PENDAHULUAN
Malnutrisi merupakan masalah umum yang sering dijumpai pada kebanyakan pasien yang masuk ke rumah sakit.
Malnutrisi mencakup kelainan yang disebabkan oleh defisiensi asupan nutrien, gangguan metabolisme nutrien, atau kelebihan nutrisi. Untuk pasien kritis yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) sering kali menerima nutrisi yang tidak adekuat akibat dokter salah memperkirakan kebutuhan nutrisi dari pasien dan juga akibat keterlambatan memulai pemberian nutrisi.
Pasien-pasien yang masuk ke ICU umumnya bervariasi, yaitu pasien elektif pasca operasi mayor, pasien emergensi akibat trauma mayor, sepsis atau gagal napas. Kebanyakan dari pasien-pasien tersebut ditemukan malnutrisi sebelum dimasukkan ke ICU. Keparahan penyakit dan terapinya dapat mengganggu asupan makanan normal dalam jangka waktu yang lama. Selanjutnya, lamanya tinggal di ICU dan kondisi kelainan sebelumnya, seperti alkoholisme dan kanker dapat memperburuk status nutrisi. Respon hipermetabolik komplek terhadap trauma akan mengubah metabolisme tubuh, hormonal, imunologis dan homeostasis nutrisi. Efek cedera atau penyakit berat terhadap metabolisme energi, protein, karbohidrat dan lemak akan mempengaruhi kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis.
Malnutrisi sering dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, mortalitas akibat perburukan pertahanan tubuh, ketergantungan dengan ventilator, tingginya angka infeksi dan penyembuhan luka yang lama, sehingga menyebabkan lama rawat pasien memanjang dan peningkatan biaya perawatan. Malnutrisi juga dikaitkan dengan meningkatnya jumlah pasien yang dirawat kembali.
Pentingnya nutrisi terutama pada perawatan pasien-pasien kritis mengharuskan para klinisi
mengetahui informasi yang benar tentang faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen pemberian nutrisi dan pengaruh pemberian nutrisi yang adekuat terhadap outcome penderita kritis yang dirawat di ICU.
CARA MENILAI STATUS NUTRISI PADA PASIEN SAKIT KRITIS
Pada penderita sakit kritis ditemukan peningkatan pelepasan mediator-mediator inflamasi atau sitokin (misalnya IL-1, IL-6, dan TNF) dan peningkatan produksi counter regulatory hormone (misalnya katekolamin, kortisol, glukagon, hormon pertumbuhan), sehingga menimbulkan efek pada status metabolik dan nutrisi pasien.
Status nutrisi adalah fenomena multidimensional yang memerlukan beberapa metode dalam penilaian, termasuk indikator-indikator yang berhubungan dengan nutrisi, asupan nutrisi dan pemakaian energi, seperti Body Mass Index (BMI), serum serum albumin, prealbumin, hemoglobin, magnesium dan fosfor. Pengukuran antropometrik termasuk ketebalan lapisan kulit (skin fold) permukaan daerah trisep (triceps skin fold, TSF) dan pengukuran lingkar otot lengan atas (midarm muscle circumference, MAMC), tidak berguna banyak pada pasien sakit kritis karena ukuran berat badan cenderung untuk berubah.
Jenis protein yang paling sering diukur adalah albumin serum. Level albumin yang rendah merefleksikan status nutrisi penderita yang dihubungkan dengan proses penyakit dan atau proses pemulihan. Pada pasien kritis terjadi penurunan síntesa albumin, pergeseran distribusi dari ruangan intravaskular ke interstitial, dan pelepasan hormon yang meningkatkan dekstruksi metabolisme albumin.
Level serum pre-albumin juga dapat menjadi petunjuk yang lebih cepat adanya suatu
stres fisiologik dan sebagai indikator status nutrisi. Level serum hemoglobin dan trace elements seperti magnesium dan fosfor merupakan tiga indikator biokimia tambahan. Hemoglobin digunakan sebagai indikator kapasitas angkut oksigen, sedangkan magnesium atau fosfor sebagai indikator gangguan pada jantung, saraf dan neuromuskular.
Selain itu Delayed hypersensitivity dan Total Lymphocyte Count (TLC) adalah dua pengukuran yang dapat digunakan untuk mengukur fungsi imun sekaligus berfungsi sebagai screening.
Penilaian global subyektif (Subjective global assessment/SGA) juga merupakan alat penilai status nutrisi, karena mempertimbangkan kebiasaan makan, kehilangan berat badan yang baru ataupun kronis, gangguan gastrointestinal, penurunan kapasitas fungsional dan diagnosis yang dihubungkan dengan asupan yang buruk. Penilaian jaringan lemak subkutan dan penyimpanannya dalam otot skelet juga merupakan bagian dari SGA, dan bersama dengan evaluasi edema dan ascites, membantu untuk menegakkan kemungkinan malnutrisi sebelumnya.
Level stres pada pasien sakit kritis juga harus dinilai karena bisa memperburuk status nutrisi penderita secara keseluruhan.
MENGHITUNG KEBUTUHAN ENERGI PADA PENDERITA SAKIT KRITIS
Keseimbangan nitrogen dapat digunakan untuk menegakkan keefektifan terapi nutrisi.
Nitrogen secara kontinyu terakumulasi dan hilang melalui pertukaran yang bersifat homeostatik pada jaringan protein tubuh.
Keseimbangan nitrogen dapat dihitung dengan menggunakan formula yang mempertimbangkan nitrogen urin 24 jam, dalam bentuk nitrogen urea urin (urine urea nitrogen/UUN), dan nitrogen dari protein dalam makanan:
Keseimbangan Nitrogen = (dietary protein/6,25) - (UUN/0,8) + 4)
Karena umumnya protein mengandung 16% nitrogen, maka jumlah nitrogen dalam makanan bisa
dihitung dengan membagi jumlah protein terukur dengan 6,25. Faktor koreksi 4 ditambahkan untuk
mengkompensasi kehilangan nitrogen pada feses, air liur dan kulit.
Keseimbangan nitrogen positif adalah kondisi dimana asupan nitrogen melebihi ekskresi nitrogen, dan menggambarkan bahwa asupan nutrisi cukup untuk terjadinya anabolisme dan dapat mempertahankan lean body mass. Sebaliknya keseimbangan nitrogen negatif ditandai dengan ekskresi nitrogen yang melebihi asupan.
Kebutuhan energi dapat juga diperkirakan dengan formula persamaan Harris-Bennedict (tabel 1), atau kalorimetri indirek. Persamaan Harris-Bennedict pada pasien hipermetabolik harus ditambahkan faktor stres.
Penelitian menunjukkan bahwa rumus perkiraan kebutuhan energi dengan menggunakan prosedur ini cenderung berlebih dalam perhitungan energi expenditure pada pasien dengan sakit kritis hingga 15%. Sejumlah ahli menggunakan perumusan yang sederhana Rule of Thumb dalam menghitung
kebutuhan kalori, yaitu 25-30 kkal/kgbb/hari.
Selain itu penetapan Resting Energy Expenditue (REE) harus dilakukan sebelum memberikan nutrisi. REE adalah pengukuran jumlah energi yang dikeluarkan untuk mempertahankan kehidupan pada kondisi istirahat dan 12 - 18 jam setelah makan. REE sering juga disebut BMR (Basal Metabolic Rate), BER (Basal Energy Requirement), atau BEE (Basal Energy Expenditure).
Perkiraan REE yang akurat dapat membantu mengurangi komplikasi akibat kelebihan pemberian nutrisi (overfeeding) seperti infiltrasi lemak ke hati dan pulmonary compromise.
Banyak metode yang tersedia untuk memperkirakan REE, salah satunya adalah kalorimetri
yang dapat dipertimbangkan sebagai gold standard dan direkomendasi sebagai metode pengukuran
REE pada pasien-pasien sakit kritis.
DUKUNGAN NUTRISI PADA PASIEN-PASIEN SAKIT KRITIS
Tujuan pemberian nutrisi adalah menjamin kecukupan energi dan nitrogen, tapi menghindari
masalah-masalah yang disebabkan overfeeding atau refeeding syndrome seperti uremia, dehidrasi hipertonik, steatosis hati, gagal napas hiperkarbia, hiperglisemia, koma non-ketotik hiperosmolar dan hiperlipidemia.
Level yang terbaik untuk memulai pemberian nutrisi pada pasien sakit kritis adalah
25 kkal/kgbb dari berat badan ideal per hari. Harus diperhatikan bahwa pemberian nutrisi yang kurang atau lebih dari kebutuhan, akan merugikan buat pasien. REE dapat bervariasi antara
meningkat sampai 40% dan menurun sampai 30%, tergantung dari kondisi pasien (tabel 1).
Tabel 1. Rumus untuk memperkirakan kebutuhan energi.
Pemberian protein yang adekuat adalah penting untuk membantu proses penyembuhan luka, sintesis protein, sel kekebalan aktif, dan paracrine messenger.
Disamping itu, serum glukosa dijaga antara 100 200 mg/dL.3,15 Hiperglisemia tak terkontrol dapat
menyebabkan koma hiperosmolar non ketotik dan resiko terjadinya sepsis, yang mempunyai angka mortalitas sebesar 40%.
Hipofosfatemia merupakan satu dari kebanyakan komplikasi metabolik yang serius akibat
Refeeding Syndrome. Hipofosfatemia yang berat dihubungkan dengan komplikasi yang mengancam
nyawa, termasuk insufisiensi respirasi, abnormalitas jantung, disfungsi SSP, disfungsi eritrosit, disfungsi leukosit dan kesulitan untuk menghentikan penggunaan respirator.
JUMLAH DAN KADAR PEMBERIAN MAKRO DAN MIKRO NUTRIEN
Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi yang penting. Setiap gram karbohidrat menghasilkan kurang lebih 4 kalori. Asupan karbohidrat di dalam diet sebaiknya berkisar 50% 60% dari kebutuhan kalori.
Dalam diet, karbohidrat tersedia dalam 2 bentuk: pertama karbohidrat yang dapat dicerna, diabsorbsi dan digunakan oleh tubuh (monosakarida seperti glukosa dan fruktosa; disakarida seperti sukrosa, laktosa dan maltosa; polisakarida seperti tepung, dekstrin, glikogen) dan yang kedua karbohidrat yang tidak dapat dicerna seperti serat.
Glukosa digunakan oleh sebagian besar sel tubuh termasuk susunan saraf pusat, saraf tepi dan sel-sel darah. Glukosa disimpan di hati dan otot skeletal sebagai glikogen. Cadangan hati terbatas dan habis dalam 24 -36 jam melakukan puasa. Saat cadangan glikogen hati habis, glukosa diproduksi lewat glukoneogenesis dari asam amino (terutama alanin), gliserol dan laktat.
Oksidasi glukosa berhubungan dengan produksi CO2 yang lebih tinggi, yang ditunjukkan oleh RQ
(Respiratory Quotient) glukosa lebih besar dari pada asam lemak rantai panjang. Sebagian besar glukosa didaur ulang setelah mengalami glikolisis anaerob menjadi laktat kemudian digunakan untuk
glukoneogenesis hati.
Kelebihan glukosa pada pasien keadaan hipermetabolik menyebabkan akumulasi
glukosa dihati berupa glikogen dan lemak. Meskipun turnover glukosa meningkat pada kondisi stres,
metabolisme oksidatif tidak meningkat dalam proporsi yang sama. Oleh karena itu kecepatan pemberian glukosa pada pasien dewasa maksimal 5 mg/kgbb/menit.
Lemak
Komponen lemak dapat diberikan dalam bentuk nutrisi enteral ataupun parenteral sebagai emulsi lemak. Pemberian lemak dapat mencapai 30% 50% dari total kebutuhan. Satu gram lemak menghasilkan 9 kalori.
Lemak memiliki fungsi antara lain sebagai sumber energi, membantu absorbsi vitamin yang larut dalam lemak, menyediakan asam lemak esensial, membantu dan melindungi organ-organ internal, membantu regulasi suhu tubuh dan melumasi jaringan-jaringan tubuh.
Pemberian kalori dalam bentuk lemak akan memberikan keseimbangan energi dan menurunkan insiden dan beratnya efek samping akibat pemberian glukosa dalam jumlah besar. Penting juga bagi kita untuk memperkirakan komposisi pemberian lemak yang berhubungan dengan proporsi dari asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tidak jenuh tunggal (MUFA), asam
lemak tidak jenuh ganda (PUFA) dan rasio antara asam lemak esensial omega 6 dan omega 3 dan komponen antioksidan.
Selama hari-hari pertama pemberian emulsi lemak khususnya pada pasien yang mengalami stres, dianjurkan pemberian infus selambat mungkin, yaitu untuk pemberian emulsi Long Chain Triglyseride (LCT) kurang dari 0,1 gram/kgbb/jam dan emulsi campuran Medium Chain Triglyseride (MCT)/Long Chain Triglyseride (LCT) kecepatan pemberiannya kurang dari 0,15 gram/kgbb/jam. Kadar trigliserida plasma sebaiknya Mdimonitor dan kecepatan infus selalu disesuaikan dengan hasil pengukuran.
Protein (Asam-Asam Amino)
Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk protein adalah 0,8 g/kgbb/hari atau kurang lebih 10% dari total kebutuhan kalori. Para ahli merekomendasikan pemberian 150 kkal untuk setiap gram nitrogen (6,25 gram protein setara dengan 1 gram nitrogen). Kebutuhan
ini didasarkan pada kebutuhan minimal yang dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen.
Dalam sehari kebutuhan nitrogen untuk kebanyakan populasi pasien di ICU direkomendasikan sebesar 0,15 0,2 gram/ kgbb/hari. Ini sebanding dengan 1 1,25 gram protein/
kgbb/hari.
Beratnya gradasi hiperkatabolik yang dialami pasien seperti luka bakar luas, dapat diberikan nitrogen sampai dengan 0,3 gram/kgbb/hari.
Kepustakaan lain menyebutkan rata-rata kebutuhan protein pada dewasa muda sebesar 0,75 gram protein/kgbb/hari. Namun selama sakit kritis kebutuhan protein meningkat menjadi
1,2 -1,5 gram/kgbb/hari.
Pada beberapa penyakit tertentu, asupan protein harus dikontrol, misalnya kegagalan hati akut dan pasien uremia, asupan protein dibatasi sebesar 0,5 gram/kgbb/hari.
Kebutuhan protein pada pasien sakit kritis bisa mencapai 1,5- 2 gram
protein/kgbb/hari, seperti pada keadaan kehilangan protein dari fistula pencernaan, luka bakar, dan inflamasi yang tidak terkontrol. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Elwyn yang hanya menggunakan dekstrosa 5% nutrisi, menunjukkan bahwa perbedaan kecepatan kehilangan nitrogen berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit.
Disamping itu, keseimbangan nitrogen negatif lebih tinggi 8 kali pada pasien dengan luka bakar, dan 3 kali lipat pada sepsis berat apabila dibandingkan dengan individu normal. Data ini dengan jelas mengindikasikan pertimbangan kondisi penyakit ketika mencoba untuk mengembalikan keseimbangan nitrogen.
Mikronutrien
Pasien sakit kritis membutuhkan vitamin-vitamin A, E, K, B1 (tiamin), B3 (niasin), B6 (piridoksin), vitamin C, asam pantotenat dan asam folat yang lebih banyak dibandingkan kebutuhan normal sehari-harinya.
Khusus tiamin, asam folat dan vitamin K mudah terjadi defisiensi pada TPN. Dialisis ginjal bisa menyebabkan kehilangan vitamin-vitamin yang larut dalam air. Selain defisiensi
besi yang sering terjadi pada pasien sakit kritis dapat juga terjadi defisiensi selenium, zinc, mangan dan copper.
Nutrisi Tambahan
Nutrisi tambahan adalah beberapa komponen sebagai tambahan pada larutan nutrisi untuk memodulasi respon metabolik dan sistim imun, walaupun signifikansinya belum bisa disimpulkan. Komponen tersebut termasuk growth hormone, glutamine,branched chain amino acids (asam amino rantai panjang), novel lipids, omega-3 fatty acids, arginine, nucleotides.
Namun perlu di waspadai khususnya L-arginine yang sering disebut sebagai immune-enhancing diets, dapat memperburuk sepsis, karena L-arginine akan meningkatkan NO yang dapat meningkatkan reaksi inflamasi, vasodilatasi, gangguan motilitas usus dan gangguan integritas mukosa, serta gangguan respirasi. Heyland DK dkk. menyimpulkan bahwa imunonutrisi dapat menurunkan komplikasi infeksi, tapi tidak berhubungan dengan mortalitas secara umum
RUTE PEMBERIAN NUTRISI: ENTERAL ATAU PARENTERAL?
Di Inggris sejak 15 tahun terakhir, penggunaan nutrisi parenteral sudah mulai dikurangi.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa terjadi perubahan sistim imun dan gangguan pada usus lewat jalur GALT (Gut Associated Lymfatic System), yang merupakan stimulasi proinflamasi selama kelaparan usus.
Abnormalitas sekunder lainnya adalah perubahan permeabilitas atau bahkan translokasi kuman. Kegagalan pertahanan imun dihubungkan dengan kurangnya nutrisi enteral atau
luminal. Idealnya rute pemberian nutrisi adalah yang mampu menyalurkan nutrisi dengan morbiditas minimal.
Masing-masing rute mempunyai keuntungan dan kerugian tersendiri (tabel 2 dan 3), dan pemilihan harus tergantung pada penegakkan klinis dari pasien.
Meskipun rute pemberian nutrisi secara enteral selalu lebih dipilih dibandingkan parenteral, namun nutrisi enteral tidak selalu tersedia, dan untuk kasus tertentu kurang dapat diandalkan atau kurang aman. Nutrisi parenteral mungkin lebih efektif pada kasus-kasus tertentu, asal diberikan dengan cara yang benar. Dalam perawatan terhadap penderita sakit kritis, nutrisi enteral selalu
menjadi pilihan pertama dan nutrisi parenteral menjadi alternatif berikutnya.
Nutrisi Enteral
Pada pemberian nutrisi enteral, pipa nasal lebih dianjurkan dari pada oral, kecuali pada keadaan fraktur basis cranii dimana bisa terjadi resiko penetrasi ke intrakranial.
Pipa naso jejunal dapat digunakan jika terjadi kelainan pengosongan lambung yang menetap
dengan pemberian obat prokinetik atau pada pankreatitis.
Alternatif lain untuk akses nutrisi enteral jangka panjang adalah dengan gastrostomi dan jejunum perkutaneus.
Larutan nutrisi enteral yang tersedia dipasaran memiliki komposisi yang bervariasi. Nutrisi polimer mengandung protein utuh (berasal dari whey, daging, isolat kedelai dan kasein), karbohidrat dalam bentuk oligosakarida atau polisakarida. Formula demikian memerlukan enzim pankreas
saat absorbsinya. Nutrisi elemental dengan sumber nitrogen (asam amino maupun peptida) tidaklah menguntungkan bila digunakan secara rutin, namun dapat membantu bila absorbsi usus halus terganggu, contohnya pada insufisiensi pankreas atau setelah kelaparan dalam jangka panjang.
Lipid biasanya berasal dari minyak nabati yang mengandung banyak trigliserida rantai panjang, tapi juga berisi trigliserida rantai sedang yang lebih mudah diserap.
Proporsi kalori dari non protein seperti karbohidrat biasanya dua pertiga dari total
kebutuhan kalori. Serat diberikan untuk menurunkan insiden diare. Serat dimetabolisme oleh bakteri menjadi asam lemak rantai pendek, yang digunakan oleh koloni untuk pengambilan air dan elektrolit. Elektrolit, vitamin dan trace mineral ditambahkan sampai volume yang mengandung 2000 kkal.
Nutrisi enteral adalah faktor resiko independen pneumonia nosokomial yang berhubungan dengan ventilasi mekanik. Cara pemberian sedini mungkin dan benar nutrisi enteral akan menurunkan kejadian pneumonia, sebab bila nutrisi enteral yang diberikan secara dini akan membantu memelihara epitel pencernaan, mencegah translokasi kuman, mencegah peningkatan distensi gaster, kolonisasi kuman, dan regurgitasi. Posisi pasien setengah duduk dapat mengurangi resiko regurgitasi aspirasi.
Diare sering terjadi pada pasien di ICU yang mendapat nutrisi enteral, penyebabnya multifaktorial, termasuk terapi antibiotik, infeksi Clostridium difficile, impaksi feses, dan efek tidak spesifik akibat penyakit kritis.
Komplikasi metabolik paling sering berupa abnormalitas elektrolit dan hiperglikemia.
Tabel 2. Nutrisi enteral
Nutrisi Parenteral
Tunjangan nutrisi parenteral diindikasikan bila asupan enteral tidak dapat dipenuhi dengan baik. Terdapat kecenderungan untuk tetap memberikan nutrisi enteral walaupun parsial dan tidak adekuat dengan suplemen nutrisi parenteral.
Pemberian nutrisi parenteral pada setiap pasien dilakukan dengan tujuan untuk dapat beralih ke nutrisi enteral secepat mungkin. Pada pasien ICU, kebutuhan dalam sehari diberikan lewat infus secara kontinu dalam 24 jam. Monitoring terhadap faktor biokimia dan klinis harus dilakukan secara ketat. Hal yang paling ditakutkan pada pemberian nutrisi parenteral total (TPN/Total Parenteral Nutrition) melalui vena sentral adalah infeksi.
Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Insersi subklavia: infeksi lebih jarang dibanding jugular interna dan femoral.
2. Keahlian operator dan staf perawat di ICU mempengaruhi tingkat infeksi.
3. Disenfektan kulit klorheksidin 2% dalam alkohol adalah sangat efektif.
4. Teknik yang steril akan mengurangi resiko infeksi.
5. Penutup tempat insersi kateter dengan bahan transparan lebih baik.
6. Kateter sekitar tempat insersi sering-sering diolesi dengan salep antimikroba.
7. Penjadwalan penggantian kateter tidak terbukti menurunkan sepsis.
Tabel 3. Nutrisi parenteral
PENJADWALAN WAKTU MEMULAI TERAPI NUTRISI
Pada pasien sakit kritis yang menderita kurang gizi dan tidak menerima makanan melalui oral, enteral atau parenteral, maka nutrisi harus dimulai sedini mungkin. Keuntungan pemberian dini, menyebabkan hemodinamik pasien menjadi stabil, yang telah ditunjukkan dengan penurunan permeabilitas intestinal dan penurunan disfungsi organ multipel.
Pada praktek klinis, pemberian makanan enteral dini dimulai dalam 24 hingga 48 jam setelah trauma. Moore dkk. mengamati adanya penurunan pada komplikasi klinis pasien dengan cedera abdomen yang menerima makanan melalui NGT dibandingkan grup kontrol yang menerima
TPN yang dimulai pada hari ke-6 setelah operasi. Peneliti yang lain juga mengkonfirmasikan hasil yang sama yang mendukung keuntungan pemberian nutrisi secara dini.
Tinjauan literatur baru-baru ini menemukan bahwa TPN yang diberikan pada penderita kurang gizi pada periode preoperatif akan menurunkan komplikasi post operasi hampir 10%. Namun jika diberikan ketika periode post operasi, maka resiko komplikasi post operasi, terutama komplikasi infeksi akan meningkat.
NUTRISI PADA BERBAGAI KONDISI DAN PENYAKIT
Nutrisi Pada Keadaan Trauma
Pasien trauma cenderung mengalami malnutrisi protein akut karena hipermetabolisme yang persisten, yang mana akan menekan respon imun dan peningkatan terjadinya kegagalan multi organ (MOF) yang berhubungan dengan infeksi nosokomial.
Pemberian substrat tambahan dari luar lebih awal akan dapat memenuhi kebutuhan akibat peningkatan kebutuhan metabolik yang dapat mencegah atau memperlambat malnutrisi protein akut dan menjamin outcome pasien.
Nutrisi enteral total (TEN/Total Enteral Nutrition) lebih dipilih dari pada TPN karena alasan keamanan, murah, fisiologis dan tidak membuat hiperglisemia. Intoleransi TEN dapat terjadi, yaitu muntah, distensi atau cramping abdomen, diare, keluarnya makanan dari selang naso gastrik. Pemberian TPN secara dini tidak diindikasikan kecuali pasien mengalami malnutisi berat.
Nutrisi pada Pasien Sepsis
Pada pasien sepsis, Total Energy Expenditure (TEE) pada minggu pertama kurang lebih 25 kcal/kg/hari, tetapi pada minggu kedua TEE akan meningkat secara signifikan.
Kalorimetri indirek merupakan cara terbaik untuk menghitung kebutuhan kalori, proporsi serta kuantitas zat nutrisi yang digunakan.
Pemberian glukosa sebagai sumber energi utama dapat mencapai 4-5 mg/kg/menit dan memenuhi 50
60% dari kebutuhan kalori total atau 60
70% dari kalori non protein.
Pemberian glukosa yang berlebihan dapat mengakibatkan hipertrigliseridemia, hiperglikemia, diuresis osmotik, dehidrasi, peningkatan produksi CO2 yang dapat memperburuk insufisiensi pernafasan dan ketergantungan terhadap ventilator, steatosis hepatis, dan kolestasis.
Pemberian lemak sebaiknya memenuhi 25 -30% dari kebutuhan total kalori dan 30
40% dari kalori non protein. Kelebihan lemak dapat mengakibatkan disfungsi neutrofil dan limfosit, menghalangi sistem fagositik mononuklear, merangsang hipoksemia yang dikarenakan oleh gangguan perfusi-ventilasi dan cedera membran alveolokapiler, merangsang steatosis hepatik,
dan meningkatkan sintesis PGE2.
Dalam keadaan katabolik, protein otot dan viseral dipergunakan sebagai energi di dalam otot dan untuk glukoneogenesis hepatik (alanin dan glutamin). Kebutuhan protein melebihi
kebutuhan protein normal yaitu 1,2 g/kg/protein/hari.
Kuantitas protein sebaiknya memenuhi 15
20% dari kebutuhan kalori total dengan rasio kalori non protein/ nitrogen adalah 80:1 sampai dengan 101:1
Nutrisi pada Penyakit Ginjal Akut (Acute Renal Failure)
ARF secara umum tidak berhubungan dengan peningkatan kebutuhan energi. Meski demikian kondisi traumatik akut yang menetap dapat meningkatkan REE (misalnya pada sepsis meningkat hingga 30%). Adanya penurunan toleransi terhadap glukosa dan resistensi insulin
menyebabkan uremia akut, asidosis atau peningkatan glukoneogenesis.
Pada pasien ARF membutuhkan perhatian yang hati-hati terhadap kadar glukosa darah dan penggunaan insulin dimungkinkan dalam larutan glukosa untuk mencapai kadar euglikemik.
Pemberian lipid harus dibatasi hingga 20
25% dari energi total. Meski demikian lipid sangatlah penting karena osmolaritasnya yang rendah, sebagai sumber energi, produksi CO2 yang rendah dan asam lemak essensial.
Protein atau asamamino diberikan 1,0-1,5 g/kg/hari tergantung dari beratnya penyakit, dan dapat diberikan lebih tinggi (1,5-2,5 g/kg/hari) pada pasien ARF yang lebih berat dan mendapat terapi menggunakan CVVH, CVVHD, CVVHDF, yang memiliki klirens urea mingguan yang lebih besar.
Nutrisi pada Pankreatitis Akut
Nutrisi enteral dapat diberikan, namun ada beberapa bukti bahwa pemberian nutrisi enteral dapat meningkatkan keparahan penyakit. Nutrisi parenteral pada pankreatitis akut berguna sebagai tambahan pada pemeliharaan nutrisi. Mortalitas dilaporkan menurun seiring dengan peningkatan status nutrisi, terutama pada pasien-pasien pankreatitis akut derajat sedang dan berat.
Pada pasien dengan penyakit berat pemberian nutrisi isokalorik maupun hiperkalorik dapat mencegah katabolisme protein. Oleh karena itu, pemberian energi hipokalorik sebesar 15-20 kkal/kg/hari lebih sesuai pada keadaan katabolik awal pada pasien-pasien non bedah dengan MOF.
Pemberian protein sebesar 1,2 -1,5 g/kg/hari optimal untuk sebagian besar pasien
pankreatitis akut.
Pemberian nutrisi peroral dapat mulai diberikan apabila nyeri sudah teratasi dan enzim pankreas
telah kembali normal. Pasien awalnya diberikan diet karbohidrat dan protein dalam jumlah kecil,
kemudian kalorinya ditingkatkan perlahan dan diberikan lemak dengan hati-hati setelah 3-6 hari
Nutrisi pada Penyakit Hati
Pada penyakit hati terjadi peningkatan lipolisis, sehingga lipid harus diberikan dengan hati-hati untuk mencegah hipertrigliseridemia, yaitu tidak lebih dari 1g/kg perhari.
Pembatasan protein diperlukan pada ensefalopati hepatik kronis, mulai dari 0,5 g/kg perhari,
dosis ini dapat ditingkatkan dengan hati-hati menuju ke arah pemberian normal.
Ensefalopati hepatik menyebabkan hilangnya Branched Chain Amino Acids (BCAAs) mengakibatkan peningkatan pengambilan asam amino aromatik serebral, yang dapat menghambat neurotransmiter.
Pada pasien dengan intoleransi protein, pemberian nutrisi yang diperkaya dengan BCAAs dapat meningkatkan pemberian protein tanpa memperburuk ensefalopati yang sudah ada.
Kegagalan fungsi hati fulminan dapat menurunkan glukoneogenesis sehingga terjadi hipoglikemia yang memerlukan pemberian infus glukosa. Lipid dapat diberikan, karena masih dapat
ditoleransi dengan baik.
KESIMPULAN
Kebutuhan nutrisi pada pasien sakit kritis tergantung dari tingkat keparahan cedera atau penyakitnya, dan status nutrisi sebelumnya. Pasien sakit kritis memperlihatkan respon metabolik yang khas terhadap kondisi sakitnya. Pada sakit kritis terjadi pelepasan mediator inflamasi (misalnya
IL-1, IL-6, dan TNF) dan peningkatan produksi counter regulatory hormone (misalnya katekolamin, kortisol, glukagon, GH), yang dapat menyebabkan serangkaian proses
yang mempengaruhi seluruh sistem tubuh dan menimbulkan efek yang jelas pada status metabolik dan nutrisi pasien.
Penilaian secara objektif status nutrisi pasien di ICU adalah sulit, karena proses dari penyakit mengacaukan metode penilaian yang kita gunakan. Status nutrisi adalah
fenomena multi dimensional yang memerlukan beberapa metode dalam penilaian, termasuk indikator-indikator nutrisi, intake nutrisi, dan pemakaian / pengeluaran energi.
Pemberian nutrisi pada kondisi sakit kritis bisa menjamin kecukupan energi dan nitrogen, namun harus dihindari overfeeding seperti uremia, dehidrasi hipertonik, steatosis hati, gagal napas hiperkarbia, hiperglisemia, koma non-ketotik hiperosmolar dan hiperlipidemia.
Pada pasien sakit kritis tujuan pemberian nutrisi adalah menunjang metabolik, bukan untuk
pemenuhan kebutuhannya saat itu. Bahkan pemberian total kalori mungkin dapat merugikan karena
menyebabkan hiperglisemia, steatosis dan peningkatan CO2 yang menyebabkan ketergantungan terhadap ventilator dan imunosupresi.
Secara umum dapat diuraikan tujuan pemberian dukungan nutrisi pada kondisi kritis adalah
meminimalkan keseimbangan negatif kalori dan protein dan kehilangan protein dengan cara menghindari kondisi starvasi, mempertahankan fungsi jaringan khususnya hati, sistem imun, sistem otot dan otot-otot pernapasan, dan memodifikasi perubahan metabolik dan fungsi metabolik dengan menggunakan substrat khusus.