BAB I
PENDAHULUAN
Kejahatan pembunuhan bayi bukan hanya
merusak nilai-nilai asas manusia, tetapi telah merendahkan derajat manusia,
karena masalah moralitas agama melekat pada seorang manusia juga tidak kalah
memegang peranan penting dalam terjadinya tindak pidana pembunuhan bayi. Oleh
sebab itu, menurut Barda Nawawi Arif, Hukum pidana yang paling dekat dan paling
syarat dengan nilai-nilai kejiwaan atau moralitas.
Masalah pembunuhan bayi merupakan
sebutan yang bersifat umum bagi setiap perbuatan merampas nyawa bayi di luar
kandungan, sedangkan infanticide (yang dikenal di negara-negara Common
Law) merupakan sebutan yang bersifat khusus bagi tindakan merampas nyawa
bayi yang belum berumur satu tahun oleh ibu kandungnya sendiri.
Pengkhususan infanticide sebagai
tindak pidana yang hukumannya lebih ringan tersebut didasarkan atas
pertimbangan bahwa kondisi mental pada saat hamil, melahirkan dan menyusui
sangat labil dan mudah terguncang akibat gangguan keseimbangan hormon. Disamping alasan tersebut ada motivasi untuk melakukan kejahatan adalah karena
si ibu takut ketahuan bahwa ia telah melahirkan anak, oleh karena anak tersebut
adalah anak sebagai hasil hubungan gelap atau anak yang tidak diinginkan.
Selain alasan itu adalah saat dilakukan tindakan menghilangkan nyawa si anak,
yaitu pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian yang dalam hal ini
patokannya adalah sudah ada atau belum ada tanda-tanda perawatan, dibersihkan,
dipotong tali pusatnya, atau diberi pakaian.
Saat dilakukannya kejahatan tersebut dikaitkan
dengan keadaan mental emosional dari si ibu dimana selain rasa malu, takut,
benci, bingung serta rasa nyeri bercampur aduk menjadi satu sehingga perbuatan
itu dianggap dilakukan tidak dalam keadaan mental yang tenang, sadar serta
perhitungan yang matang. Inilah yang menjelaskan mengapa ancaman hukuman pada
kasus pembunuhan bayi/anak lebih ringan dibandingkan dengan kasus-kasus
pembunuhan lainnya. Hukum sebagai salah satu tiang utama dalam menjamin
ketertiban masyarakat, diharapkan mampu mengantisipasi segala tantangan
kebutuhan, kendala-kendala yang menyangkut sarana dan prasarana serta peluang
yang terjadi sebagai akibat dari hasil pembangunan yang telah dicapai.
II. 1. Aspek Hukum
A.
Pengertian Pembunuhan Bayi (Infanticide) Menurut Perundang-undangan di
Indonesia
Dalam wilayah tutorial hukum Indonesia
yang tertuang pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pada pasal 341, dinyatakan
sebagai berikut:
“Seorang
ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan
atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena
membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Demikian juga yang tertuang pada pasal
342 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:
“Seorang
ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan
bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama
kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak
sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Hal ini dapat dicermati adanya
unsur-unsur sengaja ataupun terkaitnya unsur tanpa kesengajaan yang dilakukan
oleh ibu dari anak yang kemudian melakukan pembunuhan setelah bayi itu lahir
ataupun saat bayi itu lahir menjadi batasan terhadap infanticide di
Negara Republik Indonesia.
B.
Konsep pemberian pidana dan sistem peradilan pidana dalam kasus pembunuhan bayi
Telah
disebutkan sebelumnya bahwa pemberian pidana dan penjatuhan pidana dalam
praktek peradilan selama ini dengan mempertimbangkan kualifikasi kejahatannya,
dan segala bentuk pidana tersebut diberikan oleh negara dengan asumsi bahwa
warga negaranya adalah mahluk yang bertanggung jawab dan dapat mempertanggung
jawabkan perbuatannya. Sementara remaja dan ibupun dianggap sebagai individu
yang dapat sepenuhnya mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dengan demikian
akan muncul semacam kontradiksi ketika pemberian pidana dan penjatuhan pidana
terjadi pada pelaku ibu dan remaja yang melakukan pembunuhan bayi. dengan
kejahatan pembunuhan biasa.
Dalam
Tata Peradilan di Indonesia, penyelenggaraan Peradilan bagi ibu dan remaja yang
melakukan pembunuhan bayi dalam Sistem Peradilan Pidana, telah ada dalam KUHP,
KUHAP serta peraturan-peraturan pelaksananya dan Undang-Undang Perlindungan
Anak. Dalam praktek pelaksanaannya pedoman pemidanaan yang digunakan oleh hakim
adalah Pasal 7 UU Pokok Kekuasaan Kehakiman NO.14 Tahun 1970 (Undang-undang ini
sudah dicabut), yang intinya tiada seorang pun dapat dikenakan penangkapan,
penahanan, penggeledahan,dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh
kekuasaan yang sah.
·
Pasal 5 ayat (1);
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang
·
Pasal 6 ayat (1); Tidak
seorang juapun dapat dihadapkan ke Pengadilan selain dari pada yang ditentukan
oleh undang-undang.
·
Pasal 6 ayat (2); Tidak
seorang juapun dapat dijatuhi pidana kecuali bila Pengadilan karena alat bukti
yang sah dan orang yang dianggap bertanggung jawab dinyatakan bersalah.
· Pasal 8; Setiap orang
yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan ke Pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya keputusan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
Bila dihubungkan dengan Pasal 66 KUHAP tentang Asas
Praduga Tidak Bersalah Pasal 1 KUHP: Nulum delictum nula poena sine previa
lege punali;
1.
Tiada suatu perbuatan
dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan
yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.
2.
Jika sesudah perbuatan
dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling
ringan bagi terdakwa.
Bentuk
pidana pokok seperti yang diatur dalam Pasal 341 KUHP ini, adalah sama bentuk
sengaja merampas nyawa orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 338 KUHP.
Dalam kasus ini terdakwa telah melakukan perbuatan telah merampas nyawa orang
lain itu segera setelah anak dilahirkan, menunjukkan bahwa perbuatan itu
dilakukan karena ada rasa takut akan diketahui orang lain yang merupakan alasan
yang meringankan pidana apabila dibanding dengan ancaman pidana terhadap tindak
pidana pembunuhan pada umumnya.
Keadaan yang sifatnya
mempengaruhi perbuatan tersebut diuraikan dalam surat dakwaan sebagai tambahan
unsur yang dapat meringankan ancaman pidana. Delik yang mengandung unsur yang
menentukan sifatnya perbuatan yaitu Pasal 341 KUHP, Pasal 342 KUHP dan Pasal
281 KUHP.
C.
Proses Penyidikan Pembunuhan Bayi
Bahwa proses penyidikan
tindak pidana pembunuhan bayi dilakukan oleh Polri merupakan subsistem dari
pada Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) yang terdiri dari
Polri (Penyidik), Jaksa (Penuntut), dan Pengadilan/Hakim (pemutus perkara).
Bahwa
kembali mengacu pada Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP, maka penyidik
sekurang-kurangnya harus dapat membuktikan dua alat bukti yang sah untuk dapat
diajukan ke sidang pengadilan, sehingga keterangan saksi dan tersangka yang
biasa selama ini dikerjakan oleh penyidik, maka peran forensik dalam rangka
penyidikan sangat diperlukan dan harus dilakukan karena kapasitasnya sesuai
Pasal 184 KUHAP adalah sebagai
Keterangan
Ahli dan Surat sebagaimana diatur pada Pasal 187 huruf c KUHAP yaitu Surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. Dalam
pembunuhan bayi peran penyidik minta bantuan kepada Ahli Kedokteran Forensik
untuk menentukan apakah bayi yang ditemukan lahir hidup atau lahir mati ,dan
sudah dilakukan perawatan /belum, umur bayi.
II. 2. Prosedur
Medikolegal
A. Pihak yang Berwenang
Meminta Visum et Repertum
Menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) yang berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli adalah penyidik. Penyidik pembantu juga
mempunyai wewenang tersebut sesuai dengan pasal 11 KUHAP.
Adapun yang termasuk kategori penyidik menurut KUHAP
pasal 6 ayat (1) adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang khusus dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua,
sedangkan penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya sersan dua.
B.
Pihak
yang Berwenang Membuat Visum et Repertum
Menurut KUHAP pasal 133 ayat (1), yang berwenang
melakukan pemeriksaan forensik yang menyangkut tubuh manusia dan membuat
Keterangan Ahli adalah dokter ahli kedokteran kehakiman (forensik), dokter dan
ahli lainnya. Sedangkan dalam penjelasan KUHAP tentang pasal tersebut dikatakan
bahwa yang dibuat oleh dokter ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli
sedangkan yang dibuat oleh selain ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan.
Kewajiban dokter untuk membuat Keterangan Ahli telah
diatur dalam pasal 133 KUHAP. Keterangan Ahli ini akan dijadikan sebagai alat
bukti yang sah di depan sidang pengadilan (pasal 184 KUHAP). Keterangan ahli
dapat diberikan secara lisan di depan sidang pengadilan (pasal 186 KUHAP),
dapat pula diberikan pada masa penyidikan dalam bentuk laporan penyidik
(Penjelasan Pasal 186 KUHAP), atau dapat diberikan dalam bentuk keterangan
tertulis di dalam suatu surat (pasal 187 KUHAP).
C.
Prosedur
Permintaan Visum et Repertum
Permintaan Keterangan Ahli oleh penyidik harus
dilakukan secara tertulis, dan hal ini secara tegas telah diatur dalam KUHAP
pasal 133 ayaat (2), terutama untuk korban mati. Jenasah harus diperlakukan
dengan baik, diberi label identitas dan penyidik wajib memberitahukan dan menjelaskan kepada keluarga korban
mengenai pemeriksaan yang akan dilaksanakan. Mereka yang menghalangi
pemeriksaan jenasah untuk kepentingan peradilan diancam hukuman sesai dengan
pasal 222 KUHAP.
D.
Korban
atau Benda Bukti yang Diperiksa
Tubuh manusia baik masih hidup maupun telah
meninggal disertai oleh petugas kepolisian yang berwenang.
E.
Penyerahan
Visum et Repertum
Dengan demikian berkas Keterangan Ahli hanya boleh
diserahkan kepada penyidik (instansi) yang memintanya.
Ø Yang perlu diperhatikan
sebelum pemeriksaan:
·
Setiap pemeriksaan
untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang
berwenang.
·
Korban harus diantar
oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda bukti. Jikalau korban datang
sendiri dengan membawa surat permintaan dari polisi, jangan diperiksa.
·
Setiap visum et
repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang didapatkan pada tubuh korban
pada waktu permintaan visum et repertum yang diterima oleh dokter.
·
Seorang perawat atau
bidan harus mendampingi dokter pada waktu memeriksa korban.
Dokter yang memeriksa sering mendapatkan pertanyaan
berikut ini pada sidang pengadilan sehubungan dengan kasus pembunuhan bayi.
·
Apakah bayi tersebut
lahir dalam keadaan hidup atau mati ?
·
Jika bayi lahir hidup,
berapa lama bayi tersebut bertahan ?
·
Apa penyebab kematian
bayi ?
·
Apakah bayi baru
dilahirkan sudah dirawat atau belum dirawat?
·
Apakah bayi sudah mampu
hidup terus di luar kandungan ibu (viable) atau belum (non-viable)?
·
Umur bayi dalam
kandungan, premature, matur, atau postmatur?
·
Bila terbukti lahir
hidup dan telah dirawat, berapa jam/hari umur bayi tersebut (umur setelah
dilahirkan)?
·
Adakah tanda-tanda
kekerasan?
·
Bila terbukti lahir
hidup, apakah sebab matinya?
MAAF SEKALI, KARENA KETERBATSAN WAKTU, MAKA......
UNTUK KELANJUTANNYA...... KLIK DI SINI