dan penggunaan otot aksesorius (sternokleidomastoideus, abdominalis, pektoralis). Gejala yang menunjukkan serangan yang potensial menjadi fatal termasuk sianosis sentral dan penurunan kesadaran. Pemeriksaan analisa gas darah arteri dapat memperlihatkan penilaian objektif dari oksigenasi ibu, ventilasi dan status asam basa. Tes paru juga rutin dilakukan pada manajemen asma akut dan kronik.
Tanda-tanda kelelahan dan henti nafas harus diperhatikan seperti
1. Penurunan kesadaran dan kelelahan sebagai tanda asidosis respiratorik
2. Pernafasan abdominal
3. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan kalimat
Tanda-tanda terjadi komplikasi asma
1. Periksa bunyi nafas kedua paru untuk mengetahui sebarang kelainan seperti pneumonia, mucous plugs, dan barotrauma. Kualitas wheezing tidak menetukan beratnya serangan asma justru bunyi nafas yang menghilang adalah lebih membimbangkan
2. Distensi vena jugularis karena peningkatan tekanan intra-torasik
3. Hipotensi dan takikardia
4. Demam, sebagai tanda adanya infeksi saluran nafas bawah.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan darah lengkap untuk menentukan diagnosis banding:
- Inflamasi nonspesifik dan kemungkinan trombositopenia serta anemia
- Leukositosis sebagai akibat dari respons fisiologis terhadap kehamilan, terapi steroid, infeksi saluran pernafasan atas, atau stres serangan asma
2. Analisa gas darah:
- Analisa gas darah arteri untuk mengindikasikan tahap oksigenasi dan kompensasi respiratorik
- PaCO2 biasanya rendah pada tahap awal eksaserbasi sebagai hasil dari hiperventilasi
- Peningkatan PaCO2 menunjukkan tanda gagal nafas akan segera terjadi
- Gas darah arteri sering menunjukkan penurunan PaO2
- Perubahan fisiologis sistem pulmonalis pada kehamilan biasanya mengubah hasil gas darah arteri: pH 7.4-7.45, PO2 95-105 mm Hg, PCO2 28-32 mmHg, and bikarbonat 18-31 mEq/L
3. Kultur darah harus diambil pada pasien dengan pneumonia
Pemeriksaan Radiologi
1. Radiografi paru
- Radiografi paru normal pada kehamilan aterm biasanya menunjukkan jantung yang membesar
- Radiografi paru diindikasikan apabila terdapat kondisi seperti pneumonia, barotrauma, gagal jantung kongestif, atau penyakit paru obstruktif kronik.
Pemeriksaan Lain
1. Pemeriksaan fungsi paru
- Penurunan peak expiratory flow rate (PEFR) dan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1)
- Pengurangan pada kapasitas vital paksa (FVC)
- Peningkatan volume residu (RV), kapasitas residual fungsional (FRC), dan kapasitas paru total (TLC)
- Kapasitas difusi normal
2. Obstruksi aliran udara yang reversibel untuk mendiagnosis dan menilai asma
3. Pasien dengan asma biasanya menunjukkan FEV1, FVC, dan PEFR yang meningkat 15 % apabila diobati dengan bronkodilator
Manajemen Asma Kronik
Adapun yang termasuk manajemen asma kronik :
1. Penilaian objektif dari fungsi paru dan keadaan fetus
2. Menghindari faktor – faktor presipitat lingkungan
3. Terapi farmakologi
4. Edukasi terhadap pasien
Golongan Xanthin
Golongan yang luas dipakai adalah aminofilin dan teofilin. Cara kerja kedua jenis obat ini adalah sebgai bronkodilator yang langsung bekerja pada otot-otot bronkus dengan jalan menghambat kerja enzim fosfodiesterase. Aminofilin dan teofilin merupakan obat yang cukup aman bagi ibu hamil dengan asma bronkiale. Pada dosis terapeutik tidak terbukti bahwa obat-obat ini berbahaya pada ibu atau janin bahkan pada beberapa penelitian dapat ditunjukkan adanya penurunan yang bermakna daripada insiden respiratory distress syndrome pada bayi-bayi dari ibu yang mendapat aminoflin dibandingkan dengan yang tidak.
Golongan Simptomatik
Obat-obatan dari golongan ini adalah adrenalin, efedrin, isoprenalin, terbutalin, salbutamol, orsiprenalin dan sebagainya. Obat-obat ini bekerja sebagai anti asma melalui perangsangan terhadap reseptor simpatis. Respetor simpatis ada dua α dan β. Reseptor ini tersebar di seluruh tubuh, ada organ yang hanya memiliki 1 jenis respetor, misalnya jantung, reseptor β1, otot-otot bronkus reseptor β2, pembuluh darah reseptor α, arteriol kulit, mukosa, dan otak reseptor α, dan ada pula organ-organ yang memiliki lebih dari satu reseptor.
Adrenalin
Selain merangsang reseptor β1 dan β2 juga merangsang reseptor α, sehingga selain merangsang bronkus, obat ini pula merangsang jantung, pembuluh darah, dan lain-lain. Untuk mencegah efek samping, maka dianjurkan untuk mempergunakan dosis terkecil yang masih memberikan dilatasi bronkus yang optimal. Selain itu obat ini juga memberikan efek konstriksi pembuluh darah mukosa bronkus, sehingga mengurangi edema dan kongesti saluran nafas. Adrenalin juga menyebabkan penurunan sementara perfusi uterus yang menyebabkan fetal distress. Pemakaian pada umur kehamilan di bawah 4 bulan harus dihindari karena ditemukan kasus –kasus malformasi janin, tetapi belum diketahui secara pasti.
Efedrin
Farmakodinamiknya mirip adrenalin, namun mulai kurang dipakai karena efek bronkodilatornya kurang kuat. Pada dosis terapi sering memberikan efek samping yang jelas. Pada kasus-kasus dengan kehamilan, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa obat ini mengganggu kehamilan sehingga digolongkan aman untuk dipakai.
Obat-Obat Beta Agonis
Seperti halnya terbutalin, orsiprenalin, heksoprenalin, salbutamol dan lain-lain mempunyai efek stimulasi terhadap adrenoseptor β2. Obat-obat golongan ini bekerja dengan meningkatkan siklik AMP melalui perangsangan reseptor β2 yang terdapat pada membran otot polos bronkus. Dengan perangsangan ini maka aktivitas ensim adenisiklase meningkat sehingga perubahan-perubahan ATP menjadi siklik AMP bertambah. Belum diketahui efeknya terhadap janin, tetapi obat ini cukup aman dipakai pada kehamilan. Akibat perangsangan pada reseptor β2 oleh obat ini, dapat menyebabkan relaksasi otot-otot uterus, sehingga menyulitkan jalannya persalinan, atapun atonia uteri, sehingga tidak dianjurkan untuk dipakai pada hamil tua, saat inpartu ataupun masa nifas.
SodiumKromoglikat
Cara kerja obat ini dengan menghambat pelepasan mediator humoral daripada sel mast, sehingga baik untuk mencegah serangan asma. Obat ini tidak menyebakan kelainan pada janin ataupun ibu, sehingga nampaknya tidaklah berbahaya. Namun demikian pemakaian pada ibu-ibu hamil datanya belum cukup banyak.
Kortikosteroid
Kortikosteroid bukan merupakan bronkodilator. Obat-oabat ini umumnya digunakan pada asma bronkiale yang berat. Kortikosteroid memiliki efek anti alergi dan anti inflamasi juga dapat meningkatkan otot polos bronkus yang refrakter terhadap stimulan adrenoseptor β2. Pada kehamilan kadar kortisol lama ibu meningkat, dan hanya sebagian kecil saja yang melewati plasenta ke dalam sirkulasi janin dan segera perubahan menjadi bentuk inaktif. Prednison dan prednisolon menembus plasenta dalam kadar yang sangat kecil kira-kira 1/10 kadar plasma ibu, dan hal ini konsisten dengan penemuan-penemuan bahwa sangatlah jarang terjadi supresi pertumbuhan kelenjar adrenal janin pada ibu-ibu hamil yang mendapat obat ini.
Antihistamin, Ekspektorans, dan Antibiotika
Walapun secara langsung bukan sebagai obat asma, namun sering digunakan pada penderita-penderita asma bronkiale. Difenhidramin, tripilinamin, feniramin, klorfeniramin, fenilefrin merupakan obat-obat yang dapat dipergunakan secara aman pada ibu-ibu hamil. Ekspektoran terkecuali yang mengandung yodium juga aman dipakai. Di antara obat-obatan antibiotik, penisilin merupakan obat yang paling aman pada kehamilan. Eritromisin belum banyak diteliti, namun beberapa hasil penelitian yang ada ternyata juga aman adipakai, sedangkan tetrasiklin hendaknya jangan dipakai karena terbukti dapat menyebabkan kerusakan pada gigi, hati, dan tulang dari janin.
Prostaglandin
Merupakan obat yang dapat dipergunakan untuk mengadakan induksi abortus pada kasus-kasus abortus terapeutis, induksi persalinan, induksi haid, dan lain-lain sehubungan dengan khasiatnya dapat menyebabkan kontraksi dari otot-otot polos uterus. Prostaglandin F2a dan E2 juga mempunyai efek sebagai bronkokonstriktor sehingga berakibat meningkatkan pulmonary resistance, sehingga memperberat asma bronkiale, oleh karena itu pemakaian obat ini pada penderita asma bronkiale akan berbahaya sehingga patut dihindari.
Obat-Obat Anestesia
Anestesia sering diperlukan pada berbagai macam kasus ginekologik maupun obstetrik, Dietil eter mempunyai efek bronkodilatasi namun sangat irittif terhadap mukosa bronkus sehingga dapat menyebabkan bronkokorea yang berlebihan, sedangkan siklopropan dapat menyebabkan bronkospasme. Nitrous oksida dan halotan mempunyai efek bronkolitik sehingga dalam hal ini obat trsebut merupakan obat-obat pilihan. Di samping itu anestesi epidural, saddle block, pudendal block ataupun anestesi lokal dapat digolongkan sebagai cara anestesi yang aman untuk penderita-penderita asma bronkiale.
Lain-Lain
Leukotriene termasuk zileuton, zafirinkast dan montelukast. Obat ini dapat diberikan oral atau inhalasi untuk preventif tetapi tetap tidak efektif untuk asma akut. Untuk maintenance digunakan steroid inhalasi.
Manajemen Asma Akut
Penatalaksanaan asma akut pada kehamilan pada prinsipnya tidak ada perbedaan dengan asma yang terjadi pada bukan saat kehamilan. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk menjaga ketersediaan PO2 > 60 mmHg dan saturasi oksigen 95 %.Untuk first line therapy dipakai ß-adrenergic agonis, terbutaline, albuterol, isoetharine, epinefrin, isoproterenol, atau metaproterenol yang dapat diberikan secara subkutan, oral atau inhalasi. Sedangkan untuk pasien rawat jalan digunakan preparat dengan onset lama.
Kortikosteroid seharusnya diberikan pada tahap awal terapi kepada semua pasien asma akut yang berat. Karena onset lama dari kortikosteroid yang memakan waktu beberapa jam walaupun pada pemberian intravena atau aerosol, maka steroid diberikan bersama-sama dengan ß-agonis.
Manajemen berikutnya tergantung kepada respons terhadap terapi yang diberikan. Terapi yang intensif termasuk ß-agonis, kortikosteroid intravena, dan observasi ketat pada distress respiratory dan fatigue.
Sedangkan pada status asmatikus, yaitu tidak adanya respons terhadap terapi yang telah diberikan lebih dari 60 menit, memerlukan perawatan yang intensif, seperti intubasi ibu di samping tetap diberikan obat-obatan. Apabila didapatkan keadaan kelelahan, retensi CO2 , dan hipoksemia maka ventilasi mekanik perlu dilakukan.
Penderita Rawat Jalan
Penderita dengan serangan asma bronkiale yang ringan dapat dirawat sebagai penderita rawat jalan. Hal yang paling penting pada penderita-penderita ini adalah mencegah supaya serangan asma bronkiale tidak timbul dan tidak menjadi berat, sehingga di dalam hal ini sangat perlu mengidentifikasi serta mengeliminasi faktor-faktor presipitasi seperti infeksi saluran nafas, inhalasi alergen, bahan-bahan iritatif, stres emosional, dan sebagainya. Sodium kromoglikat dapat merupakan obat obat yang terpilih di dalam usaha pencegahan ini di samping eliminasi faktor-faktor presipitasi. Pada serangan asma bronkiale yang ringan , teofilin peroral atau rektral dapat merupakan pilihan atau kalau perlu aminofilin intravena 250 – 500 mg secara bolus perlahan-lahan atau isoproterinol inhalasi atau nebulizer, atau adrenalin subkutan 0,2-0,5 ml yang dapat diulang dalam 15 sampai 30 menit kemudian.Pada penderita steroid dependent asthma, prednison dan prednisolon merupakan obat yang terpilih. Beklametason dipropionat per inhalasi juga dapat diberikan untuk menggantikan prednison atau untuk mengurangi kebutuhan terhadap prednison.
Penderita rawat inap
Diindikasikan untuk penderita dengan asma bronkiale yang berat atau status asmatikus. Diberikan aminofilin IV 250-500 mg secara bolus perlahan-lahan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian aminofilin per infus IV dengan dosis 0,9 mg/kgBB/hari. Hidrokortison sodium suksinat diberikan 100-200 mg IV/4-6 jam, oksigen melalui kateter hidung, cairan dan elektrolit yang cukup, dan eliminasi faktor-faktor presipitasi.
Apabila perlu ditambahkan dengan obat-obat golongan beta agonis dalam hal ini yang telah banyak dipergunakan pada kasus dengan kehamilan adalah terbutalin per oral 2.5 – 5 mg/8 jam. Pada penderita asma bronkiale yang inpartu, perlu mendapat pengobatan dan pengawasan seksama, karena sangat seringasma bronkiale yang semula ringan menjadi berat saat inpartu, atau pada saat kehamilaan asma bronkiale tidak pernah menyerang tapi pada saat inpartu asma bronkiale menyerang. Penatalaksanaan sesuai dengan berat ringannya asma bronkiale, dengan pengawasan yang seksama terhadap perkembangan penyakit. Dalam keadaan ini perlu diingat bahwa obat-obat adrenalin dan beta agonis mempunyai efek yang tidak menguntungkan sehingga pemakainnya harus dihindari. Perhatian khusus perlu pula diberikan terhadap penderita-penderita dengan riwayat steroid dependent asthma yang inpartu. Diperlukan pemberian kortikosteroid eksogen yang adekuat, yang masudnya memberikan konsentrasi yang cukup untuk menghadapi stres pada saat partus, dan mencegah eksaserbasi asma bronkiale waktu inpartu. Untuk maksud ini, sejak dimulainya inpartu diberikan hidrokortison 100 mg intramuskuler setiap 8 jam selama 24 jam atau lebih sesuai dengan keadaan.
Prognosis
- Wanita dengan asma bronkiale ringan biasanya kurang bermasalah
- Pasien dengan asma berat lebih berisiko tinggi untuk terjadi deteriorasi dan perburukan lebih sering terjadi pada trimester akhir kehamilan.
Edukasi Pasien
- Perhatikan tanda dan gejala asma
- Terapi yang sesuai dan aman terhadap janin dan ibu hamil
- Bahaya terhadap janin dan ibu hamil jika pengobatan tidak teratur
- Pencegahan dan menghindari pemicu asma bronkiale
- Penggunaan inhaler di rumah
- Efek samping pengobatan
- Mencatat PEFR dalam diari
Persalinan dan Proses Kelahiran
Menjelang proses persalinan, terapi terhadap pasien asma ini tetap dilanjutkan. Biasanya diberikan selama 4 minggu. Obat yang biasanya dipakai adalah hidrokortison 100 mg yang diberikan secara intravena setiap 8 jam. PEFR atau FEV1 harus ditentukan pada pasien yang dirawat.Pemakaian non-narkotik histamin seperti fentanil dapat dipertimbangkan daripada meperidin pada proses persalinan. Anestesi epidural adalah anestesi yang ideal dipakai pada proses persalinan. Sedangkan pada operasi, berikan analgesia pada intubasi trakea untuk mencegah bronkospasme. Jika terjadi hemoragik post partum, maka penatalaksanaannya dengan prostaglandin E2 atau uterotonik seperti prostaglandin F2.
KOMPLIKASI ASMA PADA KEHAMILAN
Asma pada kehamilan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan penurunan asupan oksigen ibu, sehingga berefek negative bagi janin. Asma tak terkontrol pada kehamilan menyebabkan komplikasi baik bagi ibu maupun janin (OSUMC, 2005).Komplikasi asma pada kehamilan bagi ibu
Asma tak terkontrol dapat menyebabkan stres yang berlebihan bagi ibu. Komplikasi asma tak terkontrol bagi ibu termasuk :
1) Preeklampsia, ditandai dengan peningkatan tekanan darah, retensi air serta proteinuria
2) Hipertensi kehamilan, yaitu tekanan darah tinggi selama kehamilan
3) Hiperemesis gravidarum, ditandai dengan mual-mual, berat badan turun serta ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
4) Perdarahan pervaginam Induksi kehamilan dan atau komplikasi kehamilan (OSUMC, 2005).
Komplikasi asma pada kehamilan bagi janin
Kekurangan oksigen ibu ke janin menyebabkan beberapa masalah kesehatan janin, termasuk :
• Kematian perinatal
• IUGR, gangguan perkembangan janin dalam rahim menyebabkan janin lebih kecil dari umur kehamilannya
• Kehamilan preterm
• Hipoksia neonatal, oksigen tidak adekuat bagi sel-sel
• Berat bayi lahir rendah (OSUMC, 2005).
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa selain factor lingkungan, faktor genetik ikut menentukan kerentanan seseorang terhadap penyakiit asma. Penyakit ini dapat dijumpai pada ibu yang sedang hamil, dan dapat menyebabkan komplikasi pada 7% kehamilan.